[Istana Kenegaraan Soteria | 18 Januari Z-20]
Sudah lewat dua menit, mata biru tua itu tak berkedip. Bayangannya memantul dengan jernih di mirat kamar berbingkai ukiran kayu putih. Seorang lelaki bertelanjang dada. Rambutnya diminyaki sepasang jemari lentik bercat kuku merah, lalu disisir satu persatu ke samping belakang. Semprotan cairan dingin membanjiri leher dan bahu Gavan yang bidang. Bau tajam jeruk bergamot menyeruak, menimpa aroma ambergris kental. Perempuan di belakangnya merunduk, membuat bibir mereka sejajar. Gavan sempat membalas tatapan lembut dari Zamira, dan membiarkan satu kecupan ringan mendarat di pipi. Agak tergesa, ia beranjak menuju lemari. Pemuda itu telah berusaha menjadi cermin yang baik, tetapi perasaannya malah seperti kaca yang mengembun. Tak lebih baik dari pagi-pagi sebelumnya.
Zamira mengulum bibir, mencoba maklum, memandangi punggung kekasihnya yang kini terbalut anak baju warna putih, maskat hitam, dan jubah satin abu-abu panjang. Gavan mengabaikan centang hijau pada model yang baru ia pilih di panel kaca lemari, lantas bergeser menuju jendela. Kaca tersapu perlahan ke atas, berubah menjadi semitransparan. Petak-petak kota Pasithea tampak berbeda. Renovasi sedang berjalan, mengganti aksen putih dengan cat hitam. Bekas gedung-gedung yang hancur pun dirapikan. Rancangan besi yang mencuat dibengkokkan.
"Aku merasakannya," tutur Zamira yang kini menyentuh jendela di samping Gavan, "sangat membingungkan, bukan? Setelah sekian lama, akhirnya kita kembali ke sini dan membawa perubahan. Perubahan yang lebih baik pastinya."
Gavan tak bereaksi, kecuali menurunkan pandangan dan berkata, "Bagaimana kalau ternyata aku salah?"
Keraguan yang tak kunjung sirna. Beban itu rupanya membuat dia susah bergerak dan kehilangan aspirasi belakangan ini. "Aku yakin, Gavan, jika saja masih hidup, Bima pasti akan setuju denganmu. Sejak awal, ia memilih dan memercayaimu. Dan kita sudah sampai sejauh ini. Kita-lebih tepatnya kau, telah berkorban banyak, demi membela kebebasan."
"Tapi ..., bagaimana kalau semua ini tak berarti apa-apa?"
Zamira mengerutkan kening, tak mengerti, "Kebebasan tentu punya arti. Kau lihat sendiri tindakan kakek dan ayahmu dulu. Berkat mereka, kuasa tirani bangkit lagi. Mereka melukai kemanusiaan dengan cara yang tidak adil."
Gavan menoleh dan memandang lurus-lurus mata kekasihnya. "Adras dan Cedric telah membunuh banyak orang tanpa segan. Para demonstran di bundaran, The Might, penduduk Ares. Tapi tanpa kusadari, aku melakukannya juga. Mereka menghantuiku, Zamira, berulang kali. Orang-orang yang telah mati di tanganku. Aku ... aku tak bisa berhenti berpikir."
Tangan Zamira mencekal kedua bahu Gavan, mencoba melepas ikatan itu satu persatu. "Kau ... tidak seperti kakek dan ayahmu. Ingat, kau hanya membunuh orang-orang yang egois."
Hampir pecah suara tangisannya, Gavan menarik napas cepat. Zamira memeluk erat sembari bergumam di balik telinga kiri pemuda itu, "Orang Soteria hanya mementingkan keselamatan diri sendiri. Tidak tahu berterima kasih kepada Bima, yang siang malam memikirkan kebebasan untuk mereka. Tak hanya kakek dan ayahmu, orang Soteria juga pantas menerima balasan ini."
Gavan melepas pelukannya, "Mereka memang pantas. Tapi ibuku tidak."
Mata Zamira berkedip lemah, melepas tubuh pemuda yang mendekati pintu geser otomatis. "Begitu juga ibuku." Zamira mengucap lirih, setengah berharap Gavan tidak akan melupakan perasaannya. Di bundaran di bawah sana, bertahun-tahun lalu Zamira sedang membeli permen kapas, sebelum peluru menembus jantung wanita yang menopang dunianya.
Wajah Gavan mengeras sejenak, saat berhenti di selasar. Di ruang terbuka tersebut, matahari mengguyur kulit seputih pualam. Memicing sebentar, ia menemukan sosok di sudut taman rindang. Pria yang tak lepas dari penampilan serba hitam. Mata albino biru muda adalah alasan utama mengapa ia peka terhadap sinar terang. "Harimu menyenangkan?" sapanya ketika Gavan selesai menuruni undakan kesepuluh.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEXAGON [3] | Sinestesia Indigo ✏
Science FictionSemesta selalu mampu menyajikan pertanyaan yang jawabannya terdengar fiktif. Namun bagi Eter, memahami diri sendiri sebagai makhluk multidimensi, justru terasa lebih kontradiktif. Kemampuan unik mengalienasinya menjadi individu yang kontraproduktif...