Pecahan Kaca - 1

4K 318 19
                                    

"Permisi, saya amau bayar uang semester."

Wanita berkacamata itu mendongak dan mendapati sebentuk wajah dengan tangan terulur menyerahkan sebuah amplop cokelat.

"Atas nama?"

"Franky Johnson."

Jari-jari lincah wanita di depan monitor komputer menari, mencari nama mahasiswa tersebut dan memasukkan jumlah uang yang diterimanya. Selesai menghitung, menge-print selembar kertas yang kemudian dibubuhi stempel dan tanda tangan bagian administrasi salah satu kampus ternama di S.

"Ini tanda terimanya," kata wanita itu menyodorkan dua lembar bukti pembayaran. Keduanya dibubuhi tanda tangan mahasiswa itu sebelum membawa salah satunya pergi.

"Terima kasih, Miss Altha."

"Sama-sama."

Wanita itu membereskan pekerjaannya yang terakhir sebelum pulang. Pria yang baru saja datang mengingatkannya untuk selalu mengunci lacinya sebelum pulang. Pria yang dua kali mendapati laci meja kerja Altha tak terkunci mebisa membuat wanita dua puluh sembilan tahun terkena masalah kembali.

"Terima kasih telah mengingatkan, Pak Bob."

"Sama-sama, Miss."

Miss Altha-itulah yang nama panggilan yang disandangnya selama bekerja di kampus ini. Ia yang selalu pulang paling akhir daripada lainnya, apalagi jika ada yang membayar uang pangkal kuliah di batas akhir jam kerjanya, mau menolaknya kasihan tapi ia sungguh lelah setiap harinya berkutat dengan mesin komputer dan mahasiswa yang banyak menunggak pembayaran.

Ia selalu mengganti sepatunya dengan sendal ketika sampai di kantor,hanya memakainya ketika berangkat dan pulang saja. Tetapi sore ini tidak, ia masih mengenakan sendal selop yang disukainya karena nyaman itu saat pulang. Kampus tak seramai saat pagi hari, biasanya lorong yang dilewatinya ini dipenuhi para mahasiswa-mahasiswi mengobrol soal hal di luar kampus atau membicarakan soal event tahunan yang diadakan kampus.

Altha menoleh ke belakang kala mendengar langkah seseorang, mengira jika ada orang lain di lantai dua kampus ini. Tetapi, tak ada siapapun saat menoleh dan melanjutkan langkahnya. Ia berhenti di depan lift, saat terbuka ia segera masuk dan memencet tombol satu. Pintu lift biasanya akan menutup dengan sendirinya setelah beberapa menit terbuka untuk membiarkan penumpang masuk, tapi sudah lebih dari menit biasanya pintu lift tak kunjung menutup.

"Kenapa dengan pintunya?" tanya Altha heran.

Hampir saja kepalanya terjepit jika tak segera reflek mundur. Ia mengembuskan napasnya lega dan merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Sempat tertawa membaca lelucon teman sekolahnya dulu, sebelum keluar dari lift saat sampai di lantai satu. Tak ada yang istimewa hari ini, berjalan lambat seperti biasanya.

Altha mengendarai mobil keluaran lima tahun lalu yang dikreditnya pada sebuah showroom mobil bekas layak pakai. Joknya masih bagus meski ada sedikit penyok di bagian belakang mobil, ia sudah merencanakan akan membawanya ke bengkel tapi itu hanya berakhir sebagai rencana belaka hingga hari ini.

Rumah bergaya modern dengan dua lantai ukuran tiga puluh enam ini adalah rumah yang ia sewa bersama Queen. Kini, Queen masih di rumah orang tuanya sampai akhir November, jadi ia sendirian di sini. Tak masalah bagi Altha, toh sebelum tinggal bersama Queen, ia menempati flat yang sempit dan pengab di pinggiran kota, sering terjebak macet jika berangkat kerja dan air sering tak keluar.

Altha menaruh tasnya di sofa ujung ranjang, melepas dasi dari atasannya berbahan satin warna putih tulang bermotif bunga matahari. Kemudian melepas celana hitamnya sebelum melangkah ke kamar mandi. Ia mengecek air kran sebelum mandi, biasanya perlu dipompa sepuluh menit agar air terisi di pelampung.

Ia melepas pakaian dalam, menaruhnya di keranjang dekat kamar mandi. Kran air terbuka dan segera berdiri di bawahnya, air segar terasa memijat kulit kepalanya yang gatal.karena keringat. Altha fokus membersihkan dirinya selama lima belas menit, sambil membungkus rambutnya yang basah, ia keluar. Ujung handuk yang berkibar menampar tempat lilin dari kaca yang ada di tembok dekat kamar mandi hingga jatuh pecah di lantai.

"Aku begitu ceroboh." Altha menggerutu sambil membetulkan baju handuknya, ia mengambil sapu dan sekop di dapur.

Pecahan-pecahan kaca itu berserakan di lantai kayu, perlahan berbunyi seperti ada yang melangkah di atasnya hingga pecahan itu menjadi lebih kecil. Kemudian benda itu terseret menjadi jejak langkah manusia tak berwujud.

Lanjut?

Agape [The End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang