10. Rega's wife

2K 176 39
                                    

Rega membuka matanya perlahan. Cahaya lampu yang menembus korneanya membuatnya harus memicing. Aroma kopi pun menguar ketika kesadarannya kembali sepenuhnya. Rega menghembuskan napas panjang ketika kedua matanya sudah berhasil terbuka dengan sempurna. Hal pertama yang dilakukannya menatap langit-langit kamar rawat inap yang ditempatinya.

"Akhirnya lo sadar juga," celetuk Elang sambil memegang mug berisi kopi.

"Gue lama ya pingsannya?" tanya Rega lirih. Suaranya sedikit serak.

Elang terkekeh. "Lumayan lah." Elang menyeruput kopinya yang masih mengepulkan asap. "Lo kecapekan, tekanan darah 80/60 mmHg, dehidrasi lagi."

Rega menghela napas panjang ketika matanya menatap punggung tangannya yang tersambung dengan infus. Sensasi pusing terasa kembali saat dia hendak bangkit. Tubuhnya belum bisa diajak kompromi ternyata. Terpaksa Rega merebahkan kembali tubuhnya.

"Lo mau ke mana?" tanya Elang yang curiga melihat gerak-gerik Rega akan melepas infus.

"Gue banyak pasien, bego."

"Lo harus rehat dulu. Lo sekarang jadi pasien, bego," balas Elang, nadanya meninggi.

Keduanya terdiam sejenak. Elang menyeruput kopinya. Namun matanya masih memandang Rega dengan nyalang. Memastikan kakaknya itu tidak berusaha melepas infusnya.

"El?"

"Kenapa?"

"Minum."

Elang langsung mengambil air mineral yang ada di nakas. Sedotan plastik dimasukkanya agar Rega lebih mudah untuk meminumnya. Rega pun mengangkat badannya sedikit, lalu meneguk air mineral dari Elang.

"Masih pusing ya?"

"Dikit."

"Mau gue telponin bini lo biar ke sini?"

Rega menggeleng. "Jangan. Nanti dia khawatir."

Elang pun menurut. Pria itu meneguk kopinya sedikit demi sedikit kopinya yang tinggal setengah gelas.

"Lo kapan nikahin Viona?" tanya Rega pada adik laki-lakinya itu. Sementara Elang sendiri nyaris tersedak mendengar pertanyaan Rega.

"Santuy aja kali. Lagian gue masih residen. Viona juga orangnya santai."

"Umur lo udah 28, bentar 29." Rega memperingatkan.

"Halah, banyak kok dokter cowok yang nikah umur 30 tahun lebih."

"Waktu residen gue aja berani nikahin anak gadis orang. Umur 28 udah punya anak."

"Ya itu kan lo, Re. Gue beda sama lo."

"Kalau lo emang serius sama Viona ya mending lo lamar segera. Kasihan Viona kalau nungguin lo lulus kelamaan."

"Iya, Bang." Kalau sudah ada embel-embel 'Bang' berarti bahasan antara kedua kakak beradik itu mulai serius. "Gue juga mikirin itu kok. Cuma masih nyari momen yang tepat aja buat ngelamar Viona."

"Jangan lama-lama deh. Daripada entar diembat orang lain cewek lo."

"Iya, tenang aja. Lagian kita udah komitmen buat serius kok."

Rega terkekeh pelan. Adiknya sudah dewasa sekarang.

"Gue kasih kabar ke Kak Rara ya. Biar ada yang nungguin lo. Soalnya gue bentar lagi ada operasi."

Rega menggeleng. "Gue sendirian aja nggak masalah."

"Kalau lo nggak ada yang nungguin, takutnya lo nyabut infus terus kabur."

Rega kembali menatap langit-langit putih. Pikirannya kembali tertuju pada pasien-pasiennya dan juga keluarga kecilnya. Tadi dia membatalkan janji dengan istrinya demi pasien-pasiennya. Tapi sekarang nyatanya dia malah terbaring tak berdaya.

All or NoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang