Cutting

135 5 0
                                    

Key

Dia. Dia yang kucintai tidak sadarkan diri karena ku. Aku pembunuh. Aku membunuh dia. Aku melihat orang-orang berlalu-lalang menggotong dia ke ambulans yang sudah datang beberapa menit yang lalu. Aku bodoh. Sangat bodoh. Mengapa aku harus memintanya membelikanku jus jeruk?

Aku, si pembunuh, tidak bergerak di posisiku karena memang dia menyuruhku tetap disini. Maafkan aku.

Ambulans itu membawa tubuh tak bernyawamu ke tempatㅡaku tidak tahu.

"Kau bukan pembunuh," bisik seseorang.

Aku menoleh ke asal suara bass itu, ternyata itu kau.

"Kau?" aku mendelik.

"Aku melihatmu untuk terakhir kali ya. Sekali lagi, kau bukan pembunuh. Bye." sekali kedipan mata kau menghilang dari pandanganmu.

Aku beranjak dari kursi taman lalu berjalan pulang dengan gontai.

Aku pembunuh? Aku bukan pembunuh?

Yang mana yang benar?

Sesampainya dirumah, aku mengunci pintu kamar dan mencari dimana aku menyembunyikan alat itu.

Ketemu!

Aku mulai menggores sedikit di tanganku. Aku bernafas lega.

Aku bisa membunuh diriku untuk bersamamu, disana.

"Key! Apa kau disana?" panggil Niall dibalik pintu.

"Ya." balasku.

Wangi darah segar menyeruak di hidungku. Darah itu mulai menetes sedikit demi sedikit.

Mengapa harus dia?

Aku jahat. Aku pembunuh, ya aku pembunuh.

Aku tersenyum miris lalu menatap pantulan diriku di kaca.

"Ergh!" erangku kesal lalu memukul kaca sialan itu.

Good job, Key.

Kaca itu pecah dan mengenai tanganku.

Suddenly blood is relief.

"Key?! Kau baik-baik saja?!" tanya Niall khawatir diluar pintu.

Menurutmu?

Dia mencoba membuka pintu kamarku namun hasilnya nihil. Dia menggedor-gedor dengan heboh namun hasilnya nihil.

Bruk!

Oh, bagus, Niall kau berhasil membuka pintu kamarku.

"What the fuck happened to you?! Kenapa tanganmu berdarah? Kenapㅡ" ucapan Niall terpotong ketika melihat silet terjatuh dari genggamanku.

"Mengapa kau melakukan ini, Key? Kau memiliki keluarga yang bahagia dan teman, kenapa?!" bentak Niall.

Aku terdiam.

"Kauㅡada apa Key? Kau bisa menceritakannya baik-baik denganku." suara Niall mulai melembut.

Aku menggeleng.

"Aldo meninggal." bodohnya aku tidak memberitahukan bahwa aku yang membunuhnya.

"Kau menyukainya?" tanya Niall.

Aku mengangguk perlahan.

Dan aku yang membunuhnya.

"Turut berduka cita, yeah?" ucap Niall dengan raut wajah menyesal.

Aku tersenyum kecut lalu mengangguk.

"Jangan terlalu berlarut dalam kesedihan, apalagi melakukan hal bodoh seperti itu. Aldo mungkin akan sedih disana melihatmu seperti ini." kata Niall lembut.

Sedih? Dia akan menatapku penuh dendam, Ni, bukan menatapku penuh kesedihan.

"Terimakasih. Tinggalkan aku sendiri, Ni." lirihku.

Niall mengangguk lemah lalu keluar dari kamarku.

And suddenly pencil sharpener are weapons.

Aku tau silet yang tadi sudah dibawa Niall pergi, namun aku masih mempunyai serutan di kotak pensil. Aku mengambilnya lalu,

Sret-

Goresan kedua, menyakitkan, namun tidak sesakit yang Aldo rasakan.

Goresan ketiga, darah segar mulai mengalir.

Aku tersenyum penuh kemenangan.

Aku menyelipkan serutan itu di bawah ranjang lalu memakai sweater agar menutupi luka bodohku.

Cotton Candy ✾ h.sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang