Sibuk. Kata itulah yang selalu identik dengan pasangan suami istri yang kini telah dikaruniai sepasang anak kembar fraternal. Seolah kata itu telah menjadi kutukan sejak mereka mengikat janji suci pernikahan. Bahkan saat si kembar telah berada di bangku sekolah pun keduanya masih sibuk. Tak ayal jika keduanya sering menyalahkan kesibukan satu sama lain. Tak jarang egoisme dalam diri mereka tumbuh lagi.
Siang ini Rara disibukkan dengan jadwal bimbingan skripsi mahasiswanya yang berjumlah sepuluh orang. Sedari tadi dia melayani mahasiswa bimbingannya yang galau dengan penelitian mereka. Dengan telaten Rara membimbing mahasiswanya meski rasanya dia ingin meledak tiap kali ada mahasiswa yang kurang rajin atau molor dari jadwal konsultasi.
Setelah mahasiswa terakhir selesai dilayani, Rara melirik jam yang melingkar di tangannya. Sialnya dia sudah terlambat 30 menit untuk menjemput kedua buah hatinya. Terpaksa dia menyetir dengan kecepatan tinggi atau si kembar akan ngambek dan menuntut ini itu. Membayangkannya sungguh membuat kepala Rara pening.
Wanita berusia 32 tahun itu telah di tiba di halaman depan sekolah PAUD yang telah sepi. Hanya ada Bu Pipit, guru PAUD yang menemani kedua anaknya. Si kembar pun tengah duduk di teras depan sekolah. Ocha langsung rewel ketika melihat ibunya turun dari mobil. Sedangkan Davin hanya memasang tampang datar nan dingin. Rara bergidik ngeri melihat penampakan wajah anak laki-lakinya.
"Maaf, Bu Pipit. Saya membuat Bu Pipit menunggu lama." Bu Pipit hanya tersenyum menanggapinya.
"Mama kenapa telat lagi?" tanya Ocha sebal. Gadis bernama asli Rosa itu memang lebih suka dipanggil Ocha.
"Maaf, sayang. Mama tadi masih sibuk."
"Ocha kan takut sendiri di sini, Ma."
"Kan ada Davin, sayang." Rara melirik Davin yang hanya duduk terdiam tanpa respon apa pun. "Ada Bu Pipit juga," imbuhnya.
"Ocha takut diculik monster dinosaurus, Ma. Tadi temen Ocha bilang ada monster dinosaurus yang suka nyulik anak kecil."
Rara dan Bu Pipit terkekeh mendengar racauan anak kecil polos itu.
"Nggak ada monster kayak gitu, Cha. Udah jangan takut. Ayo pulang." Rara lantas memeluk kedua anaknya.
"Kami duluan, Bu Pipit. Terima kasih dan mohon maaf lagi-lagi harus merepotkan Bu Pipit," pamit Rara.
"Sama-sama, Bu. Tidak merepotkan kok. Sudah tugas saya menjaga anak-anak didik saya," jawab guru muda itu dengan bijak.
Rara menggandeng kedua anaknya untuk masuk mobil. Sepanjang perjalanan Ocha terus mengoceh, menyanyikan lagu anak-anak yang dipelajarinya dari sekolah. Sedangkan Davin yang duduk di kursi penumpang belakang hanya terdiam seraya menatap pemandangan luar dari balik kaca jendela mobil.
Kedua anak kembar itu punya kepribadian yang sangat berbeda. Ocha sangat periang, aktif dan cerewet. Sementara Davin lebih banyak diam dan malas untuk bermain bersama Ocha. Bocah laki-laki itu lebih suka membaca majalah Bobo daripada mainan mobil-mobilan, robot dan sebagainya. Di usianya 5 tahun dia memang sudah bisa membaca. Berbeda dengan Ocha yang masih suka mengeja saat belajar membaca.
"Mama beli ayam goreng buat kalian." Rara tadi memang sempat membeli ayam goreng KFC saat menjemput Ocha dan Davin. Berharap dengan adanya makanan itu anak-anaknya tidak akan ngambek karena telat dijemput.
"Horeee. Makan ayam lagi." Ocha sangat girang melihat box besar berisi ayam di jok belakang.
"Davin nggak butuh ayam," jawab Davin datar.
Rara langsung menghela napas pelan. Davin memang sedikit berbeda. Anak itu seperti dewasa sebelum waktunya.
"Davin mau makan apa? Mama belikan," bujuk Rara.
"Davin nggak mau makan kalau Papa nggak ikut makan sama kita." Rara hanya bisa mengelus dadanya. Anak laki-lakinya ternyata sudah bisa memberontak. Davin sudah bisa melancarkan aksi mogok makan.
Sebenarnya ini yang Rara takutkan sejak keduanya lahir. Rara takut kedua anaknya tidak bisa menerima bahwa kedua orang tuanya sama-sama orang sibuk. Rara takut keduanya merasa kurang kasih sayang. Meski pun selama ini dia berusaha menjadi ibu yang baik. Begitu juga Rega yang selalu berusaha menjadi ayah yang baik.
Rara dan kedua anak kembarnya sudah sampai di rumah. Semenjak anak-anaknya lahir, Rara dan Rega telah pindah dari apartemen. Rega membeli rumah di sebuah kompleks perumahan. Meski tak terlalu luas, setidaknya mereka punya rumah sendiri.
Ocha berlari menuju pintu rumah mendahului Rara dan Davin. Saat Rara hendak membuka kunci pintu. Ternyata pintunya tidak terkunci. Artinya Rega sudah pulang. Benar saja, suaminya itu sudah terkapar di sofa ruang tamu. Jas putih kebanggaan Rega tergeletak begitu saja di meja ruang tamu. Ponselnya juga di lantai. Sepertinya ponsel itu jatuh tanpa disadari oleh Rega.
"Papa!" teriak Ocha girang melihat Papanya sudah pulang setelah 3 hari 3 malam tidak pulang ke rumah sama sekali.
Ocha langsung berlari menghampiri papanya. Dibukanya dengan paksa kelopak mata Rega yang tertutup. Rega pun kaget dan langsung terbangun dari tidurnya.
"Eh, anak cantik Papa udah pulang." Rega bangkit sembari mengumpulkan nyawanya.
"Ocha kangen Papa."
"Papa juga kangen Ocha," ujar Rega. Lantas memeluk tubuh kecil putrinya. "Davin! Sini!"
Davin menuruti perintah Rega. Anak itu mendekat. Dia pasrah saat Rega memeluknya dan mencium keningnya seperti yang dilakukan pada saudara kembarnya.
"Ayo kalian cuci tangan dan kaki dulu! Setelah itu ganti baju. Mama siapin dulu baju kalian. Setelah itu kita makan."
Davin mengangguk. Melihat papanya sudah di rumahnya membuatnya mengurungkan niat untuk mogok makan. Keduanya kini berjalan menuju kamar mandi.
"Kamu kebiasaan kalau nggak pulang nggak kasih kabar."
"Maaf, Ra. Aku benar-benar sibuk sampai nggak sempat telepon atau balas pesan-pesan kamu."
"Aku tuh khawatir kalau kamu nggak ada kabar. Aku takut kamu lupa makan, takut kamu kecapekan, takut kamu..."
Rega meletakkan telunjuknya di depan bibir Rara. "Sssttt... I'm okay. Everything gonna be okay."
Rega meraih pinggang Rara. Menarik tubuh langsing istrinya ke dalam rengkuhannya.
"Aku udah berusaha menjadi istri yang baik buat kamu. Aku selalu berusaha meluangkan waktu buat kamu. Tapi sekarang malah kamu yang gila kerja," ujar Rara lirih.
Rega mempererat rengkuhannya. Mengelus puncak kepala Rara dengan lembut.
"Maaf, Ra. Aku bukan gila kerja. Tapi itu emang udah kewajibanku, Ra. Itu udah tugas aku sebagai internis."
"Tapi lain kali pesan WhatsApp tolong dibalas," protes Rara. "Aku kangen kamu, Re."
"Aku juga kangen kamu, Ra." Rega menundukkan kepalanya. Mengecup bibir Rara lembut. Namun lama-lama ciuman itu semakin dalam. Rara mengalungkan tangannya di leher Rega, berusaha mengimbangi ciuman Rega.
"Mama! Baju gantiku mana?" teriak Ocha membuyarkan adegan romantis kedua orang tuanya.
"Iya, Cha. Bentar ya. Kamu tunggu dulu sama Davin. Mama mau ke sana."
"Udah, siapin dulu baju gantinya anak-anak."
"Iya, bentar ya."
Rega mengangguk. "Ra?" panggilnya saat Rara akan beranjak.
"Nanti kita lanjutkan ya di kamar." Rega meruncingkan jari-jari kedua tangannya. Lalu mempertemukan ujungnya seperti gerakan ciuman.
"Apaan sih kamu, Re?"
"Aku kangen kamu, Ra. Tiga hari nggak pulang aku merasa kurang belaian."
"Dasar." Rara mendumel.
"Ra?"
"Apalagi, Re? Anak-anak udah nungguin aku.
"Cuma mau bilang kalau aku makin cinta sama kamu."
***
Hallooooo
Karena saya lagi gabut, akhirnya saya memutuskan untuk bikin sequel Rega dan Rara. Gimana prolognya? Semoga bisa bikin kalian ambyarrr.
KAMU SEDANG MEMBACA
All or None
RomancePapa itu lebih sayang sama pasien. Kalau Mama lebih sayang sama mahasiswa (Davin Ananta Ferdiano). Papa dan Mama susah diajak piknik (Rosa Canina Ferdiano). Cerita ini adalah sequel 'Erlebnisse'. Harap membaca 'Erlebnisse' terlebih dahulu sebelum me...