effete : 3. confession

64 6 4
                                    

When I lost in a strom.
Surprisingly, I didn't broke.

Dio

Dua puluh tahun lebih hidup sebagai manusia yang tertata, logical planner garis keras, lalu ada satu hari dimana otak sama perbuatan gue nggak lagi sinkron. Gue masih inget banget dan bahkan mencatatnya setebal mungkin di ingatan gue, kalau seorang Diondaru harus jaga jarak sama seorang cewek bernama Ailee yang notabene adalah wakil gue.

Bukan apa-apa.

Walaupun gue udah punya pacar, gue masih cowok normal. Ada keadaan dimana seorang cowok terpikat oleh sesuatu, dan itu bukan karena pasangannya. Dan insting seorang cowok pasti tau, sesuatu yang bikin terpesona bakal punya dua dampak.

Satu, hanya lewat. In case, setelah terjadi ya udah, cowok bakal lupain karena sifatnya emang sementara.

Dan kedua, berkelanjutan.

Pesonanya nggak luntur-luntur dari kepala, dan simpelnya, bikin ketagihan sampai si cowok dengan sadar deketin pesona itu buat dapetin pesonanya dalam genggaman. Dan kabar buruknya, semua cowok dipastikan hampir pernah secara sadar punya keinginan buat deketin yang bikin mereka terpikat, entah cuma buat main-main, atau justru terjebak seterusnya.

Senyum itu.

Cewek yang tadi pagi jadi sumber kekacauan speech gue, gue udah janji buat jauh-jauh demi keselamatan hidup gue.

Masih di hari yang sama dengan hari dimana gue bikin janji di otak gue buat stay away dari Lili karena insting gue bikin perintah demikian, justru sekarang gue lagi duduk sebelahan di dalem mobil gue sama cewek itu.

To be honest, it is awkward.
But I really can't help my soul for beating faster than usual.

Kita nggak banyak bicara. Gue juga gak tau mau ngomong apa. Setelah kejadian memalukan di pelantikan tadi, gue emang gak berniat beramah tamah sama ini cewek. Selain gak siap kena masalah, nyatanya badan gue ikut-ikutan panas dingin. Tapi bodohnya, gue malah ngajak dia pulang bareng di saat dia udah dengan tegas nolak.

Iya. Tadi gue bangun ─yang baru gue sadari kalau gue ketiduran lamaa banget─ hanya untuk mendapati cewek bermuka flat lagi duduk di kursi ruang panitia sambil mainan hpnya. Tampang gue yang waktu itu udah pasti bingung, dan Lili menunjukkan dengan muka datarnya dengan sedikit (sedikiiiiiit banget) kesungkanan─ kalo jaket yang gue pakai buat bantalan adalah kepunyaan dia.

Gue yang tadinya risih dan bingung, jadi ngerasa bersalah karena artinya dia nunggu gue tidur hampir selama 4 jam.

"Ehm." Ini juga. Salah satu hal yang udah gue tahan-tahan, akhirnya gue keluarin juga. Bukan karena nggak tahan sama kesunyian,

"Mau mampir makan dulu nggak?" tapi karena naluri lelaki gue menuruti kebrengsekannya buat menantang bahaya.

Gue masih lihat depan saat bertanya, tapi ekor mata gue nggak lepas memperhatikan gerak-gerik Lili. Memang nggak banyak tingkah, tapi gue dengan jelas menangkap kalau dia ngelirik gue sekilas barusan.

"Lo tanya gue?"

Lah sianying. Emang ada orang lain selain dia?

"Bukan." Tukas gue dingin, "Sama kuyang di belakang lo." walaupun gue jawabnya sarkas dan bernada dongkol, tapi detik selanjutnya senyum tipis tercetak di bibir gue waktu si Lili noleh ke belakang dengan raut wajah tegang.

"Haha.." gue gak bisa nahan ketawa.

"Lo takut hantu?" ledek gue saat Lili tegapin badannya, yang tadinya dia nyender tenang ke kursi. Lucu tau gak? Ternyata dia punya sisi penakut di balik wajahnya yang luar biasa datar dan tanpa ekspresi.

EFFETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang