6. Warung Pecel

498 52 12
                                    

"Turun," titah Vano dingin sembari melepas helmnya.

"Iya udah, galak banget sih," dumel gadis dengan tatanan rambut yang tidak bisa dikatakan rapi. Rambutnya yang dicepol kini terlepas karena pengikatnya diterbangkan angin. Gini nih derita kalo nggak pake helm, mana Vano bawa motornya agak ngebut tadi.

Vano memarkirkan motornya di samping tenda warung pecel tepi jalan. Dengan bibir yang masih menekuk sebal, Aira berusaha merapikan rambutnya. "Nyebelin banget cabe rawit." Akhirnya julukan itu kembali dikeluarkannya.

Aira kesal bukan tanpa alasan. Ia baru selesai rapat osis beberapa menit lalu dan langsung dihadang langkah Vano yang membawanya pergi seakan tanpa tujuan, ditanyain diem aja sampai angin yang ngejawab.

"Ngapain berdiri di situ terus? Nungguin boneka mampang?" tanya Vano sarkas, dia mendahului langkah gadis tersebut untuk mencari meja kosong di warung pecel.

"Ishhhh." Manyunannya belum tuntas, ia melampiaskan kekesalannya dengan menghentakan kaki di jalanan aspal sebelum menyusul langkah si cowok menyebalkan yang langkahnya sudah terpaut jauh di depan.

"Hhhhhhhh." Napas Aira hembuskan keras-keras seakan memberi kode suasana moodnya yang buruk. Sedangkan cowok yang duduk di depannya hanya sibuk mengetuk meja untuk mengusir bosan.

"Nggak usah pesenin gue, nggak laper." Aira melipat tangannya di depan dada.

"Dih siapa yang mau mesenin lo?"

"Pecel ayam satu paket sama teh tawar anget satu ya."

Ibu pemilik warung mengangguk setelah mencatat pesanan Vano. "Mbaknya?"

"Nggak laper Bu katanya," jawab Vano dibalas delikan oleh Aira.

"Samain aja Bu punya saya, hehehe."

Setelah Ibu pemilik warung meninggalkan meja mereka, Aira memulai melampiaskan emosinya dengan menendang kecil kaki Vano di bawah meja lalu kembali menarik kakinya seolah tak terjadi apapun. Vano hanya berdecak dengan aktivitas jahil yang Aira lakukan hingga berulang-ulang sampai membuatnya geram.

"Ngapain sih?!"

"Gabut."

"Lo-

"Makasih Bu." Aira melempar senyum ketika pesanannya sampai, dia sampai buru-buru mencelupkan tangannya dalam mangkuk kecil berisi air dan jeruk nipis tak sabar ingin cepat-cepat menikmati makanannya.

"Aw shhh panas." Aira menarik kembali tangannya begitu menyentuh pecel ayamnya yang masih sepanas ucapan Vano.

"Enak?"

"Orang gue kepanasan, kok enak?!"

Vano hanya terkekeh. "Mangkannya pelan-pelan, busung lapar lo?"

Aira mencibir. Sambil menunggu ayamnya agak dingin Aira memperhatikan wajah tenang Vano dengan tatapan menelisik.

"Lo suka gue ya?"

Pertanyaan yang terlontar begitu tiba-tiba membuat Vano tersedak lalapan timun yang sedang dikunyahnya. Dia langsung meminum teh nya tanpa tersadar teh nya juga masih panas.

"Eh Vano Vano maaf, bentar gue minta air mineral." Aira meninggalkan makanannya dan berlari untuk mengambil mineral botol, langsung ia sodorkan pada Vano yang masih menepuk-nepuk dadanya.

"Maaffff." Aira menunduk dengan jarinya yang tertaut di atas meja. "Gue nggak maksud gitu," cicitnya.

"Ini makanannya nggak dimakan? buat gue?"

Celetukan dari Vano membuat kepala Aira perlahan terangkat. Matanya mengerjap beberapa kali menatap Vano yang tengah menutup botol.

"Dah, makan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FallinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang