Part 8

360 24 0
                                    

POV Balqis

Setalah Danish tidur, tuan Mario mmengajaku berbicara. Berdua. Hanya berdua. Rasanya degub jantungku berdetak lebih cepat cari biasanya. Tuan Mario menggiringku kearah kolam. Gemericik air berbaur dengan cuitan burung menjadi musik alami di siang hari ini. Cuaca sangatlah panas. Keringat tanpa sadar membanjiri keningku hingga aku harus bersusah payah menyekanya.

Tuan Mario mulai membuka topik pembicaraan tentang aku yang di panggil Danish dengan sebutan 'Umi'. Dia mengatakan senang bisa melihat Danish bersikap seperti itu. Kehadiranku membawa hal tersendiri di kekurangan kecil ini.

Tuan Mario bercerita, bahwasanya Danish memang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang Ibu. Makanya dia memaklumi hal itu. Namun bagiku tidak. Ada hal terselubung dari cara berbicara tuan Mario. Aku rasa dia menyembunyikan sesuatu. Namun enggan untuk bercerita.

Setelah kudengar desahan panjang keluar dari bibirnya, Tuan Mario mulai menguak semuanya. Dan itu sangatlah membuatku tercengang. Danish bukanlah anak kandungnya. Dia menemukannya di depan rumahnya pada waktu malam. Ibunya entah kemana. Dia hanya meninggalkan secarik surat yang mengatakan untuk mengurusnya karna dia tidak mau mengurus Danish pada saat bayi.

Marah, kecewa, kesel, dia rasakan. Tuan Mario mengadopsinya dan mengikatnya menjadi anaknya hingga sekarang. Tuan Mario juga mengatakan, Danishlah yang membuat perjodohannya batal.

Aku sekali lagi terperangah. Bukan kesedihan yang tuan Mario gambarkan dari ekspresinya. Namun raut bahagia yang tampak. Aku heran, apakah orang kaya akan seperti itu? Bahagia jika apapun yang ada di kehidupannya, termasuk perjodohannya batal? Hanya dia yang tau. Tuan Mario pun membuatku tak percaya. Dia mengaku masih single. Alias belum memiliki pasangan.

Pantas saja, ketika Danish masuk ke dalam kamar tuan Mario, aku tidak melihat sebiji pun foto pernikahan. Namun hanya foto dirinya dengan Danish waktu berlibur ke Nederland entah Tahun berapa.

Tuan Mario pun langsung mengarah ke inti pembicara yang sedari tadi ngalor-ngedol gak jelas. Dia memintaku mengajarinya mengaji. Kulihat dia setengah mati mengungkapkan hal itu. Tidak mudah. Itulah yang bisa kugambarkan melalui air mukanya. Di umurnya yang tak terbilang matang, seorang Mario Alvero meminta diajari mengaji oleh Namira Aisyah Balqis, yang notabenennya hanya wanita biasa.

Namun niatnya sungguh mulia. Malamnya, aku mengajari tidak hanya dia, namun seluruh orang yang ada di rumah ini. Mulai dari Bu Endah, sampai Anton. Aku diam-diam memperhatikannya tanpa dia ketahui. Dia pria yang baik. Aku harap, jodohnya juga wanita yang baik-baik.


.
.

Azan berkumandang menuntunku menuju kamar Danish. Ya, setelah aku tinggal di sini dan mengajarkan hal-hal kecil. Salat pun tak luput aku ajarkan. Dia memang usianya belum mencapai 7 Tahun. Namun apalah salahnya jika kita mendidiknya agar menjalankan salat.

Kata orang, mau nakal atau baiknya anak itu tergantung dari cara orang tuanya mendidik. Dan aku, sebagai susternya, akan mengajarkan dia bagimana menjadi manusia yang baik. Terutama dalam hal salat. Aku berpedoman pada perkataan sahabatku yaitu,

'Amalan ketika kita di nisab nanti yang di pertama kali adalah SALAT.'

Jadi, aku mengantisipasi hal itu lebih baik sekarang ketimbang nanti-nanti menunggu umurnya 7 Tahun.

"Danish, ayo bangun. Kita salat, yuk," Kugoyang-goyangkan lengannya. Namun apalah dayaku. Dia dalam usianya yang masih kecil mana mau bangun. Namun bukan namanya Balqis jika tak bisa membuatnya bangun.

"Papa juga salat, loh. Masa, Danish gak mau salat," Anak itu kemudian bangun. Tampak sekali bekas sisa-sisa tidurnya yang menempel di samping mulutnya.

"Papa juga salat, Mi?" tanya Danish dengan mengusap-usap matanya menjernihkan pandangan. Aku mengangguk mantap. Walaupun aku tau, tuan Mario saat ini pasti juga masih tidur.

"Ayo, ambil wudhu terus kita salat." Kutuntun Danish turun dari ranjangnya menuju kamar mandi.

***

"Mi, Papalah kemana? Kok gak ada. Apa Papa masih tidur?" Dia nampak clingak-clinguk mencari keberadaan tuan Mario.

'Wajar saja, Nak. Papamu masih tidur!'

"Ah, mungkin iya. Jadi, Danish harus apa sekarang?" Dia berlari menuju kamar tuan Mario dengan lincah. Pintu dia dorong dengan ganas. Danish naik begitu saja dan mengoyang-goyangkan lengan sang Papa yang asik dalam alam bawa sadar. Hingga kesabaran anak itu hilang.

"PAPAAA, BANGUUUNNN UDAH PAGIII! AYO SALATTT!" Kututup telingaku mengurangi suara cempreng anak itu. Tuan Mario berjinggat duduk dan menutupi telinganya.

"Astaga, Danish! Ngingetin aja!"

"Ya, habis Papa tidurnya kayak kebo. Susah banget bangunnya. Pantesan aja, gak ada yang mau sama Papa. Udah tidur kayak kebo udah gede ngiler pula!" Sontak aku menutup mulutku rapat-rapat. Kalau aku tertawa bisa-bisa tuan Mario akan memotong gajiku. Itu sangat berbahaya.

Tuan Mario mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu mencium pipi Danish dengan brutal. "Papa, stop! Don't touch me!" Teriaknya.

"No! Papa won't just let you go!"

"Please, remove Danish, Pah ...." Mau tak mau, tuan Mario melepaskannya.

"Ngapain, sih bangunin Papa pagi-pagi kayak gini?"

"Danish mau Papa ikut Danish sama Umi salat. Danish mau kita bareng-bareng ke-Syurga kelak nanti. Emang Papa gak tau, ninggalin salat itu hukumnya DOSA? Yuk salat bareng Danish sama Umi. Kalau gak bisa, Umi nanti yang akan mengajari Papa salat."

Perkataan Danish sungguh menjukan hatiku. Dia menguasai semua yang aku ajarkan dengan baik. Memang benar kata orang dulu, mengajari anak usia Danish itu sangatlah mudah untuk ia tangkap. Anak usia Danish juga sangatlah memiliki rasa ingin tau yang lebih besar.

Tuan Mario tanpa berkata lagi, dia bergegas menuju kamar mandi dan bergegas mandi. Aku memilih keluar dan menuju tempat salat yang ada di rumah ini. Ruangannya sangatlah besar dan indah banyak ornamen lukisan kaligrafi dan Mekkah yang terpampang besar di figura.

10 menit aku menunggu namun tuan Mario dan Danish belum juga datang. Kuputuskan menggelar sajadah. Hanya ada aku, Bu Endah saja yang hadir di sini. Sedangkan Anton, dia masih terlelap di pos security di depan. Aku sudah menyuruhnya. Namun dia malah sulit untuk dibangunkan.

"Umi," panggil Danish. Aku refleks menoleh dan betapa terkejutnya aku. Tuan Mario sudah rapih dengan baju kokoh dan sarungnya. Dia nampak berbeda dari yang biasanya kutemui. Tampan. Rasanya mengucap hal itu saja lidahku kelu.

Astaugfirullah hal'adzim. Maafkan atas kekhilafanku Ya Allah. "Ayo, Tuan. Anda yang jadi imamnya." Dia nampak sekali gugup. Aku bisa menangkap, bahwa dia tidak pernah menjalankan salat 5 waktu.

"Tapi, Aisyah ... saya sudah sedikit lupa dengan bacaan salat," keluhnya. Mau bagaimana lagi. Aku hanya mengajarinya sampai bisa.

Hingga jam menujukan pukul 04:15, kami baru saja menjalankan kewajiban tersebut. Tuan Mario berhasil menjadi imam kami tuk salat subuh kali ini. Memaksanya dengan keras tidak akan membuatnya mau. Namun dengan kelembutan dan berbekal senjata pamungkas, aku bisa menaklukan tuan Mario dengan bantuan Danish. Ya, walau sedikit ada adegan teriak-teriak. Namun aku bahagia melihat majikanku salat tuk pertama kali. Dia masih saja menangis sesenggukan di atas sajadah. Aku tau, dia menyesali telah meninggalkan salah sebelum itu.

B E R S A M B U N G

NIQOB-Pembantu Bergelar sarjana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang