Part 1

492 22 0
                                    

Matahari terasa panas hari ini. Kutelusuri trotoar dengan langkah lunglai. Keluar masuk sudah aku lakukan. CV telah aku sebar diberbagai perusahaan namun apalah dayaku. Memang benar kata Umi.

'Wanita bercadar mana mungkin akan diterima diberbagai perusahaan manapun. Mustahil!'

Mereka mau menerima asalkan aku melepas cadar yang kugunakan. Namun tekat tepat tekat. Aku lebih memilih memakainya ketimbang melepasnya hanya demi pekerjaan dan dunia yang hanya sementara.

Tenda berjejer rapih di trotoar. Para pedagang dari baju hingga makanan berjejeran. Aku berfikir, apakah mereka tak tahu akan peraturan yang telah pemerintah tetapkan tentang larangangan pedagang melakukan transaksi jual beli di sana?

Di Negara maju seperti Amerika dan Inggris, masyarakat di sana sangat menaati peraturan yang dibuat pemerintah. Sedangkan Indonesia yang memiliki lebih dari 300 juta penduduk sangatlah berbanding terbalik. Banyak pihak yang menentang dan yang mendukung.

Aroma masakan menguar dipenciumanku. Perutku berdendang keras memberi kode supaya agar disisi. Ah, lapar akunya. Kubelokan saja langkahku masuk ke dalam tenda rumah makan. Setelah memesan, sekitar 15 menit akhirnya pesananku tersuguh di depan mata.

Kusikat saja makanan yang sudah di depan mata dengan lahap. Aku gak peduli pengunjung memandangku dengan tatapan aneh dengan pakaian dan cara makanku. Setelah menghabiskan makanan dan membayar, kulangkahkan kaki meninggalkan tempat itu.

Setelah berjalan sekitar 10 menit. Rasa letih mulai terasa. Kaki mulai pegal-pegal. Peluh pun sudah membanjiri keningku. Kugerakan tengah mengusap peluh. Sudah bulan Oktober. Namun sepertinya Allah belum memberi sebuah rizki berupa setetes air yang jatuh dari langit.

Kulihat mobil berhenti tepat di depanku. Bunyi klakson memekah telingaku. Kaca mobil berwarna hitam itu turun. Seorang pria menyembulkan kepalanya kejendela. Sejenak aku terperangah oleh pesonanya.

"Ya Allah ... dia manusia atau malaikat? Guantengnya ...."

"Woy! Buka gerbangnya!" Teriaknya membuatku sadar akan lamunanku. Astaufirullah ... maafkan hambamu yang khilaf ini ya Allah. Dengan bodohnya aku mengikuti perintahnya itu. Mobil yang dia kendarai masuk tanpa permisi meninggalkan aku sendiri di sini.

Aku bagaikan patung yang masih berdiri di depan gerbang. Pria tadi keluar dari mobilnya dan menoleh kearah. "Mau sampai kapan kau berdiri di situ? Masuk!" Aku hanya pasrah mengikuti dirinya dari belakang. Pemandangan pertama yang aku temui dari rumahnya adalah ruang tamu mewah dengan satu set sofa mewah dan lampu gantung kristal di langit-langit.

Aku hanya bisa berdecak kagum dengan maha karya ciptaanmu, Tuhan. Dia menjatuhkan bobotnya di sofa yang terlihat empuk. Tangannya bergerak melepas jas yang melekat di tubuhnya dan melampirkannya di sampingnya. Sedangkan Aku. Aku hanya bergeming tanpa kata melihat apa yang dilakukannya.

"Apakah kakimu tak pegal berdiri terus?" tanyanya dengan wajah terlihat serius.

Pegal lah, bambang! Udah tau malah nanya.

Kujatuhkan bokongku di sofa tepat di depannya.

"Coba saya liat CV kamu?"

Eist, apa ini? Emang aku mau kerja di sini? Mau tak mau kuserahkan CV yang telah kubawa seharian ini dengan tangan bergetar.

Matanya nampak melihat dari kanan hingga kiri. Rasanya kalau di ruangan gede kayak gini, jantungku rasanya seperti sedang menjalankan ibadah sa'i di Mekah. Deg-degan banget kayak ketemu pangeran kerajaan Arab yang guantengnya gak ketulungan. Eah ...

"Namira Aisyah Balqis. Lulusan Institut Teknologi Bandung. Bener?" Aku hanya bisa mengangguk.

Ditutupnya CV yang berisikan daftar riwayat hidup dan lainnya. Ya, aku memang lulusan Institut Teknologi Bandung. Aku bangga pernah menginjak jenjang perguruan tinggi di sana. Sebenarnya, aku merupakan orang asli Lampung Selatan yang alhamdulillah mendapat beasiswa di sana.

Dulunya Umi melarangku mengambil beasiswa itu dengan alasan utamanya adalah jarak tempuh dan bagaimana aku bisa hidup di sana. Namun bukan Balqis namanya kalau tidak bisa membujuk Umi memberikan aku restu.

Aku selalu berdo'a pada sang khalik agar apa yang aku cita-citakan terwujud. Setiap sepertiga malam aku meminta kepada-Nya agar Umi mau mengizinkan aku. Paginya tak kusangka-sangka, Umi mengizinkan aku mengambil beasiswa di sana dengan syarat, aku tidak boleh melepas kain yang menutupi wajahku.

Baru dua hari aku menginjakkan kaki di Bandung. Tatapan aneh dan jijik setiap langkahku orang memandang. Aku hanya bisa tertunduk dalam dan tak berhenti melangkah.

Walaupun orang menganggapku teroris, orang sok suci bahkan sok ke Arab-Arab-an. Aku hanya bisa menanggapinya dengan terus membentengi diriku dengan sabar dan takwa pada sang pencipta. Allah semata.

Mereka yang mengaku beragama Islam tapi tak mengetahui arti Islam yang sesungguhnya. Mereka menganggap cadar sebagai alat untuk menghalangi pandangan para lelaki yang ingin memandangnya dengan gratis tanpa terlebih dahulu terjadinya akad pernikahan.

Aku, sebagai wanita bercadar pun tak menghiraukan hal itu. Aku berpegang pada prinsipku, pendomanku, dan ajaran Rasulullah SAW yang benar. Bukan berlagak sok suci atau apalah itu.

"Kamu saya terima." katanya.

Apa? terima. Maksudnya apa? Aku gak ngerti. Kuberanikan diri bertanya padanya, "Maksud, Tuan. Terima apa?" Alisnya terangkat keatas sebelah.

"Saya terima kamu menjadi pembantu saya. Mulai besok kau datanglah jam 08:00." jawabnya.

Apa? Pembantu? Maksudnya pesuruhnya? Hai! Aku gak ngerasa mau ngelamar kerjaan sama dia. "Sebentar, Tuan. Saya di sini gak ada niatan buat melamar pekerjaan. Apa lagi jadi pembantu!" tegasku.

"Lalu kamu tadi ngapain duduk di depan rumah saya?" tanyanya dengan wajah memerah.

"Saya tadi cuma numpang istirahat sebentar. Apa saya seperti orang yang menunggu anda pulang dan meminta pekerjaan?"

"Sudahlah ... kau kerja saja di rumah saya. Lagian, wanita kayak kamu gak bakal di terima di perusahaan manapun walaupun kau lulusan terbaik di ITB. Saya gak yakin. Kalau kamu kerja sama saya, saya janji akan memberi gaji di atas UMR perbulan. Bagaimana?"

Bagaimana ini? Di atas UMR perbulan. Tapi kalau aku gak terima ...

"Baiklah, Tuan. Saya terima." kataku dengan lesu. Lulusan ITB, jadi pembokat. Pasrahlah aku.

B E R S A M B U N G

NIQOB-Pembantu Bergelar sarjana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang