POV Balqis
Azan berkumandang menghentikan aktivitasku yang sedang bermain dengan Danish. Kuminta dia ke kamar mandi dan menyuruhnya mengambil air wudhu. Awalnya, Danish tak mengerti apa yang dimaksud dengan wudhu. Namun setalah keterangan secara rinci, dia mengerti dan mau mengikuti apa yang kuajarkan.
"Kita niat dulu, ya ...."
"Emang perlu wudhu harus niat dulu, Bi Ais?" tanyanya dengan bersemangat.
"He'em, sayang. Perlu, bahkan wajib sebagai syarat sah melakukan sholat. Jadi ... Danish harus berniat dulu."
"Caranya?"
"Ikuti kata-kata Bi Ais, ya ... Nawaitul wudhuu-a liraf'il khadatsil askhori fardhallilahita'ala ...." Danish akhirnya mengucapkan doa tersebut walaupun masih saja ada yang salah. Aku masih bisa memaklumi hal itu karena dia baru belajar.
Aku mulai mencekoki dirinya dengan ajaran-ajaran agama Islam yang baik dan benar. Kadang dia selalu mengeluh dengan apa yang aku katakan dan harus dia praktekkan. Seperti gerakan wudhu yang pertama kali aku ajarkan padanya. Aku ingin anak majikanku bisa mengetahui apa itu Islam dengan baik dan benar agar kelak dia menjadi manusia yang selamat dunia akhirat.
Kadang dia bermain-main seperti memercikan air yang sedang mengalir kearahku hingga aku dan Danish basah kuyup. Namun hal itu tak menghalangi semangatku dalam mendidiknya menuju arah yang lebih baik. Aku sudah gaji dengan bayaran tinggi, lalu aku harus mengimbangi dengan memberikan Danish pelajaran berharga setiap hari itulah prinsipku sekarang.
"Lalu, setalah wudhu, kita terus ngapain?" tanyanya.
"Lalu, kita doa lagi."
"Yah ... dari tadi kok doa melulu sih, Bi! Danish, 'kan bosen jadinya ...!" keluhnya. Kucubit pipi tembemnya dengan gemas. Kuperlihatkan senyuma paling manis yang kumiliki sekarang walaupun dia cemberut.
"Danish gak boleh bosen-bosen doa. Karena doa bisa mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin. Misalnya ya ... Danish doa besok pagi Papa ajak Danish main sampek puas. Terus Allah ngabulin. Maka ... Danish bisa main sama Papa sepuasnya. Gitu! Jadi, Danish gak usah bosan-bosan minta sama Allah. Dengan cara shalat."
"Apa itu, Bi?"
Anak ini rasa ingin taunya sangat tinggi rupanya.
"Shalat iyalah ... kewajiban yang dilakukan bagi setiap individu dan tidak boleh di wakilkan oleh siappun. Maka dari pada itu, kita sebagai umar Rasulullah harus menjalankan salat karena itu adalah kewajiban dan tidak bisa di ganggu-gugat oleh siapapun."
"Lalu, Rasulullah itu siapa?" tanyanya kembali. Pasti setalah kujelaskan lagi pasti dia akan bertanya hingga aku akan letih menjawabnya.
"Rasulullah itu ... manusia paling mulai dimuka bumi ini. Beliau diutus oleh Allah untuk menyempurnakan agama terdahulu dan menggantikannya dengan agama paling diridhoi-Nya-yaitu agama Islam. Jadi, Danish harus mencintainya, sebagimana Danish mencintai Papa." Danish manggut-manggut. Aku tak yakin kalau dia mengerti dengan apa yang telah aku jelaskan tentang salat maupun Rasulullah padanya.
Walapun usianya masih sekitar 5 Tahun. Apa salahnya aku memberitahunya tentang salat. Toh, itu berguna untuk masa mendatang jika aku pergi ataupun dipecat oleh tuan Mario.
Setalah salat, aku mengajarkannya mengaji walapun dia terus rusuh mengeluh ngantuk ataupun lapar. Namun dengan iming-iming permen kapas.
.
.
."Pah, kalau sebelum makan itu doa dulu!" tegurnya. Kulirik Danish yang tengah menunggu aku menuangkan susu di gelasnya.
"Oh, ya? Coba gimana doanya. Papa mau denger," pintanya dengan melirik tajam padaku. Aku menanggapinya dengan menunduk.
"Allaahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa wa qinna'adzaabannar. Gitu!" Tuan Mario manggut-manggut. Tangannya terulur mengacak-acak rambut Danish yang memanjang.
"Pinter anak Papa. Siapa yang ngajarin?"
"Bibi Ais, lah ... masa Papa! Papa kalau dibandingkan dengan Bibi Ais mah ... payah! Gak ada apa-apanya!" Wajah tuan Mario seketika berubah. Yang tadinya terlihat ceria-kini mendadak lesu seperti orang kekurangan darah.
"Terus Bibi Ais ngajarin apa lagi?" tanya tuan Mario. Namun aku rasakan atmosfer gak enak dalam dirinya.
Danish mulai menceritakan semua apa yang telah aku ajarkan. Bahkan dia membaca doa wudhu siang tadi sebelum salat dzuhur beserta tata cara shalat yang masih acak kadul. Kadang rukuk dengan kepala menengok kanan dan kiri membuatku malu setengah mati.
"Aduh, Danish ... kalau rukuk itu gak tengok kanan atau kiri. Pandangan kebawah, sayang ...," gumanku. Aku ingin berkata seperti itu namun lidahku kelu dibuatnya.
Memang benar kata orang, anak kecil itu bagian kertas putih yang bersih. Bila kita isi dengan kebaikan maka kertas itu tidak akan ternoda. Sebaliknya, jika kita memberikannya pelajaran yang bisa dibilang jelek. Maka ... kertas yang tadinya putih mulai ternoda dengan hal tersebut.
B E R S A M B U N G
KAMU SEDANG MEMBACA
NIQOB-Pembantu Bergelar sarjana
Fantasy"Mendidik bukan selagi dia mulai beranjak dewasa. Namun pada masa usia emasnya, dia akan menjadi anak yang luar biasa."