Bab 6

40 14 0
                                    

Suasana sore ini cukup sejuk dan sangat menggelayupi jiwa akan nikmat tuhan yang tak pantas kita dustakan. Jalanan semakin padat dipenuhi pekerja yang ingin pulang ke rumahnya. Anak jalanan pun telah mengukir senyumnya dikala senja mulai hadir sembari menyaksikan bahwa koin hasil mereka bernyanyi seharian di lampu merah dan di rumah makan sudah terisi penuh di dalam dua gelas mineral plastik. Senja mengakhiri segalanya dengan indah hingga membuat kita bersyukur dengan hikmat atas nikmat-Nya. Tapi kita tidak boleh lupa dengan keadaan fajar yang telah menyambut kita untuk mengawali hidup. Besok hari, jadikan fajar untuk lebih dikenang karena penikmat fajar lebih sedikit daripada senja. Katanya, hidup seperti itu. Ya, disaat orang-orang sedang tidur itulah kesempatan untuk melangkah maju. Ketika orang-orang belum terbangun benar itulah kesempatan untuk melangkah lebih cepat.

Vio menyaksikan semuanya dari balik pintu kaca cafe yang dimana suasana ini sudah mewakili isi hatinya.

"So, gimana enak gak kopinya?"
Tanya Rangga yang sedang duduk tepat di depan Vio.

"Yang ngebuat bukan lo kan" Jawab Vio dengan benar.

"Tapi ini pilihan gue" Sahut Rangga, setelahnya ia meminum sedikit coffe itu lalu mengambil tissu di sampingnya untuk membersihkan kedua tangannya yang menurutnya terlihat kotor. Sembarinya, Rangga menanyakan sesuatu kepada Vio

"Oiya Vi, lo kenapa nginap di rumah gue? Kalo gue jadi lo. Gue gak bakal ninggalin rumah kek istana itu" Tanya Rangga sambil memujinya.

"Ayah gue balik ke bogor lagi Ga, jadinya kan sepi" Singkat tapi tak jelas

"Menurut google otak gue, jawaban lo itu gak masuk akal. Emangnya your nyokap gak ada di rumah?" Rangga merasa jawabannya itu tak logis, ia pun terus memaksa Vio untuk menjawab pertanyaannya itu

"Lo gak bakal ngerti alur hidup gue Ga. Kalo bisa gue milih mati aja daripada hidup yang sia-sia kek gini, bosen gue naik turun panggung sandiwara dengan penonton aneh" Jawab Vio sambil melihat kembali keluar kaca cafe.

"Never underestimate yourself. If you are unhappy with your life, fix what's wrong and keep steeping. Bilang aja Vi, gue gak makan lo kok" Kata-kata bijak Rangga seketika terkeluarkan begitu saja. Rangga memang sudah terbiasa dari kecil mendengarkan nasehat orang tuanya yang memakai bahasa Inggris. Dan yang Rangga ucapkan ialah salah satu kalimat dari orang tuanya.

"Sebenarnya ada wanita yang sudah lama dan diam-diam menjadi seorang gila harta. Ia sudah mengganggu keluarga gue dengan mengusir kami dari rumah,sebenarnya ini udah jadi hak ayah gue buat menentangnya. Tapi, sertifkat tanah dan rumah sudah dibalik nama menjadi nama wanita iu sendiri. Jadi, rumah kami dijual olehnya. Syukurlah ayahku di terima untuk pindah perusahaan."
Ucap Vio dengan tenang, setelah ia menceritakan singkat alasan mengapa ia pindah ke Jakarta ia meminum kembali kopi panas berasa mocca tersebut. Ketenangan Vio sangat terjaga, wajahnya juga tak menyampaikan rasa sedih ataupun marah begitu pula dengan tatapan matanya. Tapi, masih saja ada yang menjanggal hati Rangga. Jika dipikir-pikir daritadi Vio hanya membicarakan ayah, ayah dan ayah. Ia pun tinggal di Jakarta karena mengikuti pekerjaan ayahnya dan juga merasa bosan di rumah karena ayahnya pergi ke Bogor.

"Anyway, lo daritadi cuman bilang ayah lo doang. Nyokab lo udah meninggal ya? Eh maaf ya. Oh iya, wanita itu siapa?" Banyak sekali yang Rangga tanyakan.

"Wanita biadab itu nyokap gue" Jawab Vio. Seketika, Rangga yang mendengarnya menjadi terkejut hingga mengalihkan pandangan Vio ke wajahnya.

"What?! OMA! is Oh My Allah" Kejut Rangga seketika yang mengubah kata God menjadi Allah. Dan ia pun telah mendapatkan jawabannya mengapa Vio seketika mematikan lagu One Big Family yang ia nyalakan di dalam mobil sepulang sekolah.

"Tapi bener kata lo Ga, nyokap gue udah meninggal. Dari dulu, gue gak pernah ngerasa punya ibu yang tulus." Jawab Vio tanpa raut marah ataupun sedih. Ia menganggap fine saja jika Rangga menanyakan itu, karena ialah orang Jakarta yang pertama mengetahuinya dan ia juga orang yang bisa saling memahami.

"Oh iya, gue lupa kalo nyokap gue pulang cepet. Dia pulang pukul 5 sore Vi. Sekarang udah kelewat 20 menit."
Rangga sedikit terkejut karena keledorannya. Padahal mamahnya Rangga membawakan rainbow cake kesukaannya hari ini, katanya sih edisi pulang cepet. Rangga yang terbawa suasana terkejutnya menjadi lupa akan cerita Vio.

"Vi, jangan sungkan sama mamah gue. Mamah gue mamah lo juga, kita saudara Vi! Nanti kita makan cake kesukaan gue sama-sama ya." Ucap Rangga yang sedikit menghibur Vio.

"Makasih Ga, yaudah ayo pulang kasian mamah lo nunggu lama" Ucap Vio

"Mamah kita Vi" Sahut Rangga yang membuat bibir tipis cerah Vio terukir senyum seketika. Takdir setiap manusia sudah ditentukan oleh Tuhan, tinggal kita yang berbuat bagaimana caranya menghadapi takdir tersebut. Takdir ini bagaikan kebahagiaan yang telah terbagi benar ke dalam diri kita masing-masing. Tapi kembali lagi bagaimana kita bisa meraih kebahagiaan tersebut. Perlu kita ketahui keberadaan bahagia, bahwa ia tidak terletak pada tahta dan harta. Namun terletak pada proses dan keimanan kita pada sang ilahi, hingga pada akhirnya Ia bisa menilai kebahagiaan seperti apa yang layak untuk diri kata.

Mereka pun beranjak dari tempat duduk dan Rangga jalan mendahului Vio untuk membayar kopi mereka. Setelahnya mereka langsung menuju ke mobil untuk pulang ke rumah. Suasana jalan sudah semakin padat yang membuat kemacetan terjadi kembali dan tentu ini akan memperlambat waktu untuk pulang ke rumah.

Syukurlah, kemacetan ini tidak berlangsung lama. Mereka pun telah sampai di rumah Rangga. Benar apa yang Vio katakan bahwa mamahnya akan menunggu.

"Mamahhh!" Seru Rangga sambil berlari ke ruang tamu untuk menjumpai ibundanya. Ternyata mamah Rangga sedang memasang wajah kesal seperti anak kecil pada umumnya dengan menonton TV dan cake rainbow di atas meja yang tepat sekali berada di depan ibundanya. Rangga yang terkesan sebagai cowok romans itu langsung merayu malaikat tak bersayap itu.

"Hmm, kuenya manis dan warnanya cantik seperti bidadari yang sedang menunggu. Wah, bidadari siapa ini?" Gelak tawa terkeluarkan dari wanita yang telah menua oleh Rangga yang merayu dan berlagak layaknya profesor yang sedang meneliti. Tak hanya itu, Rangga juga mengucapkan hasil penelitiannya sembari mencicipi kue sedikit. Tak memakan waktu lama, ibundanya pun langsung menanyakan keadaan Rangga.

"Bagaimana dengan harimu" Ucap Adelia Putri, yaitu ibunda Rangga yang kerap di panggil bunda Lia.

"Not bad mah. Oh iya mah, Rangga boleh minta sesuatu gak?" Ucap anak lelaki itu

"What is it?" Tanya Lia.

Rangga pun memberitahu ibundanya. Ternyata itu persoalan tentang Vio dan ia meminta ibundanya juga menjadi ibunda Vio. Rangga hanya menceritakan dengan singkat, tapi ia telah berjanji akan menceritakan dengan lengkap nanti malam karena ia takut membuat Vio merasa bosan karena sudah dibuatnya menunggu. Alhasil, Lia menyetujui penjelasan singkat anaknya itu. Padahal, dengan cerita singkat itu Lia sudah sangat percaya tapi jika anaknya ingin menceritakan kembali, apa salahnya menolak untuk mengetahui persoalan lebih dalam yang dialami anak angkatnya itu.

Tepat sekali, kini Lia sudah benar-benar menganggap Vio menjadi anaknya sendiri. Dan ia berfikir, ini juga menjadi kebaikan untuk Rangga yang tak memiliki saudara kandung.
.
.
.
.
Mwehehehe. Vio ama Anonya kapan ya? Bentar deh. Tunggu aja pokoknya, updatein terus certia aghu mknya. Votenya jan lupa sist','
Aww terima kasih banyak kamu yang udah baca sampai bab sinii.. sayangg banyak banyak!

IrremplazableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang