Part 2

372 25 0
                                    


Setelah pulang dari rumah bos baruku, kujatuhkan badanku di ranjang kontrakan. Mimpi apaaa ... semalam aku dapat pekerjaan jadi pembokat alias pembantu. Hah ... memang takdir tak memihak kepada wanita bercadar sepertiku. Gelar sarjana tapi jadi pembantu, sungguh malang nasibmu, Namira Aisyah Balqis sangatlah tragis.

Bagaskara malu-malu menampakan dirinya. Setelah membereskan barang-barang dan berpamit pada Bu Ani-selaku ibu kost, aku bergegas melangkah meninggalkan Kompleks kost.

15 menit dari kost akhirnya aku sampai di depan rumah mewah dengan gerbang bercat hitam legam. Kepencet bel di samping rumah majikanku. Terdengar samar-samar seorang berlari menuju gerbang. Gerbang itu terbuka lebar dan terlihat seorang pria muda berpakaian-pakaian security berdiri tegap di hadapanku. Segera aku menundukkan wajahku.

"Kamu, Balqis?" tanyanya. Dia pasti melihatku dengan tatapan aneh.

"Yah ...."

"Masuk! Tuan sudah menunggumu." katanya lalu entah kemana menghilang begitu saja dari hadapanmu.

Ah ... beginilah jadi wanita. Harus pintar-pintar jaga pandangan pada lawan jenis. Kuseret kakiku melangkah masuk ke dalam teras rumah. Betapa luasnya rumah ini. Sekaya apakah majikanku itu hingga bisa memiliki rumah semewah ini? Di tengah-tengah teras, terdapat kolam dengan air mancur dan bungan-bungan yang mengitari kolam itu.

Kalau aku jadi yang punya rumah Ini, aku gak akan betah bahkan gak bisa tidur nyenyak setiap malam. Aku takut jika nanti aku terlelap maka, rumahku bisa di rampok. Ish, zerem.

Empat pilar penyangga berdiri kokoh di depan mataku. Kuayunkan langkahku masuk ke dalam yang untungnya pintu tidak terkunci. Di ruang tamu, si pemilik rumah alias Bos-ku tengah duduk santai dengan secangkir kopi di meja.

"Assalamu'alaikum,"

"Hem, duduklah." pintanya. Kujatuhkan bobotku di atas sofa. Apakah dia bukan orang Islam? Mengapa tidak menjawab salamku? Beribu pertanyaan menyerbu otakku yang terkena virus kepo ini. Aku mulai menimbang berbagai macam hal yang ada tentang majikanku.

"Baca ini." Disodorkannya berkas berwarna hijau padaku. Aku mengambilnya dengan berbagai rasa penasaran. Dan mulai membacanya.

Surat Pernyataan Kontrak Kerja

Di bawah ini merupakan hal-hal yang harus dilakukan setiap hari. 
1. Menyapu.
2. Mengepel.
3. Memasak.
4. Mencuci piring. Untuk pakian di laundry.
5. Mengurus Danish.
6. Mengajari Danish pelajaran sekolah. Mengaji dll.

Aku mengeryit. Danish? Siapa dia? Apakah anak majikanku?

"Maaf, Tuan. Untuk poin ke-5 maksudnya apa?"

Desahan panjang keluar dari bibirnya. "Dia anak saya. Jadi berhubung Suster yang biasa merawatnya menyerah gak kuat ngurusnya. Jadi ... kau yang harus mengurusnya." Mataku seolah akan terlepas dari tempatnya.

"Bagaimana? Apakah kau bisa melakukan hal itu? Saya sangat memohon padamu agar kau menerima kontrak ini. Saya juga akan memberikanmu bonus jika kau bisa melakukannya." Sungguh! Apakah dia tahu apa yang aku pikirkan saat ini. Apa selain sebagai majikan, apa dia berprofesi sebagai paranormal seperti di surat kabar yang biasa aku baca?

Kubaca ulang kontrak itu. Alisku mengeryit tak percaya. Apakah pria di depanku muslim?

"Em, sebelumnya saya minta maaf jika ada kata-kata yang akan keluar dari mulut saya menyinggung anda." Dia mengguk. "Apakah anda seorang muslim?" tanyaku dengan hati was-was.

"PAPA!" Teriakkan menggema mengalihkan pandangan kami. Seorang anak yang kutaksir usianya sekitar 5 Tahun-an berlari dan menjatuhkan tubuhnya dalam dekapan majikanku itu. Tawa bahagia terdengar di telingaku sangatlah jelas. Walau aku tak mengangkat wajahku, aku bisa merasakan hal itu.

"Papa, hari ini jangan pergi, ya? Danish mau main sama Papa" celotehnya dengan suara melengking.

