Bab 10

44 4 0
                                    

Perlu di beri ketegasan pada dia yang enggan memberi kepastian.

(Sheila, 03.02.20)

Sudah di pastikan sejak kejadian itu Sheila terus memikirkan bagaimana caranya agar bisa masuk kampus di Indonesia. Ayah nya selalu mendesak agar dia mau melanjutkan sekolahnya diluar negeri. Sheila harus bisa membuktikan kalau ia bisa masuk kampus di tanah air ini.

Hari senin, rutinitas semua pelajar Indonesia, upacara pagi. Sheila merasa tubuhnya sudah tidak bisa menyambut hari itu dengan baik. Lemas, pusing, mual rasanya tidak bisa di tebak, campur aduk.
Berusaha untuk berdiri kokoh di bawah teriknya sinar matahari, sepertinya tidak bisa. Pandangannya mendadak buram lalu menggelap.

"La," panggil Mila berusaha membuat Sheila tersadar, "La," beberapa kali Mila memanggilnya sheila tetap tidak sadar juga.

Sheila membuka matanya perlahan, terlihat wajah cemas para sahabatnya.

"Gua gapapa kok," ucapnya sembari tersenyum, menjelaskan bahwa ia baik-baik saja.

"Kalo lu gapapa, kenapa bisa pingsan?" tanya Arlan, dahi nya mengerut.

"Gatau, kebetulan aja tadi," sautnya dengan santai, Sheila harus terlihat kuat saat itu, "Btw, maaf ya jadi ngerepotin," sambungnya memegang tangan kanan Mila yang sejak tadi terlihat sangat khawatir melihat kondisinya.

"Cie, tadi di gotong sam-" ledekan Nathan terhenti saat Milla menyenggolnya.

"Sama siapa?" ucapan Nathan yang terpotong itu membuat Sheila penasaran, kenapa harus di cie cie in kalau memang tidak ada yang spesial? ah mungkin itu hanya candaan teman teman ku saja. Gumam nya.

"udah baikan sekarang La?"
"udah,"
"Yu balik ke kelas, pelajaran pertama tinggal lima menit lagi," ajak Arlan, raut wajahnya kesal. Apa yang dia pikirkan.

Lima menit berjalan dari ruang uks ke kelas Mipa 4, menyusuri setiap jendela kelas lain yang begitu riuh dan berisik. Ada beberapa siswa di luar kelas sedang asik berbincang, mendadak menatap Sheila dari ujung kaki sampai ke atas.

Sheila tak menghiraukan hal itu, mereka terus berjalan menuju kelas. Menggandeng tangan kiri Arlan memang sudah biasa menurut Sheila, Arlan pun merasa tak keberatan. Lain dengan Mila dan Nathan, mereka berjauhan tapi hati nya bersatu, jaim itu sifat mereka.

"Ar, emang tadi siapa sih yang ngendong gue?" tanya sheila, Arlan tidak menjawab dia hanya bertatap lurus, "Ar!" panggil Sheila bernada tinggi, Arlan tetap tidak menjawab, bahkan dia melepas pegangan sheila dari tangannya lalu berjalan dengan cepat.

Melihat sifat Arlan yang mendadak dingin itu hal yang aneh, langkah sheila terhenti sebentar lalu Mila menarik tangannya agar cepat sampai ke dalam kelas.

Seperti biasa Sheila duduk di bangku ke empat bersama Mila sedangkan Arlan dan Nathan duduk di kursi ke dua dari meja urutan ke empat. Tapi kali ini, Mila dan Nathan duduk satu bangku.

"Loh, Mil!" kata Sheila mengerutkan dahinya, tidak lama kemudian Arlan datang dari arah belakang membawa tas hitam miliknya.

"Kali ini, gue yang duduk disini," ucap Arlan, wajahnya datar, tatapannya lurus.

FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang