Rega berjalan tertatih sembari mengurut tengkuknya. Kegiatannya yang begitu padat di poli dan visite pasien, entah mengapa sangat menguras energinya hari ini. Padahal Rega sudah terbiasa dengan hal itu. Pria berjas putih itu pun berjalan pelan menuruni tangga saat sensasi pusing menggeleyati kepalanya. Langkahnya sempat terhenti dan tangannya berpegangan erat pada pembatas tangga. Rega tahu betul apa yang mungkin sedang terjadi pada tubuhnya. Salahnya sendiri yang terlalu memforsir tubuhnya.
"Astaga, Bang Rega!" pekik Elang di ujung atas tangga begitu melihat ketidakberesan abangnya. Beberapa orang dan perawat yang melintas ikut menoleh saking kagetnya mendengar teriakan Elang. Pria itu bahkan lupa tak berbicara formal pada Rega seperti yang biasa dilakukannya ketika di rumah sakit.
Elang menghampiri Rega yang masih berpegangan pada pembatas tangga. Dengan sigap Elang meraih tubuh Rega, lantas memapahnya.
"Gue nggak apa-apa," ujar Rega pelan, yang langsung mendapat pelototan dari Elang.
"Nggak apa-apa lo bilang?" geram Elang. Sadar bahwa suaranya terlalu berlebihan. Adik kedua Rega itu pun mengurangi volume suaranya. "Dokter Rega nggak bisa membohongi saya," ucapnya lebih sopan.
Elang memperhatikan wajah Rega yang pucat. Wajah Rega tampak mengenaskan dengan lingkaran hitam dibawah matanya yang terlihat cekung. Tangan Elang bergerak menyentuh dahi Rega. Panas, sensasi itulah yang dirasakannya saat menyentuh dahi Rega.
Rega menghela napas pelan. Adiknya itu terlalu berlebihan mencemaskannya. Rega pun menepis tangan Elang. "Saya baik-baik saja, dokter Elang."
"Dokter nggak bisa bohongin saya."
Elang kembali memposisikan dirinya untuk memapah Rega. Namun Rega menolaknya.
"Saya masih kuat jalan sendiri."
Rega langsung melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Pelan dia melangkahkan kaki menyusuri anak tangga sampai ujung bawah. Sementara Elang berjalan mengekori di belakangnya. Takut kalau kakaknya kenapa-kenapa.
"Dok, ke kafetaria dulu yuk," ajak Elang.
Rega menggeleng. "Masih banyak kerjaan," tolaknya.
Elang menggelengkan kepala. Dia bisa menduga pasti abangnya ini belum makan sedari tadi.
"Dokter Rega belum makan kan? Ayo makan bareng saya," ajaknya lagi.
"Duluan aja. Masih ada pasien DMT 2 yang harus segera saya tangani."
"Tapi dokter harus nyusul ya. Janji?"
Rega akhirnya mengangguk menyetujui. Memang sudah saatnya dia mengurusi tubuhnya sendiri disamping pasiennya. "Iya," jawab Rega singkat.
Rega melanjutkan langkahnya. Tapi tiba-tiba pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. Tangan refleks bertumpu pada dinding di sebelahnya, sebelum akhirnya tubuh itu rubuh menyentuh lantai yang dingin.
"Astaga, Bang Rega!" teriak Elang lagi. Pria itu berusaha tenang melihat kakaknya yang sudah tumpang. Elang pun segera memeriksa arteri karotis sang kakak untuk memastikan kondisinya. Lalu beberapa dokter dan perawat pun menghampiri dua saudara itu.
***
Tukang PHP, kata itulah yang sering Rara gumamkan saat Rega ingkar janji. Meski bukan sekali ini saja, namun Rara terkadang masih merasa jengkel. Apalagi hari ini adalah hari spesial mereka. Ya, enam tahun lalu di tanggal yang sama dengan hari ini, mereka sah menjadi suami istri baik secara agama maupun hukum. Rara mengalihkan rasa kecewanya dengan menyibukkan diri merevisi artikelnya. Pikirnya daripada dia marah-marah lalu melampiaskan pada orang yang tidak bersalah. Kebetulan tadi pagi Rara mendapat email dari reviewer untuk merevisi artikelnya jika ingin diterbitkan jurnal terindeks Scopus. Sebenarnya revisinya hanya sedikit. Rara hanya diminta merevisi penulisan sitasi pada daftar rujukan dari APA sixth edition menjadi Vancouver.
KAMU SEDANG MEMBACA
All or None
RomancePapa itu lebih sayang sama pasien. Kalau Mama lebih sayang sama mahasiswa (Davin Ananta Ferdiano). Papa dan Mama susah diajak piknik (Rosa Canina Ferdiano). Cerita ini adalah sequel 'Erlebnisse'. Harap membaca 'Erlebnisse' terlebih dahulu sebelum me...