42. Konsekuensi

40 8 0
                                    

Selamat Membaca 🍂

"Papah rasa ini sudah terlalu jauh. Kau tahu betul konsekuensinya."

Wajah tua itu tak henti menatap nanar wajah putra tunggalnya. Sementara Nayaka, duduk tegap diseberang meja kaca. Ibunya duduk melipat kaki dengan wajah gusar.

"Kau tertarik padanya bukan. Jika memang itu yang kau perjuangkan, aku mendukung. Tapi kau tentu tahu lebih banyak daripada aku."

Suasana di ruang keluarga mewah tersebut mendadak menjadi sangat tegang.

Diana, ibu Nayaka menahan nafas untuk beberapa saat. Kalimat yang suaminya sampaikan membuatnya sedikit tenang. Tapi masih ada yang mengganjal, putranya masih bungkam.

Nayaka mengangguk. Diana mengulas satu senyum simpul. Ini jauh lebih meleggakan dari berita ia memenangkan arisan berlian minggu lalu.

"Ibu mu bilang, kalian tidak sengaja bertemu tadi."

Nayaka yang sudah bangkit kembali menatap ayahnya lurus. "Ahh iya. Dan kupikir ibu menyukainya."

Diana yang menjadi objek pembicaraan tergagap. Menatap suami juga putranya secara bergantian.

"Gadis manis yang hangat. Pribadinya sangat menyenangkan."

Nayaka terkekeh. "Ibu terlalu berlebihan." komentarnya berjalan masuk. Ia butuh istirahat.

"Nayaka.  Aku tak ingin melihat kau terpuruk karena penolakan. Dan jika kau memang serius, ada baiknya kau berkata jujur sejak sekarang. Itu akan jadi sesuatu yang baik daripada ia tahu kebenaranya dari orang lain. Sulit di awal memang, tapi percayalah, setelahnya akan ada damai diantara kalian. Tak ada hal baik yang di mulai dari kebohongan son!"

Menyimak. Nayaka mengangguk mantab. Ia tahu itu dengan betul. Hanya saja, Nayaka terlalu takut. Terlalu pengecut untuk menerima setiap kemungkinan buruk yang mungkin saja terjadi. Ia tak sanggup kehilangan, untuk yang kedua kalinya.

Sebenarnya ia tahu. Ini sudah terlalu salah. Tapi lagi-lagi, Nayaka tak punya kuasa akan hatinya .Biarkan semua berjalan sesuai kendali. Selama Ia masih andil besar, semuanya pasti dalam keadaan baik. Semoga saja.

Well, Nayaka memang seorang pecundang.

🍂🍂🍂

"Ben!"

"Hem!"

Ardea menggigit bibir bawahnya parau.

Keduanya sedang duduk di kafetaria kampus. Jam kuliah sudah selsai, tak ada kelas lain kecuali pagi tadi. Seperti biasanya, Bendi sibuk menyelesaikan tugas skripsi Ardea. Sementara yang bersangkutan, diam melamun. Memikirkan banyak hal yang tak bisa kebanyakan orang rasakan.

"Rabu depan gue ada sidang."

Ardea berkata lirih. Bendi menolehkan kepala malas. Fokus matanya kembali tertuju pada layar laptop yang tampak menyala.

"Terus gue peduli. Yang sidang kan elo!" komentar Bendi menyebalkan, seperti biasanya.

Ardea berdecih. Melirik sahabatnya murka. Ia lebih memilih pemandangan para mahasiswa yang tampak mengerumuni setiap sudut kafetaria.

Titik Pertama [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang