11 | Para Penyembah Matahari (2)

709 106 19
                                    

Dalam badai kekacauan, ingatan Eter meloncat ke belakang. Merangkak, mencari ruang nyaman untuk membuat pikiran sedikit lebih tenang. Angin mengeringkan tenggorokan, membekap paru-parunya dengan udara yang sedikit asam akibat uap air Danau Merah. Dengan mulut terbuka lebar, ia tertawa dan berseru di balik tengkuk seekor naga. Hewan tersebut menstabilkan sayap, lalu menukik perlahan. Rambut hitam dan tudung jubah Eter berkelebat, sesekali menghajar wajah Notus yang masih harap-harap cemas di belakang. Lelaki itu terpaksa harus merekat erat pada kulit kering bersisik yang agak tajam, jika tak mau terpental secara konyol. Eter tak henti-hentinya mengejek krypta yang takut ketinggian itu.

Setelah puas berkelana di sebagian kecil langit Arden, melihat kota-kota dan pegunungan dari ketinggian, Eter pergi lagi menggunakan portal, kali ini untuk mampir makan di alam perbatasan. Ciuman hangat dari ayah dan ibu di akhir sebuah sore, adalah syarat agar dia bisa pulang ke Bumi dengan hati riang.

"Kita akan bertemu lagi," ucap ibunya ketika portal mulai membulat di belakang. Ayahnya pun ikut tersenyum saat melepas kepergian Eter dan Notus.

Suara Young berikutnya menyambar di sela-sela petir. "Kau masih saja pergi ke hutan dan tidak mendengarkanku!" Eter menjerit sembari berusaha melepaskan jeweran di telinga kirinya. Young mengambil paksa anting berwarna ungu itu dan membawanya masuk. Membiarkan Eter terjerembap di lantai kayu teras. Air hujan yang besar-besar mendera ujung kuku kakinya. Gadis itu menangis tergugu. Membayangkan bagaimana rasanya tak bisa bertemu lagi dengan kedua orang tuanya.

Dingin merambat naik, layaknya nyawa yang dicabut dari atas, sedikit demi sedikit. Eter tak bisa lagi merasakan tumitnya. Suara cerau hujan lebat disertai angin, bergabung dengan kernyut gigi taring dan dengking serigala. Petir di langit malam itu melemparkan ia ke memori lain.

Ini adalah penghujung hari libur panjang musim panas. Setiap tahun, sekolah selalu mengadakan wisata sebelum masuk tahun ajaran baru. Dan kali ini mereka memilih situs Ziruvenic di sebelah timur Sitael, yang memerlukan waktu tempuh selama lima jam dari Raguel. Banyak bekas bangunan kuno yang dipugar kembali di sana. Anak-anak bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk sekalian belajar sejarah. Walaupun hanya Eter dan kawan-kawan kutu bukunya yang benar-benar melakukannya. Sementara yang lain hanya sibuk mencari sudut dan pose yang paling pas untuk dipotret.

Eter mengabaikan animo itu dan mencoba mendengarkan diskusi teman-temannya dengan pemandu tur. Namun, saat ada anak yang menaiki pundak patung besar di puncak candi, mau tidak mau Eter berhenti dan menghardiknya. "Turun!"

Seperti yang Eter duga, Agaf si cowok bebal berambut kepang pendek itu tak akan mau menuruti perintahnya. "Oi, Eter ... bisakah kau memfoto kami berlima?"

"Apa kau tuli?! Turun sekarang! Itu tidak sopan!" Eter menaiki tangga, berniat untuk menarik lengan Agaf dan menendang bokongnya.

Namun, Keila menghentikan langkah Eter, dan malah menggenggamkannya sebuah ponsel. "Ayolah, satu saja," pinta gadis itu. Ia segera naik, bergabung dengan empat orang yang bertinggung di patung raksasa pembawa gada.

Alih-alih memencet lingkaran di tepi layar, Eter melempar ponsel itu jauh-jauh ke arah hutan. Membuat kelimanya mengeluh secara bersamaan. Keila berlari menuruni undakan dan tak segan-segan menjambak rambut Eter. "Itu ponsel mahal, sialan!"

"Kalau kau betulan kaya-raya, kau tinggal beli lagi, 'kan?" jawab Eter santai. Keila menelan egonya saat Dato, pacarnya, datang mengelus pundaknya. "Suruh ayahmu beli sopan-santun, sekalian buat teman-temanmu juga!" lanjut Eter mencerocos.

Setelah sempat-sempatnya melakukan swafoto, Agaf akhirnya turun dari pundak patung dan mendekati Eter. "Itu cuma benda mati," candanya. Kemudian ia menoleh ke arah lain sembari bergumam, "Oh, iya, sori, aku lupa Espiroth bisa bicara sama batu."

HEXAGON [3] | Sinestesia Indigo ✏Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang