POV MARIOSuara ketukan pintu mengalihkan fokusku kearah pintu. "Masuk!"
Derit pintu lamat terdengar. Seorang wanita berpakaian sexy mendekatiku dengan langkah menggoda. Dia lagi! Apakah dia tidak bosan menggangguku terus? Apakah aku harus membuangnya ke-Samudra Atlantik agar dia dimakan ikan paus. Atau membunuhnya? Kalau itu tidak dosa!
"Hai, Mario. Kenapa teleponku tidak kau jawab?" tanyanya. Tangan liarnya menyentuh pundakku hingga membuat aku begidik ngeri.
"Apa semurah itu harga dirimu, Aletha?" tanyaku dengan mengalihkan pandanganku padanya. Wajahnya yang putih seketika berubah merah padam seperti habis kebakaran jenggot walaupun dia gak punya jenggot.
Ditariknya tangannya dengan kesal."Apa maksudmu?" Tatapannya seolah-olah meminta penjelasan padaku. Dia bagikan terpidana dalam sebuah kasus yang ingin di interogasi. Sedangkan aku, aku adalah petugas yang menginterogasinya.
"Apakah kau datang kemari ingin mengodaku dengan berpakaianmu itu? Heh, gak mempan!" Tangannya kini mengepal kuat. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Melihatmu dengan pakian itu saja sudah membuat moodku ancur! Dimana rasa malumu, Aletha Savanya? Apakah kau tidak malu dengan janin yang sedang kau kandung itu? Sebegitu inginkah kau menikah denganku?"
Air matanya mengalir begitu saja. Aku sebenarnya paling anti membuat orang-apalagi seorang wanita menangis dengan ucapan atau sikapku. Tapi, mau bagimana lagi? Dia terlalu berobsesi denganku. Walaupun aku menikahinya, aku tidak akan bahagia dengan pernikahanku nantinya dengan dia.
Aku sudah mengenal baik Aletha. Dia merupakan anak relasi Mommy yang desas-desusnya tengah mengandung anak dari kekasihnya yang entah kemana menghilang. Dia hanya menikmati namun tidak mau bertanggung jawab. Aku juga heran padanya. Mengapa dengan sebatas rayuan atau gombalan saja, dia sudah menyerahkan tubuhnya pada laki-laki itu.
Aku sebagai pria normal akan lebih memilih wanita baik-baik yang sederhana ketimbang dirinya yang anak konglomerat yang dengan naif-nya memberikan mahkotanya pada pria yang belum berhak atasnya sebelum terikat sebuah pernikahan.
"Yah ... aku sangat-sangat menginginkanmu." tangisnya.
Mario ... tahan. Jangan sampai kau terperdaya dengan air mata buaya-nya itu. Aku tau, dia wanita yang pintar berakting karena dia adalah artis papan atas yang sebentar lagi kariernya akan melonjak turun.
Kuputar bola mataku dengan malas. "Ya, ya, ya! Dan itu semua karena anak yang sedang kau kandung, bukan? Jadi ... kau ingin aku menikahimu agar popularitas dan aib-mu bisa tertutupi dengan sempurna dan kau bisa meneruskan kariermu itu. Bukan begitu, Nona Aletha?"
Tangisnya pecah. Bagikan gelas yang dijatuhkan dari ketinggian. Walaupun begitu, aku juga tau, dia sakit hati karenaku. Aku terkesiap kaget ketika dia dengan lancangnya memelukku tanpa komando. Dengan berusaha sekuat tenaga, aku akhirnya berhasil melepaskan pelukannya itu.
"Kamu keluar sekarang!" perintahku. Namun dia sama sekali tidak bergerak sama sekali. Terpaksa aku melakukan kekerasan padanya. Bangkit dan mencengkeram kuat lengannya kulakukan. Dia mengaduh kesakitan. Namun aku tak mendengarkan apa yang tengah dia keluhkan padaku. Kubuka pintu dan meneriaki security agar mereka datang.
Beberapa menit kemudian, security datang. "Ada apa, Bos?" tanya mereka.
"Bawa dia pergi dari sini! Saya tidak mau melihatnya ada di sini lagi!" Tanpa banyak kata, security menyeretnya keluar dari hadapanku. Aku tak peduli kalau dia berteriak seperti orang gila.
Kuputuskan masuk dan menelpon sekretaris-ku.
"Batalkan semua janji hari ini. Saya sedang pusing." Setelah mengatakan hal itu, kuraih jas yang tergeletak di kursi dan memasukan berkas dan laptop ke dalam tas dan melenggang pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
NIQOB-Pembantu Bergelar sarjana
Fantasia"Mendidik bukan selagi dia mulai beranjak dewasa. Namun pada masa usia emasnya, dia akan menjadi anak yang luar biasa."