Epilogue : Point of View

227 23 12
                                    

Dua musim berlalu. Di musim semi yang cerah dan hangat, aula besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Seoul tampak ramai oleh sebuah acara launching buku.

Bukunya berjudul Majimak Hwimang (Harapan Terakhir). Menggelikan karena buku ini justru merupakan judul buku pertama dari sang penulis, Oh Seunghee Jagganim. Berkonsepkan novel biografi, penulis menceritakan perjuangan Lee Hwitaek - sang tokoh utama - mendirikan Polygon Furniture, sebuah brand furnitur yang mulai dikenal masyarakat karena perkembangan pesatnya.

Ratusan eksemplar buku telah laris terjual di launching perdana Majimak Hwimang. Beberapa puluh mahasiswi tak segan-segan meminta tanda tangan si tokoh utama yang tampan itu di bukunya, sebuah kesempatan langka yang tidak boleh dilewatkan.

Setelah menjalani launching buku yang melelahkan, Lee Hwitaek mengundang sang co-writer beserta suaminya untuk makan malam. Tidak pernah menyangka bahwa ia berkesempatan makan malam di satu meja yang sama dengan Lim Hyunsik, salah satu solois kebanggaan negeri Gingseng, yang tak lain adalah suami sang penulis Oh Seunghee.

Seunghee tak henti-hentinya menyungging senyum simpul sepanjang makan malam. Tidak pernah terbayangkan pula dalam hidupnya bahwa dua pria ini pada akhirnya akan bercengkrama dengan akrab di meja makan yang sama.

"Sekali lagi, kuucapkan terimakasih banyak karena telah mempersilahkan istrimu untuk menuliskan bukuku dengan begitu baik, Lim Hyunsik-ssi."

Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Hwitaek sebelum ia undur pamit pada Seunghee dan suaminya sambil membungkuk sembilan puluh derajat, menunjukkan kesungguhannya. Proyek biografi itu secara resmi diakhiri.

Hari yang panjang dan melelahkan.

Kini sepasang suami istri itu tengah duduk santai dan bercengkrama di ruang keluarga sambil menikmati kudapan malamnya - dua cangkir teh dan beberapa potong fruit cake, menyaksikan sang anak yang sedang asyik bermain puzzle superhero kesayangannya di atas karpet bulu.

"Aku cemburu," celetuk Hyunsik tiba-tiba, merajuk. Seketika Seunghee mengangkat alisnya, menoleh.

"Kenapa? Cemburu pada Lee Hwitaek? Kau tiba-tiba takut istrimu berpaling pada seorang pengusaha sukses?" godanya sambil terkikik pelan, membuat sang suami tersenyum kecut.

"Buku itu, maksudku," dagunya tergerak menunjuk satu eksemplar Majimak Hwimang yang tergeletak di atas meja. "Seharusnya biografiku lah yang menjadi buku pertama yang kau tulis, Oh Seunghee Jagganim."

Seunghee tersipu. Sebutan Jagganim yang dibubuhkan di belakang namanya itu masih terasa janggal di telinganya, meski tentu saja membuatnya merasa senang setengah mati. Ada kebanggaan yang membuncah setiap kali ia menatap sebuah buku hasil jerih payahnya selama beberapa bulan belakangan itu.

"Jika ternyata aku memang benar-benar menjadi Jagganim.." ditatapnya sang suami dengan senyum penuh arti, "Buku pertama ataupun kedua tidaklah penting, kan? Satu hal yang pasti. Biografi tentangmu akan kutulis dengan sungguh-sungguh, spesial, dan kujadikan masterpiece-ku."

Hyunsik tak dapat menyembunyikan senyumnya dari sang istri yang baru saja berusaha merayunya. Sial, Seunghee mulai ketularan kebiasaan menggombalnya.

"Oppa, terimakasih. Sungguh, terimakasih," Seunghee menautkan jemari kurusnya ke sela-sela jemari tangan kiri suaminya.

"Hmm? Untuk apa?"

"Tentang mengizinkanku menulis buku ini. Gara-garanya, aku jadi sedikit paham sudut pandang Lee Hwitaek yang selama ini tidak pernah kumengerti. Dan berkat itu pula, aku jadi bisa berdamai dengan masa laluku."

Hyunsik menatap mata bulat sang istri lekat-lekat. Tanpa penjelasan panjang pun, ia mengerti betapa berartinya hal itu untuk Seunghee.

Berdamai dengan masa lalu bukanlah hal yang mudah. Ada banyak hal yang tidak dimengerti, sementara waktu terasa berjalan lebih cepat dari nalar berpikir manusia. Hanya separuh rasa yang terbaca, hanya separuh keadaan yang terangkum, membuahkan kesalahpahaman yang tiada berujung.

Menyelami sudut pandang Lee Hwitaek yang merupakan tokoh antagonis dalam hidupnya selama ini memang tidak mudah awalnya bagi Seunghee. Tidak mau percaya, ingin terus menyangkal, dan berusaha membentengi diri dengan kebencian. Namun pada akhirnya simpati itu muncul juga. Bahwa selalu ada alasan dibalik sebuah kesalahan. Dan selalu ada kata maaf bagi mereka yang berlapang dada.

Seunghee memutuskan untuk memaafkan Lee Hwitaek setelah tiga setengah tahun berkutat pada kebencian.

Hyunsik tersenyum simpul. "Kalau begitu, kau harus segera menyelami sudut pandangku, Oh Jagganim. Dan kau akan menemukan cintaku padamu yang bertebaran di jalanan seperti cherry blossom di musim semi."

Seunghee terkekeh, tak tahan jika sang suami sudah menggombal layaknya menulis potongan lirik lagu. "Baik, Lim-ssi. Akan kupastikan untuk memunguti satu persatu kelopaknya hingga tak bersisa."

*

SAY YOU LOVE ME, ONCE AGAINWhere stories live. Discover now