Aku menggendong Kalifa dan berjalan mengiringi Clara menuju lantai atas kamar mereka. Ketika sampai, aku membaringkannya diatas tempat tidur.
Kalifa tertidur sepanjang perjalanan karena kelelahan, sekarang sudah pukul 3 sore dan Clara memintaku mengantar ke rumah mereka setelah melihat Kalifa yang tertidur.
Clara duduk dipinggiran tempat tidur sambil menelpon kakaknya. Sementara aku berdiri disamping Clara.
"Halo, kak, aku langsung pulang ke rumah karena Kalifa tidur sepanjang jalan."
"Oh, yasudah. Aku pulang pukul 5 sore nanti. Jaga dia, Cla"
"Oke"
Kemudian aku memutuskan untuk menemaninya sebentar, karena aku tidak bisa meninggalkan Clara berdua saja bersama Kalifa meski mereka berada di rumah mereka sendiri.
Aku duduk disofa sementara Clara di sebelahku, kami sedang menonton tv sambil memakan pop corn yang barusaja Clara buat.
Clara tertawa sesekali saat ia menonton siaran kartun di televisi, sementara aku memperhatikannya. Menurutku, mungkin sudah saatnya aku menganggap Clara sebagai teman dekatku juga. Mengingat keluarga Clara sangat baik padaku, aku juga nyaman saat mengobrol dengannya. Apalagi saat kami berjalan-jalan dengan Kalifa dikebun binatang tadi, Clara dan keponakannya itu mampu memperbaiki suasana hatiku yang sebelumnya buram menjadi terang.
Aku bahkan sampai tertawa saat melihat Kalifa yang ketakutan pada angsa ditaman tadi. Belum lagi ia memelukku erat saat takut pada jerapah yang ternyata bentuknya sangat besar didunia nyata, padahal selama ini Kalifa sangat menyukainya karena menganggapnya lucu.
"Cla," Clara menoleh masih dengan senyumannya sejak menonton film kartun itu.
Aku menarik nafas dan menghembuskannya. "Kau tahu? Sebenarnya ada yang ingin kukatakan padamu"
Clara meletakkan toples pop corn ditangannya saat melihat rautku mulai serius. "Ada apa Zayn?"
"Sebenarnya, aku ini introvert. Aku sangat jarang berbicara pada orang yang baru kukenal. Bahkan berbicara pada tetangga sebelah apartemenku saja tidak pernah. Aku dianggap anti sosial yang berpenampilan buruk dikampus. Aku hanya akan mengakrabkan diri dengan orang yang kurasa cocok denganku, dan kau salah satunya.." ujarku.
Clara menyimak ucapanku dengan seksama. "Lalu?"
"Kurasa aku harus memberitahumu, karena mengingat kau pernah bertanya soal ini padaku tapi aku tidak menjawabnya"
"Soal keluargamu?" Ia menaikkan kedua alisnya.
Aku mengangguk. "Ya. Pertama, soal kakakku. Aku punya kakak laki-laki, dia pintar dan rajin belajar. Dia selalu mendapat pujian dari ayah dan ibu sementara aku sebaliknya. Orangtuaku selalu membanding-bandingkan aku dengannya, dan aku benci itu."
Aku menjeda kalimatku beberapa detik.
"Lalu kedua, soal adikku. Aku punya adik perempuan seusiamu yang meninggal saat usianya 5 tahun. Dia sakit keras saat itu, dan hanya aku yang menemaninya karena ayahku bekerja sedangkan ibu lebih me-nomersatukan wisuda Alan dibanding Zefanya yang sedang sakit. Aku bingung, aku tidak tahu bagaimana aku bisa membawanya ke rumah sakit karena aku bahkan hanya bisa menggandengnya keluar rumah berharap ada orang yang membantu kami. Tapi pada akhirnya adikku tidak dapat diselamatkan."
"Dan yang ketiga, soal ayahku. Dia pria bajingan yang selalu menyakiti ibuku. Dia sangat mapan, sehingga dia dengan mudahnya bisa berselingkuh dengan wanita lain. Ayah dan ibuku selalu bertengkar setiap hari, bahkan ayah sampai memukulinya. Sejak saat itu aku membencinya. Ayah juga keras padaku, kecuali pada Alan. Ayah memang tidak pernah memukul Zefanya, tapi ayah juga tidak pernah menunjukkan kasih sayang pada Zefanya. Selalu Alan, Alan, dan Alan."
"Kau tahu? Aku sangat benci kepada dua pria itu. Ayah dan Alan. Bahkan sampai sekarang. Aku sangat dendam pada ayah karena dia sering menyakiti ibuku, aku benci pada Alan karena dia--ibu sampai meninggalkan Zefa yang sedang sakit demi menghadiri wisudanya. Karena Alan juga, aku selalu direndahkan sementara dia menuai banyak pujian. Aku tidak iri, tapi itu benar-benar menyakitiku. Kau mengerti maksudku, kan?"
Clara menghela nafas dan mengangguk. "Tapi Zayn, tidak baik kau menyimpan dendam pada keluargamu sendiri, sesakit apapun hatimu atas perbuatan mereka, akan lebih baik jika kau mengikhlaskannya"
"Aku tidak bisa." Aku menggelengkan kepalaku. "Sampai dendam ini belum hilang dengan sendirinya, aku tidak akan bersikap sopan pada mereka apalagi untuk meminta maaf. Tidak akan pernah!"
"Lalu bagaimana dengan ibumu?"
"Dia di London, aku tidak menemuinya selama bertahun-tahun. Aku merindukannya, aku juga menyayanginya, tapi aku takut jika dia akan menyakitiku dengan menjadikanku bahan perbandingan dengan Alan kalau aku sampai menemuinya atau bahkan bicara padanya. Aku tidak akan datang kesana sebelum aku bisa menunjukkan padanya kalau putranya--Zayn, juga bisa sukses."
Clara mengusap punggungku. "Sabar ya? Lapangkan hatimu, aku tahu kau sangat sakit hati atas perbuatan yang mereka lakukan. Aku percaya kalau sebenarnya kau pria yang baik, penuh kasih sayang dan bersikap kekeluargaan. Aku bisa melihat kehangatan dimatamu saat kau menceritakan tentang Zefanya. Kau hanya perlu berusaha untuk selalu mengedepankan hati nuranimu, dibanding dendammu itu"
Entah kenapa, rasanya lebih lega setelah aku menceritakan semuanya pada Clara. Aku merasa sedikit lebih tenang. Apalagi setelah ia mengusap punggungku dan tersenyum padaku, kalau saja Zefanya masih hidup, mungkin dia akan secantik Clara saat ini.
-
Setelah ayah Clara pulang ke rumah, aku langsing berpamitan meski aku belum sempat bertemu dengan kakak Clara yang belum datang. Karena hari sudah semakin sore dan aku juga lumayan lelah, jadi aku kembali ke apartemen.
Keadaaan apartemen sepi. Tidak ada seorangpun disini kecuali aku, apakah Alan sudah pergi? Tetapi setelah masuk kamar, kulihat kopernya masih ada disana. Itu artinya Alan masih disini.
Aku mengganti kemejaku dengan kaos pendek kemudian mencuci wajahku dengan facial foam. Rasanya malas sekali mandi meski tubuhku lumayan lelah.
Saat aku sedang berbaring ditempat tidur sambil memainkan ponsel, Alan masuk dan membanting buku-buku ke atas tempat tidur.
"Itu, untuk menggantikan komik-komikmu yang Tristan rusak waktu itu." Ujar Alan, yang kemudian melepas jas nya dan duduk disebelahku.
Aku beringsut dan melihat komik-komik yang masih disegel--yang baru saja Alan berikan. Ketiga komik ini sama persis dengan komikku yang rusak, darimana Alan mendapatkannya? Padahal ini limited edition, sial!
Aku membuka segelnya dan melihat-lihat isi komik itu satu persatu untuk mengecek apakah ini komik original atau hanya sekedar tiruan.
"Itu asli, aku sampai mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan komik limited fucking edition itu dari tukang loak. Sialnya, dia tidak mau memberikannya padaku meski aku sudah membujuk."
"Lalu bagaimana kau bisa dapat semua ini?"
"Tukang loak sialan itu meminta jam tangan retro-antikku yang kudapatkan dari kado ulang tahunku tahun lalu. Padahal jam tangan itu sangat antik meski tidak terlalu mahal harganya. Sialan" ia mengendurkan dasinya.
Shit, si keparat ini memberikan jam tangan retro antik miliknya dan uang yang lumayan banyak pada tukang loak hanya untuk bisa mengganti komik-komikku yang rusak? Sialan, tapi aku tidak mau memujinya. No fucking way.
"Oke, hutangmu lunas." Ucapku, yang kemudian beranjak dan menyimpan komik itu kedalam box khusus stuffs pribadiku. "Jangan pernah berani menyentuhnya lagi"
* * *
![](https://img.wattpad.com/cover/200097936-288-k108582.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitterness (Slow Update)
FanfictionSomeone can change your whole life. Siapa sangka? Kehidupan sepi seorang pria introvert yang dingin dan cuek pada hingar bingar dunia ternyata bisa berubah hanya karena seorang gadis yang mampu memotivasi dirinya untuk menjadi lebih baik. Gadis itu...