Perhelatan pada malam kedua ditutup dengan atraksi. Serabut wol baja di tangan Arvin meretih. Apinya meriah, bepercikan ke udara lalu berjatuhan mengenai anak sungai. Ia memutar bahu dan menari membentuk angka delapan. Pukulan genderang dan tambur dari kelompok pria, membuat kaki-kaki bergerak menuruti irama. Tepuk tangan dan sorak riang mengimbangi tawa dan seruan para warga Ceta. Terakhir, Arvin menembakkan peluru api dan menyalakan lima belas obor tinggi yang tersusun melingkar. Melihat reaksi mereka, ia pun tertular bahagia. Sejenak melupakan semua beban yang menggelayuti pikiran.
Sementara itu, Rei memegangi bahu kanannya yang bengkak. Di teras rumah kepala suku, ia tengah melamun. Setelah terserang demam, Rei baru menyesal, seharusnya tak membiarkan dukun gadungan tadi siang memborehinya dengan dedaunan tumbuk yang mungkin dicampuri air kencing kuda. "Badanmu masih panas, kenapa tidak tiduran saja dulu?" tutur Sora setelah sampai di teras dan duduk bersila.
Rei bergeming, tak beringsut sedikit pun. Belva di pilar satunya acuh tak acuh, memainkan uniget dalam mode bisu. Selama beberapa detik, hanya jangkrik, bancet, dan makhluk nokturnal lain, menyela sesekali gegap-gempita festival di lapangan dekat sungai.
"Dengar," Sora berkata pelan, "berhentilah membahayakan dirimu sendiri. Kalau begini caranya, kau malah membuatku khawatir."
Alih-alih dijawab oleh yang bersangkutan, Belva memungkas, "Rei hanya menjalankan perintah, sesuai pesan mendiang ayahmu. Jadi, berterima kasihlah."
Mata Sora membasah. Ia tahu, tembok yang telah ia bangun susah-payah, kini mulai menampakkan celah. "Kau juga," tukas si rambut kepang dengan nada dongkol. "Aku bukan anak kecil, tahu?! Kalian tak perlu melakukannya. Kalian bukan orang tuaku!"
Belva tak mengerti. Di benaknya, Sora memang seorang anak kecil. Bocah manja yang selalu dijaga baik-baik oleh ayahnya, seperti gelas antik dari kaca. Dia pasti pecah hanya dalam satu kali pukulan. Namun, kali ini Belva menyaring kebiasaan frontalnya. "Kau masih ingat makan malam waktu itu, bukan? Aku sudah berjanji kepada orang tuamu."
Jiwa Sora terbentur ingatan, membuka kembali luka lama. Kebencian berbalik arah dengan cepat seperti bumerang. Membuahkan penyesalan yang keluar bersamaan dengan air matanya sekarang.
"Oi ..., kenapa kalian tidak ikut gabung?" Suara Arvin tiba-tiba melengking dari kejauhan. Wajah riang pemuda itu pun seketika surut, tatkala menyadari aura suram di beranda rumah. Sekilas, Sora menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu bergegas masuk, setengah membanting pintu.
Rei melirik Belva dengan wajah capek. Rasa nyut-nyut di lengan atasnya membuat ia tak punya tenaga, bahkan untuk sekadar berdiri. Terpaksa, Belva harus melakukan keahlian terburuknya, menghibur seseorang. Saat Arvin duduk di samping Rei untuk menanyakan kabar, gadis berkacamata itu mencari Sora ke kamar.
Di luar dugaan, anak itu sudah tampak tenang. Belva sedikit lega, karena ia hanya tahu cara untuk membuat orang menangis, dan bukan menghentikannya. Sora menggantung kaki di tepi ranjang, menunduk, memandangi lantai tanah sambil memainkan selop.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEXAGON [3] | Sinestesia Indigo ✏
Science FictionSemesta selalu mampu menyajikan pertanyaan yang jawabannya terdengar fiktif. Namun bagi Eter, memahami diri sendiri sebagai makhluk multidimensi, justru terasa lebih kontradiktif. Kemampuan unik mengalienasinya menjadi individu yang kontraproduktif...