Jika ada satu hal yang tidak Taeyong sukai, itu adalah menjadi satu-satunya yang tidak mengetahui apa-apa. Pada hari biasa, Taeyong bisa menoleransinya. Tetapi ketika di suatu pagi dia terbangun oleh bunyi alarm dari aplikasi pengingat di ponselnya, layarnya berkedip-kedip untuk mengingatkannya akan hari pernikahannya—Taeyong merasa, yang ini sudah tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Jadi ketika dia turun untuk sarapan bersama keluarganya, duduknya lebih tegak dari biasanya. Ekspresinya kaku bagai diukir pada granit.
Sang Appa yang duduk di seberangnya, menatapnya waswas. "Kau baik-baik saja, Taeyong?" tanyanya.
Taeyong terdiam untuk beberapa saat, membiarkan ibunya menyendokkan nasi hangat ke mangkuknya. "Hanya memikirkan tentang…pernikahan yang seharusnya kuhadiri siang nanti."
Tangan ibunya yang tengah menyendokkan irisan acar lobak terhenti di udara. Ayahnya menengadah dari koran paginya. Mark duduk bersandar pada kursinya, menatap Taeyong dengan pandangan hati-hati, menyusun strategi seperti halnya seorang pemburu mencoba menangkap buruannya. Tetapi Taeyong bukan buruan biasa.
"Bagaimana hyung tahu?" tanya Mark, merasa tidak ada perlunya berpura-pura tidak mengerti. "Apakah, Hyung sudah ingat sesuatu?"
Taeyong terdiam memainkan sumpitnya. Sudah dua bulan berlalu sejak kepulangannya ke rumah, fisioterapinya berjalan lancar, dan tidak ada sedikit pun memorinya dalam kurun waktu lima tahun yang kembali padanya.
Hanya sekelebat perasaan deja vu di sana-sini, atau hal-hal yang dia lakukan tanpa bisa dia jelaskan mengapa, ruang kosong di sudut hatinya.
"Tidak ada," jawabnya kemudian.
Dan kedua orang tuanya dan Mark hanya dapat menghela napas kecewa ketika mendengarnya.
"Apakah Hyung ingin mendengar cerita lengkapnya?" tawar Mark, meski sang Ibu mengerutkan kening ragu.
"Tentu saja." Jawab Taeyong tanpa ragu
"Sebenarnya.." Mark sekilas melirik kedua ornag tuanya, keraguan sejenak menghampirinya, apakah hal itu perlu dia ceritakan ataukah membiarkannya saja, namun, keraguannya sirna saat mengingat senyum pedih yang pernah terlihat di wajah calon kakak iparnya.
"Hyung sudah bertunangan, hampir satu tahun sekarang," kata Mark tanpa keraguan.
"Kalian punya rumah bersama, sebuah apartemen, tapi sepertinya belum kalian tinggali bersama."
Kepala Taeyong mendadak terasa penuh. Dadanya sesak. Telinganya berdenging. Dia punya tunangan, dan tidak ada yang memberitahunya. Dia punya seseorang yang ingin dia habiskan sisa hidupnya bersama, dan mereka membiarkan Taeyong melupakannya.
"Seperti yang sudah Hyung tau, seharusnya Hyung akan melangsungkan pernikahan nanti siang. Tapi urusannya sudah dibereskan beberapa waktu yang lalu oleh Appa, jadi Hyung tidak perlu khawatir."
Mark mengungkapkan banyak hal, tetapi tidak tentang hal paling penting:
"Siapa?" tanyanya dengan dada bergemuruh.
Ada sekelebat rasa kasihan yang terpancar dari sepasang matanya yang gelap. Juga penyesalan, dan sedikit rasa malu—seolah dia sama bersalahnya dengan Taeyong yang telah melupakan hal paling penting dalam hidupnya. "…Jennie noona."
Taeyong tidak mengingat apartemen itu, tetapi menurutnya, jika dia harus membeli apartemen baru, persis seperti inilah apartemen yang akan dibelinya. Semuanya sesuai dengan kriterianya: lokasinya yang dekat dengan stasiun kereta bawah tanah, ada toko bahan makanan di sudut blok, balkon luas yang entah mengapa menjadi penting baginya. Tempat itu: meski tidak luas, dia bisa membayangkan membangun keluarga di sana.Dia mendengar suara tawa dari dapur, samar-samar denting furin yang digantung di jendela balkon sepanjang musim panas—dari memorinya, karena tempat itu kini kosong. Separuh barang-barang yang membuat tempat itu hidup menghilang entah kemana.
Taeyong, meski tidak mengingatnya dengan baik, tetap bisa merasakan kehampaan di sana. Sesuatu yang kurang, yang semestinya ada tetapi kini tidak ada.
Kebodohan apa yang telah dilakukannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory Of Love (COMPLITED)
Fanfiction"SEASON KE II DARI MY SWEETHEART" (disarankan untuk membaca MY SWEETHEART untuk memahami karakter tokoh) Senyum itu terus mengembang saat kedua matanya terbuka. Masih dengan orang yang sama, namun, manik mata sehitam jelaga itu menatapnya asing. "Ka...