3 | Riak di Air Tenang (3)

993 138 33
                                    

Melihat makanan di etalase masih sisa banyak, Eter makin tak bersemangat. Gadis itu menumpuk piring kotor di samping Young, lalu mengelap meja makan. Mangkuk dan gelas digesernya menuju baki. "Kita akan tutup sampai malam lagi?" gumamnya khawatir sambil melihat ruangan sepi tanpa pengunjung.

"Tidak." Young menoleh sebentar. Rambut panjang yang ia ikat ke belakang bergoyang, sementara tangannya sibuk membuang duri ikan dan sisa sayuran. "Sehabis ini, bungkuslah semua makanan di plastik, ya."

"Kita pulang sekarang?" Eter heran, ini bahkan belum jam makan malam. Namun Young tak menjawab. Saat panggilan ibadah umat Sanctuarius mulai berkumandang, keduanya bertandang pergi dengan motor gerobak.

Walau bukan salah satu Sanctuarian, Eter bisa merasakan getaran acap kali skala Phrygian minor itu dinyanyikan oleh seorang Sanctio perempuan lewat pengeras suara. Udara seolah mengendap, menghalau jiwa-jiwa gentayangan untuk pulang ke rumah, sebelum sinar terakhir sang surya lenyap ditelan angkasa malam.

Tak tahu artinya, tetapi Eter seolah paham. Ayat Mesir kuno ini mengandung makna yang kuat. Teman-temannya pernah menjelaskan, jika Sanctuarius beribadah saat petang, maka sejatinya mereka sedang mengantarkan Dominus Sapientiae kembali ke kerajaanNya, sekaligus membentuk perisai agar terhindar dari amarah Perniciosus Spiritus. Menarik. Dulu, Eter sangat senang membahas kedua entitas itu dengan para sahabatnya. Mereka bahkan bisa berdebat seharian, apalagi jika sudah menyentuh bab sejarah. Bagaimana agama bisa terpilin-pilin seperti benang jahit kusut.

"He, kau tidak ketiduran, 'kan?" Young setengah berteriak dari depan.

Eter yang menggulung badan di bak belakang pun bergerak maju. "Kita mau ke mana?" Seharusnya mereka lurus menuju Minwa, tetapi Young malah memutar setang ke kanan.

"Sebentar lagi sampai. Kau tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini, 'kan?"

Motor roda tiga itu akhirnya berhenti di depan rumah tua yang cukup besar. Sekarang gadis itu mengerti, kenapa harus membawa makanan sebanyak ini. Plastik-plastik dan bungkusan itu pun ia ambil sebagian untuk disalurkan ke tangan ibu panti.

Sebenarnya bukan yang pertama. Tetapi setiap kali memasuki rumah pondok ini, seberapa pun jauh perbedaannya, Eter akan selalu ingat dengan tempatnya dulu. Banyak yang masih ia sesali. Banyak yang terkubur di bawah reruntuhan salju, tanpa bisa ia selamatkan. Eter tersenyum kecil, saat melihat anak-anak panti berkerumun di lantai. Mereka menggelar tikar dan daun pisang untuk dibuat alas makan. Eter tertawa karena nostalgianya tak berhenti di situ. Selalu ada anak yang mengambil nasi paling banyak seperti Jimi dulu, atau seperti Nesi yang memilih-milih lauk paling enak.

Tak lama, Eter dan Young berpamitan, walaupun ibu panti bersikeras agar mereka juga ikut makan. Namun, ketika Eter melewati sebuah koridor berpenerangan buruk, ujung matanya menangkap sesuatu yang tak beres di kamar samping yang pintunya setengah terbuka. Bulu kuduk Eter mulai berdiri. Lidahnya terasa pahit dan tengkuknya panas. Perasaan yang sangat kontras jika dibandingkan dengan kehadiran Notus.

Ada anak yang duduk sendirian di dalam kamar. Anak laki-laki itu melamun, dengan tatapan kosong, mulut komat-kamit. Eter melirik ke kanan kiri mencari tahu siapa yang ia ajak bicara. Sosok merah berkelebat dengan cepat, dan menghilang bagai angin. Anak itu pun jatuh menggelinjang, tangan dan kakinya mengentak-entak lantai. Sontak, Eter berlari menghampiri dan matanya menyaksikan mulut anak itu mulai berbusa. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan, kecuali hanya memandang ibu panti dengan penuh tanda tanya.

"Oh, tidak apa-apa. Dia akan sembuh sebentar lagi," kata wanita setengah abad itu dengan tenang, sambil mengelap sudut bibir si anak kecil dengan serbet. Menghadapi reaksi ibu panti yang aneh, Eter makin khawatir, apalagi bibir dan tangan anak itu mulai membiru.

HEXAGON [3] | Sinestesia Indigo ✏Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang