54. Peluk Untuk Meringankaan

110 10 16
                                    

Selamat Membaca🍂

Sore itu. Bandara Internasional Soekarno-Hatta dipadati oleh lautan manusia.

Bukan sesuatu yang asing memang. Tapi pemandangan lalu lalang tersebut semakin menambah denyut pada kepala Dea.

Rencananya, sore ini Ardea akan duduk di cafetaria seraya membicarakan endding untuk novel yang tengah dikerjakannya. Tentu saja untuk membunuh waktu sebelum pesawat keberangkatan Bendi tiba.

Sudah sejak dua jam yang lalu. Dua manusia itu sibuk membicarakan banyak hal. Topik apapun mereka ambil sebagai bahan pembicaraan yang sepertinya tak ada habisnya.

Ditemani kopi, laptop yang menyala juga Bendi. Ardea berusaha memfokuskan pikiran mengenai bagaimana akhir kisah tokoh dalam novelnya.

Sulit memang. Inspirasi tidak bisa dipaksakan. Karena menurut Dea, inspirasi datang secara kebetulan. Mirip sebuah keajaiban.

"Gue kan udah bilang. Bikin happy ending aja, susah banget." Bendi bersuara, memberikan masukan untuk Dea yang tampak kesulitan.

Benarkah serumit itu pekerjaan seorang penulis.

Ardea mendongakan kepala. Menatap Bendi kurang setuju.

"Terlalu biasa Ben!" sanggah Dea tak puas. Menurutnya, novel dengan happy ending sangat sangat biasa.

Bendi berdecih. Menegak kopi miliknya. Setelah itu, kembali menatap Dea malas. Sementara yang ditatap hanya bertopang dagu, tampak menikmati apa yang tengah ia lihat. Pemandangan kesibukan bandara.

"Tapi kan banyak pembaca yang suka sama novel happy ending."

Dea menoleh mendengar suara Bendi. Dibuat gemas sendiri, Dea ingin meneggelamkan wajah sahabatnya di got.

"Gue gak buat pembaca gue senang. Gue lagi buat karya gue sendiri, yang beda dari yang ada di pasaran. Terlalu basi Ben, kalo dikasih happy ending. Nih ya, mereka habis baca novel gue lupa. Tapi kalo lo gantung ceritanya , mereka yang baca pasti penasaran dan bakal cari informasi lebih dari apa yang mereka baca. "

Bendi menyimak. "Kebelet tenar lo!"

Dea berdecih. Susah ya bicara sastra sama orang awam yang belagunya sampai langit ke tujuh kayak Bendi gini.

"Ya gak gitu juga. Selain itu, bakal besar kemungkinan sequel novel yang berakhir gantung tadi buat laku di pasaran. Ah lo gak paham, sebel gue!" sunggut Dea menegak air mineral miliknya.

Bendi diam. Kali ini memilih tidak berkomentar.

"Tapi kalo pengalaman pribadi. Gue gak bakal baca novel lain dari penulis yang sama apalagi sequelnya kalo baru sekali aja udah gantung gitu. Apalagi sad ending, beh langsung gue bakar tuh bukunya."

Sungguh. Apa yang Bendi katakan nyaris membuat Dea melemparkan laptop miliknya. Supaya mengenai kepala Bendi, berharap setelah itu, otak gesrek temanya bisa kembali mormal.

"Bangsat lo emang!" maki Dea diambang kemarahan.

Bendi terkekeh. Dasar sahabat lakknat, tertawa setelah berhasil membuat sahabatnya berkata kasar. Well, sepertinya ini bukan kali pertama Bendi menerima umpatan dari Ardea.

Titik Pertama [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang