•Dua Boneka Beruang-12•

1.5K 188 10
                                    

Pria tua yang kulitnya setengah terpanggang panas matahari baru saja duduk ketika pria itu datang lagi. Dia berpikir akan menyapanya nanti setelah tenaganya terkumpul, rupanya peziarah itu menghampirinya dengan senyuman yang sama seperti kemarin-kemarin. Bedanya, ia menaruh kantung cokelat bertuliskan salah satu restoran di kota yang terkenal.

"Aku pikir akan menyapamu nanti, habis membabat rumput bagian selatan." Pria tua itu mempersilakannya duduk di kursi plastik warnanya memudar.

"Terima kasih, Pak." Pria yang lebih muda darinya duduk sesuai yang diaba-abakan penjaga makam.

"Tidak perlu kau bawakan aku beginian, Nak Rey. Uang yang kauberikan itu sudah lebih dari cukup untuk upahku merawat makam anak-anakmu."

Pria yang lebih muda tersenyum, ada getir di dalam dadanya. "Aku punya sedikit rezeki, tak ada salahnya berbagi dengan Bapak."

"Hmm, kau sudah makan? Nasiku mungkin sudah matang, sebentar."

"Tidak usah, Bapak makan saja buat nanti."

Pria tua itu mengedik sambil berdiri, meminta pria yang dipanggilnya 'Nak' itu untuk duduk sementara dia ke dalam mengambil panci tempatnya menanak nasi manual di kompor. Dia kembali dengan menumpuk panci, tiga piring, sendok dan dua gelas plastik yang memudar warnanya. Segera pria muda itu membantunya membawa ke meja di sebelah pintu masuk rumah singgah dari kayu itu.

Pria tua itu membuka isi kantung, menuangnya di piring pertama dan membuka panci berisi nasi lembek yang hampir bisa dikatakan itu adalah bubur karena terlalu lembek tapi juga masih bertekstur, nasi tim. Hanya di rumah singgah Pak Adolf, bisa ditemui nasi tim yang seenak ini, sudah berbumbu namum tak mengubah rasa bila diberi pasangan lauk apa pun.

"Aku sebenarnya ingin makan bersama Bapak di sini, karena nasi itu mengingatkanku pada mendiang mama."

Pria tua itu sudah bisa menebak, tersenyum dan memberikan piring yang sudah diberikan nasi beberapa centong. "Kalau begitu habiskan, aku bisa membuatnya lagi. Aku dapat beras gratis dari toko di ujung gang, Nak Reynold."

Reynold menggulung kemejanya hampir menyentuh siku, mengambil sendok dan menyuapkan nasi seujung sendok ke mulutnya. Rasanya lebih enak dari masakan mendiang mamanya, entah bagaimana bisa seorang pria tua bisa memasak nasi berbumbu yang begini enaknya?

"Ini lauknya, ambil yang besar. Kau itu tampak seperti mayat hidup. Jangan bilang kalau tidak sarapan?"

Reynold terkekeh kecil, tebakan Pak Adolf benar. "Aku tak sempat memasak walau hanya omelet. Pagi-pagi harus berangkat kerja karena kerjaan menumpuk."

"Istrimu sudah berada di tempat yang benar, Nak Rey. Aku mengenal baik dokter di sana, sama yang berambut pirang juga. Jadi, jangan khawatirkan dia. Lanjutkan hidupmu."

Reynold menunduk, ada genangan air mata di sana jika mengingat bagaimana rasanya saat pulang dari luar kota tak mendapati anak kembarnya menyambutnya riang seperti biasa. Justru mendapati mereka tergeletak di ruang tengah sudah tak bernyawa. Reynold menghela napasnya, dua buket bunga yang sama, berwarna kuning kesukaan anak-anaknya. Kenangan Reynold berputar otomatis, berbalut nasi tim berbumbu masakan Pak Adolf.

Menjadi orang kepercayaan seseorang yang penting di perusahaan tempatnya bekerja, membuat Reynold harus pergi bolak-balik ke luar kota bisa dua hari, atau lebih. Ia mempercayakan sepenuhnya rumah dan kedua buah hatinya pada sang Istri tercinta, yang tak menunjukkan gelagat aneh. Namun, Reynold tak pernah tahu, efek dari Skizofrenia sejak mempunyai dua anak kembar, juga mungkin kurang tidur jadi tubuhnya lelah menumpuk menjadikannya seperti orang lain, yang punya dunianya sendiri, mengada-ada apa yang tak ada.

Agape [The End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang