Part 6

318 21 0
                                    

POV Balqis

Pagi yang cerah. Setelah tuan Mario pergi bekerja, aku dan Danish tinggal di rumah sendiri. Tuan Mario berpesan, jam 07:45 aku harus mengantar Danish pergi ke TK yang tempatnya tak jauh dari rumah. Pemerintah sangatlah aneh. Tahunku dulu, anak usia Danish sudah bisa dengan leluasa masuk ke Sekolah Dasar. Dan sekarang, sebelum menginjak TK, pihak SD tidak akan menerima murid jika tidak mengenyam pendidikan usia dini di sana.

Mobil yang dikendarai Anton-selaku security tuan Mario berhenti tepat di depan TK. Sebelum itu, dia menawarkan untuk dirinya mengantarku dan Danish pergi ke sana. Namun kutolak dengan dalih hanya beberapa meter saja. Namun karena cuaca yang tidak mendukung, kuterima dengan terpaksa menunpangi mobil tuan Mario yang dikhususkan untuk mengantar-jemput Danish sekolah.

"Danish baik-baik di dalam, ya ...," ucapku dengan memakaikan tas kepunggungnya.

"Hai, Danish," sapa anak kecil yang kutaksir seusia Danish.

"Hem." Singkat padat dan jelas dia menjawabnya. Ada apa dengan anak ini? Mengapa sikapnya yang tadinya ceria kini berubah murung?

"Kenalin, ini Mommy aku. Mommy kamu mana?" tanyanya setengah mengejek.

Danish menggenggam erat tanganku dan menatapku dengan tatapan yang tak kumengerti. Lalu berkata, "Kenalin. Ini Umi Danish," ucapnya dengan mantap. Umi? Aku? Maksudnya apa? Apakah dia menganggapku sebagai Ibunya? Ya Allah ... ada apa dengan anak ini? Apakah aku harus mengikuti permainannya?

Tatapan aneh dan jijik mereka serentak berikan padaku. Ibu dari anak itu pun bahkan menatapku dari atas kebawah. "Saya Shopia Angeles. Mommy-nya Gavin. " katanya dengan mengulurkan tangannya padaku. Kujabat tangan wanita sexi itu dengan senyum di balik cadar yang kupakai ini.

"Namira Aisyah Balqis. Umi-nya Danish," balasku. Lalu dia melepas jabatan tangannya.

"Jadi, anda istri tuan Mario?" tanyanya dengan pias wajah tak percaya . Sebelum menjawab, Danish sudah menjawabnya dengan mengaku memang akulah istri tuan Mario. Rasanya darahku melonjak naik keubun-ubun.

.
.
.

Semenjak kejadian tadi, aku hanya bisa melamun walaupun Danish terus-menerus berceloteh tentang bagimana melihat raut wajah Gavin-temannya di TK tadi pagi. Entah apa yang ada di dalam pikiran anak sekecil ini. Dia spontanitas menganggap aku yang bukan siapa-siapa dalam kehidupannya sebagai Uminya. Kuputuskan berhati-hati bertanya tentang hal itu.

"Danish, Bi Ais boleh nanya?" tanyaku. Dia menghentikan aktivitasnya dan menatapku lekat-lekat.

"Apa, Bi?"

"Tadi kenapa Danish manggil Bi Ais dengan sebutan Umi?" tanyaku dengan langsung to the point. Danish menuduk. Wajahnya yang tadi terlihat ceria, kini mendung bagikan akan turun air matanya.

"Emang Danish gak boleh panggil Umi sama Bi Ais?"
Masya Allah ... anak ini. Tahan Balqis, jangan nangis, jangan nangis.

"Boleh kok, Danish sayang. Danish boleh panggil Bi Ais dengan sebutan Umi." Spontan Danish memelukku dengan erat. Kuusap rambut hitamnya dengan penuh rasa kasih.

"Makasih, Umi. Danish sayang Umi. Kalau Danish sama Umi, Danish jadi gak kangen lagi sama Ibu yang udah pergi jauh ninggalin Danish sama Papa. Kalau deket sama Umi, Danish ngerasa diperhatian sama Umi. Danish suka dengan cara Umi menasihati Danish. Danish suka semuanya yang ada pada Umi ...." Tak terasa bulir bening mulai menetes membasahi cadarku. Kueratkan pelukanku padanya.

Dimana Ibu kandungnya? Mengapa dia begitu tega meninggalkan Danish dan tuan Mario? Rahasia apa yang sebenarnya terpendam di rumah ini?

"Ada apa ini?" Tiba-tiba saja tuan Mario berdiri tepat di hadapan kami. Kulonggarkan pelukanku. Danish berlari dan memeluk tuan Mario dengan bahagia. Kuusap air mataku dengan punggung tanganku lalu bangkit.

"Ada apa sayang? Kamu nangis?" tanya tuan Mario dengan mendorong pelan tubuh Danish. Keningnya mengkerut menatap sang buah hati dengan mengintimidasi. Kecupan kecil di pipinya membungkam mulut sang Papa.

"Danish gak nangis kok, Pah. Tapi Danish lagi seneng banget." Ucapan Danish tak luput dari dari perhatianku dan tuan Mario sendiri.

"Emang seneng kenapa?"

"Kerena ...?"

"Kerena ...?"

Danish melepaskan rengkuhan tuan Mario begitu saja dan berlari kearahku. Kusejajarkan tubuhku dengannya dan Danish memeluk erat tubuhku. Tubuhku jadi memegang. Apa anak ini akan mengatakan kalau dia mengaku kalau aku Umi-nya?

Kecupan kecil dia berikan di pipiku. Sungguh! Rasanya wajahku terasa dipanggang. Panas sekali. Kalau aku tidak memakai cadar pasti tuan Mario dan Danish akan melihat betapa merahnya wajahku ini. Dan ... hal yang kutakutkan terjadi. Danish mengatakan kalau dia mempunyai Ibu baru. Sebelumnya, tuan Mario nampak terkejut namun segera mengubah raut wajahnya.

"Siapa yang bilang kalau Bi Ais, Umi-nya Danish?" tanyanya dengan menatap tajam padaku. Kutundukan wajahku agar aku tidak bisa melihat betapa marahnya dia. Sepertinya akan terjadi perang dunia kalau Danish mengatakan hal yang aneh-aneh lagi.

Ya, Allah ... selamatkan hamba dari amukan majikanku ini ....

"Danish sendiri!" jawabnya dengan memaikan kimarku.

"Apa alasan Danish bisa bilang kalau Bi Ais, Uminya Danish?" Tuan Mario mulai mencecar Danish dengan pertanyaan-pertanyaan yang sukses anak itu jawab sesuai dengan logika anak usianya. Kuakui, dia pintar sekali dalam berbicara. Setiap kali Danish merasa kesulitan, maka dia tak segan-segan bertanya padaku.

Setelah mengetahui hal itu, Danish mengeluh mengantuk. Kulihat jam sudah menunjukan baru pukul 14:00 siang. Tuan Mario menggendongnya dan membawanya ke kamar anak itu. Sedangkan aku membuntutinya dari belakang.

"Danish kalau tidur harus apa?"

"Harus baca doa." jawabnya dengan menatapku dengan mata bulatnya.

"Terus doanya gimana. Umi mau denger?" Rasanya aneh memanggil diriku sendiri di depan Danish dan tuan Mario dengan sebutan 'Umi'. Canggung entah apa? Aku grogi ketika menuntunnya membaca doa sebelum tidur, Tuan Mario selalu menatapku tanpa berkedip.

Danish mulai terpejam. Kulangkahkan kaki meninggalkan kamar Danish dengan tuan Mario yang mengikutiku dari belakang. Apa ini saatnya aku bertanya tentang siapa Ibu kandungnya? Tapi, bagimana jika tuan Mario marah?

"Aisyah ...," panggilnya. Aisyah? Tumben sekali tuan Mario memanggil nama tengahku. Biasanya saja Balqis. Kuputar tubuhku menghadap padanya tak lupa menundukan wajah.

"I-iya, Tuan. A-ada apa?"

"Bisa bicara sebentar?" Aku mengguk.

"Ikuti saya. Kita jangan bicara di sini. Saya takut, Danish akan terbangun," katanya. Kuayunkan langkahku mengikutinya. Rumah ini begitu mewah bagiku. Kalau aku jadi tuan Mario, pasti aku tak akan bisa tidur ataupun bisa tenang jika mempunyai rumah segede ini.

Tapi aku bersyukur aku tidak menjadi seperti tuan Mario yang bergelimang harta. Karena yang aku tau, Allah nanti akan menanyakan untuk apa harta kita di dunia? Kalau untuk beribadah seperti berinfak ataupun beramal lainnya, fine-fine aja. Because, itu lebih baik untuk kita dan bermanfaat kelak nanti di akhirat.

B E R S A M B U N G

NIQOB-Pembantu Bergelar sarjana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang