Lee Hwitaek.
Pria bermata runcing, berwajah kecil, dan memiliki senyum yang amat manis. Tidak begitu tinggi dan kekar, namun cukup mahir memberi kehangatan dalam sebuah pelukan. Kata-katanya semanis senyumannya. Pribadi yang hangat dan menyenangkan, di samping tekadnya yang kuat dan senang bekerja keras. Begitu banyak orang yang menyukainya, pria maupun wanita.
Begitulah sosok yang Seunghee kenali saat tujuh tahun lalu. Seorang senior yang baik hati dan sering menyapanya meski mereka berlainan jurusan. Membantunya dalam banyak hal. Bercengkrama tentang mimpi hingga berjam-jam lamanya, seolah tak pernah kehabisan topik untuk dibicarakan. Hingga suatu hari pria itu mengungkapkan dengan jujur isi hatinya, ingin menjalani hubungan yang lebih serius dari sekedar relasi sekampus semata dengannya.
Lee Hwitaek. Dulu Seunghee pernah amat mencintainya.
Sampai suatu hari, pria nyaris sempurna itu berubah drastis menjadi tak lebih dari seorang pengkhianat belaka baginya. Di suatu malam, dengan mata kepalanya sendiri, Seunghee mendapati seorang wanita cantik nan tinggi semampai membukakan pintu apartemen Hwitaek untuknya, malam-malam, hanya berbalut bathrobe tipis nan pendek. Bukan, Seunghee tahu betul Hwitaek tidak punya saudara atau sepupu perempuan seseksi itu.
Entah apa yang membuat pria yang tampak mencintainya itu tiba-tiba menjadi jenuh, berusaha mencari berbagai alasan untuk tak bertemu, dan akhirnya memutuskan hubungan yang telah terjalin selama tiga tahun itu dengan menoreh luka.
Dan kini, konspirasi alam mempertemukan kembali Seunghee dengan pria itu dalam sebuah hubungan kerjasama yang tak terduga. Ia adalah Lee Hwitaek, pemilik Polygon Furniture, sekaligus shareholder Haneul Publishing yang menanam tujuh belas persen sahamnya. Sosok yang akan ia tulis biografinya.
Sebenarnya keputusan akhir belum sepenuhnya dibuat. Bisa saja ia menghubungi Pak Kim untuk membatalkan rencana itu sebelum kontrak tertandatangani; upaya agar tidak pernah lagi menemui pria yang telah menyakitinya di masa lampau.
Tapi jikapun begitu, mengapa pula pria itu harus kembali hadir dalam hidupnya dan merenggut satu-satunya kesempatan bagus yang baru saja menghampirinya?
Mengapa hidup begitu tak adil?
*
"Sayang, sepertinya hari ini aku tidak pulang."
Tidak ada sahutan dari arah dapur, hanya ada suara gemericik mentega panas yang sedang mematangkan sesuatu di atas wajan. Hyunsik yang tengah menggulung lengan kemejanya hingga siku itu menghampiri Seunghee yang masih tak menyahut setelah berkali-kali dipanggil.
"Seunghee?"
"Ah!" pekik Seunghee yang terkejut oleh sentuhan lembut di bahunya. "Ya? Ah.. maaf."
Hyunsik tersentak mendapati wajah pucat sang istri pagi itu. Semangat membara yang ia lihat tadi malam seolah tertelan kemendungan pagi di musim gugur. Sinar itu redup lagi. Lamunan itu kembali lagi.
"Kau tidak apa-apa?"
Seunghee mengangguk cepat. "Ya, aku baik-baik saja. Ah, omeletnya!"
Segera ia mematikan kompor agar gulungan telur dengan taburan sayur itu masih layak untuk dimakan meski sudah sedikit gosong. Dihelanya napas panjang nan berat, sebentuk kekecewaan pada kesalahan sepelenya di pagi hari.
"Maaf," lirihnya.
Pria itu menghela napas panjang, membalikkan tubuh sang istri agar menghadap ke arahnya. "Kenapa, Seunghee? Ceritakan padaku, aku tidak akan mengerti jika kau tidak bicara."
YOU ARE READING
SAY YOU LOVE ME, ONCE AGAIN
FanfictionMengapa harus kembali mengatakan 'aku mencintaimu', padahal mereka sudah menjalin ikatan pernikahan dan satu sama lain pasti sudah mengetahui perasaan satu sama lain? Tidak, tidak ada seseorang yang mengetahui isi hati orang lain dengan pasti, merek...