effete : 4. a nite to fight (18+)

94 7 10
                                    

WARNING
18+

Bad feels good
Good feels bad

Lili

Hal pertama yang gue dapati ketika masuk apartemen adalah tatapan Stella yang gak bisa gue tebak. Stella bahkan ada tepat di depan pintu, dan ketika gue masuk, sosoknyalah yang pertama menyapa gue.

Tapi keheranan gue segera terjawab sesaat setelah mata gue mendapati siluet sosok yang duduk di sofa dengan tangan meremas ponsel di tangan. Pandangannya sulit gue artikan.

Dengan dua tatapan orang di hadapan gue sekarang, cukup membuat gue paham kondisi apa yang baru gue ciptakan.

Stella melirik ke arah orang itu sebentar, sebelum merilis helaan nafas yang sarat kekesalan dan kepahaman di satu saat sekaligus, dan lalu Stella menatap gue.

Bukan dengan pandangan kayak tadi di awal gue masuk, melainkan pandangan yang kalau diterjemahkan secara audio akan berbunyi "selesaiin sendiri, gue gaikut-ikutan" di saat sebenarnya gue juga nggak pernah minta Stella jadi penengah.

"Gue keluar. Kalian bisa bicara sepuasnya." Stella mengambil langkah buat pergi. Baru gue denger bunyi klik sebelum suara pintu terdengar, ada seseorang yang menghentikan aksinya.

"Gue aja yang pergi."

Orang itu bangkit, tubuhnya nglewatin gue tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Dan ketika mendengar suara pintu tertutup, lagi-lagi gue mendengar Stella menghela nafasnya. Kakak gue mengusap puncak kepala gue pelan sebelum akhirnya masuk dalam diam.

Gue bikin dua orang marah.

Tiba-tiba dada gue sesak dan mata gue panas. Entah beruntung atau gak, gue nggak berakhir nangis dengan air mata. Gue hanya terdiam sekian lamanya di tempat yang sama.

15 menit.

30 menit.

Bahkan satu jam gue masih mematung di posisi ini.

Tepat tengah malam gue bergerak.

Dengan langkah sedikit ragu, gue jalan pelan ke kamar saudara perempuan gue hanya untuk memandangi pintu kamarnya yang polos dan tertutup.

Stella.

Gue nggak pernah bisa tidur di bawah jam 1 pagi. Biasanya, gue akan menyelinap masuk ke kamar Stella dan tidur di sampingnya karena gue suka harum kakak gue. Gue suka hangat tubuhnya Stella.

Ada memori yang selalu gue coba ingat, namun gak pernah berhasil gue temukan setiap kali gue berada di dekat Stella.

Harumnya.

Hangatnya.

Seolah mengingatkan gue pada keharuman dan kehangatan yang kata orang-orang disebut Ibu.

Kenapa kata orang? Karena gue nggak pernah tau, gue nggak pernah paham gimana sosok real seorang Ibu bagi gue.

Gue gak pernah lihat ibu. Oke, mungkin waktu kecil pernah, tapi gue rasa saat itu gue belum sadar dan belum bisa apa-apa untuk menyimpan memori seorang Ibu.

Stella bilang Ibu kita cantik. Kata Stella karena ibu punya anak-anak yang cantik kayak kita.

Stella bilang, kalo gue kangen dan pingin peluk Ibu, gue harus peluk dia. Stella bilang, Ibu menitipkan semua kasih sayangnya lewat Stella.

Sejak kecil, gue selalu berpikir kalo Ibu nggak sayang sama gue. Apapun alasannya, Ibu lebih milih pergi daripada menemani gue. Menemani Stella.

Jauh. Jauh banget tanpa bisa diraih lagi sekalipun gue cari di seluruh dunia.

EFFETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang