10 | Para Penyembah Matahari (1)

735 106 24
                                    


"Tāmatam!" Gerakan para serigala seketika terhenti. Seolah ada lapisan tembus pandang yang menahan kaki mereka di udara. Eter tahu sihir itu tidak akan bertahan lebih dari tiga detik. Ia segera balik badan dan berlari sekuat tenaga. Sayang, warna monokrom dan lapang pandang yang sempit, membuatnya kesusahan bergerak lurus. Matanya cuma bisa melihat dengan jelas pada bagian lingkaran tengah, sementara radius di sekeliling hanya berupa kegelapan yang pekat. Tak cukup sekali, ia menabrak dinding beton dengan pinggiran tajam. Kulitnya yang tergores semakin perih kena debu dan angin.

Kontras dengan hal itu, pendengarannya justru mekar. Bagaimana mungkin telinga Eter tahu-tahu seperti kemasukan air, terisi penuh dengan suara-suara. Bisikan manusia dari kanan kiri berubah menjadi teriakan nyalang. Belum lagi raungan serigala di belakang. Jumlah mereka seolah berlipat ganda, dari tiga menjadi tiga belas, tiga puluh, lalu tiga ratus. Setidaknya ada percakapan manusia yang bertalun-talun di depan sana. Eter berlari lebih kencang menuju jalan keluar itu. Shaman Rajev, Young, Notus, siapa pun, Eter mohon ulurkan tangan kalian.

Kakinya sempat keram, tetapi gadis itu tak boleh berhenti. Yang boleh menghentikannya hanyalah dinding batu bata solid, yang kini berbenturan keras dengan dahi dan bahunya. Napas Eter terputus dan kepalanya vertigo. Ia segera meraba dinding itu ke samping, dan hampir menyerah begitu tahu tidak ada ruang lagi untuknya berlari. Satu serigala meloncat, dan taringnya menancap di kaki kiri Eter. Sambil menjerit, gadis itu roboh ke atas kerakal. Lututnya mengentak-entak, berharap moncong si serigala lepas.

"Tāmatam!" isaknya berulang kali dengan tubuh menggeligis. "Iṭainiṟuttam! Niṟuttappaṭum!" Ia masih tak bisa melepaskan diri. Eter menahan linu di tulang keringnya yang sekarang bergemeretak terpelintir.

"Vilak—vilakkukiṟatu!"

Barulah si serigala itu terpental ke tembok. Namun tangan Eter yang terulur ke depan segera ditangkup oleh mulut serigala lain. Dengan liar, binatang itu mengoyak kulit dan daging Eter. Bau amis menyerbu hidung. Darah menciprat ke mata dan mulut. Rangsang nyeri membanjiri saraf pusat, tanpa bisa diproses dan direspons. Eter hanya bisa terbaring kaku saat serigala terakhir memutus urat nadi di lehernya. Tubuh Eter mati. Tak lama, otaknya akan menyusul.

Begitu bangun dengan kondisi tangan dan kaki terikat, jantung dan paru-paru Arvin saling beradu cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Begitu bangun dengan kondisi tangan dan kaki terikat, jantung dan paru-paru Arvin saling beradu cepat. Ia ingin berteriak memanggil yang lain, tetapi mulut dan tengkuknya disatukan oleh potongan kain belacu. Alhasil, Arvin hanya bisa membelasut dan menggeliat seperti ulat, berusaha membangunkan Rei yang posisinya paling dekat.

Saat si kacamata membuka mata, api tahu-tahu berdetar di samping depan, tetapi bukan karena Arvin yang mengendalikan. Bocah itu bahkan baru sadar kalau kalung Hexagon di balik kaus hitamnya raib. Matanya berkeliling mencari-cari benda berkilau yang barangkali jatuh di sekitar situ. Andai saja Arvin tidak berada di dalam hutan gelap dengan penerangan naik turun yang memusingkan seperti sekarang, ia pasti sudah menemukannya.

HEXAGON [3] | Sinestesia Indigo ✏Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang