Di atas kasur, Eter mengucek mata berkali-kali. Ketika membuka jendela, ia sadar telah melewatkan sembahyang pagi. Pagi ini tidak ada yang menggedor-gedor pintunya. Padahal, biasanya Young yang selalu menjadi alarm setia. Rumah pun terasa lengang. Young pastinya sudah berangkat sedari tadi. Eter duduk-duduk di teras, sampai kakek Tiro dan nenek Unoi datang. Ia pun membantu menyiapkan meja lalu ikut sarapan.
Eter merasa iri, terkadang suami istri ini terlihat sangat lucu dan romantis. Walaupun hanya dengan isyarat tangan, mereka tetap bisa cekikikan sambil menikmati makanan. Senyum itu juga menular ke Eter, padahal ia belum bisa menangkap percakapan jari yang terlalu cepat.
"Kau tak perlu cemaskan Young," tutur nenek Unoi ketika memberi Eter botol minum. "Lakukan yang menurutmu terbaik."
Eter memeluk pelan bahu nenek Unoi yang hampir seringkih permen kapas, kemudian bercangkung di atas sepeda gunung. Usai berpamitan, ia berangkat menuju Dhar-Ad. Sepanjang perjalanan, gadis itu masih menaruh bimbang terhadap ucapan Young dan Notus. Kepercayaan dirinya belum juga tumbuh, walaupun sudah dipupuk oleh Unoi. Hingga ia pun tiba di tempat praktik Shaman. Eter disambut dengan tatapan curiga dari beberapa orang tetangga yang ia kenal. Mereka berbisik-bisik seperti biasa, tetapi Eter sudah tidak peduli lagi.
Seorang pria berjubah kuning gading segera memandu Eter ke ruang belakang, melewati tenda utama yang isinya orang kesurupan. Ternyata ada banyak sekali tenda yang lebih besar di belakang. Sekilas, pemukiman ini mengembalikan Eter ke mimpinya tadi pagi. Kendati pun ia yakin tidak sedang berada di alam perbatasan yang langitnya selalu kemerahan.
Di dalam salah satu tenda, rak kayu susun mendatar memamerkan barang-barang antik yang tak lazim. Eter tidak yakin apakah itu tentakel gurita, atau cuma sepotong rumput laut kering. Daun-daun dan serabut akar juga banyak disimpan dalam stoples kaca yang berlumutan. Ada beberapa bekas tumbukan herba di meja. Baunya sengar seperti daun adas dicampur lada merah.
"Kau terlambat! Lain kali hargailah waktu sedikit lebih baik!"
Eter sama sekali tak menyadari kapan Shaman Rajev masuk. Gadis itu menoleh kepada si pria berpakaian oranye yang sedang mengambil buku, kemudian meletakkannya di atas meja lesehan di samping lampu minyak.
"Baca-baca ini dulu, ya. Aku masih harus ke depan."
Bukannya menentang pentingnya literatur, Eter hanya memiliki ekspektasi yang lebih dari seorang Rajev. "Kau belum akan mengajariku sesuatu hari ini?"
"Kita harus menyelaraskan level pengetahuan. Lagi pula, masih banyak yang menungguku di depan. Kita akan bertemu lagi nanti sore."
Rajev keluar, Eter mendengus dongkol. Ia mulai membuka sampul yang bahkan lebih lebar dari meja bacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEXAGON [3] | Sinestesia Indigo ✏
Science FictionSemesta selalu mampu menyajikan pertanyaan yang jawabannya terdengar fiktif. Namun bagi Eter, memahami diri sendiri sebagai makhluk multidimensi, justru terasa lebih kontradiktif. Kemampuan unik mengalienasinya menjadi individu yang kontraproduktif...