Menjadi sebuah kegiatan favorit baru untuk Jennie berjalan-jalan tanpa arah, dari senja hingga malam sempurna. Dia suka mengamati perubahan warna senja yang kemerahan dan emas, menjadi ungu yang dengan cepat berubah hitam. Menurut Jennie, ada kemegahan yang tidak banyak orang apresiasi pada momen itu.
Hari ini, setelah satu bulan nyaris tenggelam karena tugas akhir yang akhirnya dapat dia selesaikan dan tinggal menunggu jadwal wisuda yang masih beberapa bulan lagi, ketika dia telah melewatkan daun terakhir gugur dan salju belum saatnya datang, Jennie kembali berjalan menyusuri taman-taman kota. Pepohonan meranggas digantikan keindahannya dengan lampu-lampu, seribu bintang dalam genggaman tangannya. Kesendirian itu juga memberinya waktu untuk berpikir; merasakan apa yang oleh kesibukannya berhasil disisihkan untuk sementara, mengenang kembali apa yang selayaknya dikenang.
Mereka seharusnya sudah menikah sekarang, di suatu waktu yang lain. Apartemennya kini barangkali sudah akan berpindah tangan: penghuni baru, perabot baru, canda tawa baru, dan kisah baru. Betapa banyak hal yang bisa dia renungkan kini, dia andai-andaikan sebagai sedikit pelipur lara.
Jennie, tentunya, tidak menyadari ada seseorang yang tengah berputar-putar mencari dirinya; dengan kaki setengah tersaruk-saruk karena udara dingin itu membuat kakinya yang sempat patah itu terasa ngilu. Jadi, Jennie tidak sempat mempersiapkan diri ketika tiba-tiba Taeyong berderap maju, dan tanpa aba-aba meraih lengannya dan menariknya mendekat.
"Kau kemanakan boneka teddy di apartemen?" tuntutnya.
Napasnya tersenggal, seolah baru saja berlari berkeliling mencari Jennie di tengah keramaian. Aroma krim cukurnya tercium lebih tajam di udara yang dingin.
"Hah?" Hanya itu yang bisa Jennie keluarkan, Jennie masih terperangah dengan mata terbelalak, bingung dan kaget dengan kehadiran Taeyong yang tiba-tiba, entah dari mana, menanyakan koleksi boneka teddy yang menjadi favorit Jennie.
"Koleksi DVD milikku? Piring-piring dan mangkuk keramik?" tuntutnya berderet-deret. "Barang-barang di apartemen. Semuanya. Kenapa sekarang kosong? Kau kemanakan semuanya?"
"Aku mengemasinya. Ada di apartemenku." Jawab Jennie yang masih menatap heran pada lelaki dihadapannya ini.
Taeyong memandang Jennie dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. "Kenapa kau lakukan itu?"
Jennie mendengus dalam, mengalihkan pandangan dari mata tajam yang kini masih setia menatapnya. "Aku yang membelinya." Gumamnya pelan.
"Dengan uangku."
Jennie terkesiap, tiba-tiba tersadarkan. "Kau—kau ingat?" jantungnya berdegup keras, ada perasaan bahagia yang masih tertahan untuk dapat ia luapkan. Dengan tangan gemetar, Jennie memberanikan diri untuk menyentuh tangan Taeyong yang masih berada di pundaknya.
Taeyong merengkuhnya, tiba-tiba, mencuri detak jantungnya. Hidungnya menciumi rambut Jennie. "Belum," katanya. "Belum sebanyak yang kuinginkan."
Jennie terisak, tidak sanggup berkata-kata. Seluruh kebahagiannya melesak keluar tanpa kata.
"Kenapa kau tidak mengatakan apa-apa dari awal?" tanya Taeyong dengan suaranya yang serak.
"Apakah kau tahu, aku yang sama sekali tidak mengenalmu pada waktu itu, bisa-bisanya tertarik kepadamu. Tapi begitu menyadari kau mengenakan cincin pertunangan yang terlihat konyol itu, aku langsung membenci diriku—dan dirimu. Kenapa seorang wanita yang sudah bertunangan justru menghabiskan seluruh waktunya menemani orang sakit sepertiku? Aku sama sekali tidak berpikir akulah tunanganmu. Maafkan aku Jennie, maafkan atas semua kebodohanku" Taeyong semakin mengeratkan pelukannya, ingin rasanya dia memukul kepalanya dengan keras, menyesali apa yang telah dia lakukan pada Jennie.
Terdengar suara isak tangis Jennie yang teredam di dadanya. Taeyong berjanji, dia akan menebus semua kesalahnya, dengan seluruh waktu yang dia miliki, seumur hidupnya.
"Jadi aku menyuruhmu pergi." Ditariknya napas panjang. "Dan kau tidak pernah kembali." Setelah beberapa saat, Taeyong tertawa pelan. "Kau membuatku patah hati, kau tahu?"
Sedu sedan Jennie terdengar semakin memilukan. Seakan mengungkapkan seluruh kesedihan yang selama ini gadis itu miliki.
Taeyong melonggarkan pelukannya, ingin menatap mata yang selama ini dirindukannya.
"Kau ya, yang selalu memasakkan makanan untukku selama di rumah sakit?"
Tak sanggup berbicara, Jennie hanya dapat menganggukkan kepalanya, bahkan air mata masih tak berhenti mengalir di kedua pipi chubby gadis itu. Kini gadis itu kembali memeluk dan menenggelamkan wajahnya di dada Taeyong.
"Apa warna favoritmu?"
"Pink."
"…pink," Taeyong membeo. Taeyong tidak yakin dia akrab dengan warna feminim itu. Barangkali memori atas warna itu turut menghilang bersama memori-memorinya yang lain.
Jennie tertawa di dadanya, meski terdengar masih sengau.
"Kau suka es krim vanilla?"
"Sangat suka." Senyum manis menghiasi wajah Jennie, hingga kedua matanya menyipit. Bukan tentang es krim, namun ada kebahagian lebih yang membuatnya tersenyum seperti itu.
"Pantas saja, aku selalu menghabiskan banyak cup es krim vanilla selama ini."
Jennie memukul punggung Taeyong yang masih mendekapnya erat.
"Kenapa menyalahkanku atas kerakusanmu sendiri?"
Taeyong tidak menjawab, hanya mengetatkan pelukannya lagi. Jennie hangat, dan wangi seperti vanilla yang suka dimakannya setiap sore sambil duduk di balkon apartemen mereka. Di antara lampu-lampu jalan yang mulai dihidupkan, Jennie merasakan dadanya menghangat. Celah-celah hatinya mulai terisi kembali.
"Apa kau akan mengembalikan koleksi boneka teddy ke lemari lagi, membagi es krim vanillamu denganku, memasang furin di musim panas, dan membuatkan kue kering oatmeal untukku?"
"Banyak sekali yang kau minta." Jennie mendengus kesal mendengar permintaan tunangannya itu.
"Memang," katanya dengan nada suara yang Jennie duga adalah nada kemenangan,
"Tapi tidak masalah. Kau punya waktu selamanya untuk melakukan semua itu." senyum manis menghiasi keduanya saat ini, ada cinta yang besar pada tatapan mereka.
Setiap ingatan yang indah,
tidak hanya akan tersimpan di kepala, namun akan terukir selamanya dihatimu|| END ||
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory Of Love (COMPLITED)
Фанфик"SEASON KE II DARI MY SWEETHEART" (disarankan untuk membaca MY SWEETHEART untuk memahami karakter tokoh) Senyum itu terus mengembang saat kedua matanya terbuka. Masih dengan orang yang sama, namun, manik mata sehitam jelaga itu menatapnya asing. "Ka...