"Maafin papa, sayang. Papa gak bisa." Wajahnya yang tadinya terlihat ceria, kini mendung bak akan turun hujan.

"Yah ... kok gitu! Kemarin Papa janji gak akan pergi kerja. Kok gak jadi sih, Pah?" Mimik wajahnya seolah menggambarkan kesedihan mendalam. Seharusnya anak usianya selalu di manja, malah orang tuanya sibuk dengan urusan yang menyangkut uang.

"Maafin papa, sayang. Mau gimana lagi. Papa-"

"PAPA JAHAT! PAPA GAK SAYANG LAGI SAMA DANISH! PAPA SEKALU INGKAR JANJI. DANISH BENCI PAPA, DANISH BENCI!!!" Danish berlari dengan derai air mata. Aku bisa merasakan kesedihan anak itu.

Pria di depanku mengugar rambutnya dengan resah. Aku bangkit dan melangkah. 
"Mau kemana Kamu?" tanyanya. Kubalikan tubuhku lalu menunduk.

"Menenangkan Danish sebagai pekerjaan pertama saya hari ini." Dia bergeming. Kelanjutan melenggang menuju kamar Danish.

Pintu kubuka pelan. Anak itu masih menangis memeluk guling di sampingnya. "Papa jahat! Papa gak sayang lagi sama Danish!" tangisnya.

"Danish ...," panggilku. Dia menengok kearahku.

"Bibi siapa?" tanyanya.

"Kenalin. Nama Bini Namira Aisyah Balqis. Pembantu di rumah Danish. Panggil aja Bibi Balqis." ucapku dengan mengulurkan tangan. Dia hanya menatap uluran tanganku tanpa membalas. Kutarik lagi tanganku dan bergerak melepas cadar yang menutupi wajahku. Aku tahu, anak seperti dirinya akan menganggap aneh penampilanku.

Tangan mungilnya menghapus sisa-sisa air yang menggenang di sudut matanya. "Kenapa ke kamarku?"

Kujatuhkan bokongku di tepi ranjang. Dia menatapku seakan ingin sekali memakanku hidup-hidup. "Mau hibur Danish."

"Kok Bibi tau namaku? Papa yang kasih tau, ya?" Aku mengguk mantap.

"Pergi! Aku gak mau Bibi di sini!" teriaknya. Di lemparnya benda-benda yang ada di sekitarnya dengan brutal. Aku hanya bisa pasrah ketika melihat dirinya melakukan hal itu.

"Udah marahnya?" tanyaku. Tangisnya pecah. Kurengkuh tubuh mungil itu dengan penuh kasih. Aku tak peduli, Danish terus-menerus memberontak hingga cadar yang kupakai tak sengaja dia tarik.

"Bibi pergi! Aku gak mau siapa pun ada di sini."

"Tenanglah sayang. Bibi cuma mau jadi temen kamu." ucapku. Kubiarkan tubuh kecilnya keluar dari rengkuhanku. Dia terus menangis hingga ingusnya keluar.

Kuraih tisu dalam kotak dan menghapus air matanya yang mengalir. Mata bulatnya menatapku tanpa berkedip. "Bibi serius?" tanyanya.

"Yup, Bibi datang ke sini buat jadi temen kamu. Jadi ... Danish gak usah sedih atau kesepian. Karena ... Bibi Balqis akan temenin Danish seharian full."

"Yey! Danish punya temen." teriaknya. Aku hanya bisa tersenyum senang melihat dia senang.

"Tapi, Papa gak temenin Danish main ...." Wajahnya murung kembali. Ya Allah ... mengapa anak ini membuat mataku panas.

"Mungkin, Papa Danish lagi sibuk. Danish bersabar saja. Akan tiba dimana Papa Danish main sama Danish lagi. Lagian, Papa kerja juga buat Danish, 'kan? Buat bisa ajak Danish jalan-jalan, beli mainan yang Danish suka dan masih banyak lagi. Seharusnya Danish bersyukur sama Allah karena ... masih punya Papa kayak Papa Danish." jelasku.

"Maksud, Bibi?"

"Maksudnya ... Danish masih beruntung bisa beli apapun yang Danish mau. Sedangkan di luar sana? Banyak yang gak Punya Papa dan gak bisa beli mainan yang mereka suka."

"Jadi Danish harus apa, Bibi Ais?" tanyanya.

"Danish harus memaklumi jika Papa membatalkan janji dengan Danish."

"Tapi ... pasti Danish kesepian dan gak ada temen buat main,"

"Danish lupa ada Bini Ais di sini? Bibi yang akan main sama kamu. Jadi ... Danish gak usah sedih lagi ...."

"Terima kasih, Bi Ais. Danish sayang Bibi." katanya dengan memeluk erat tubuhku.

B E R S A M B U N G

NIQOB-Pembantu Bergelar sarjana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang