PACTA | 6

41.7K 3.7K 140
                                    


****

Safira mencengkram erat kemeja Sean demi menyalurkan rasa berdebar di dadanya. Ia masih berusaha mencari keberadaan otaknya yang entah tercecer dimana karena dengan bodoh telah membiarkan lelaki itu menciumnya.

Bahkan saat telapak tangan besar Sean berpindah menelusuri tengkuknya, naik menuju belakang kepala, dan merebahkan tubuhnya ke atas sofa dengan hati-hati, Safira merasakan perutnya melilit seketika.

Sean melepas ciuman itu sesaat, memberi jarak sedikit untuk menatap wajah Safira. Ia tersenyum, mengusap bibir merah yang sedikit membengkak itu dengan ibu jarinya sebelum kemudian kembali menyatukan bibir mereka lagi.

Kali ini lebih menuntut, ada lumatan keras yang mampu membuat aliran darah Safira semakin memanas, dan bodohnya, ia malah membalas ciuman itu sama gilanya. Safira melingkarkan lengannya di sepanjang tengkuk Sean, menekannya lebih ke bawah.

Sesekali mereka melepas ciuman itu hanya untuk mengambil napas demi memasok oksigen ke paru-paru. Tangan Sean mulai bergerilya menyentuh pahanya, naik untuk mengelus perutnya, semakin ke atas dan melepas dua kancing teratas piyama Safira.

Ciuman itu berpindah ke rahang dan turun hingga menuju tulang selangka. Safira sadar betul ini tidak seharusnya terjadi mengingat hubungannya dengan Sean tidak sebaik suami istri pada umumnya. Hanya saja, tubuh Safira seperti merespon lain apa yang otaknya perintahkan.

"Sean..."

Bahkan bibir itu masih sempat mendesah begitu Sean memberikan gigitan kecil pada kulit lehernya. Safira membelalak, merasakan sebuah remasan kuat dari telapak tangan besar Sean di dadanya.

"Ah..."

Lagi-lagi nada berbau sensual itu tidak bisa ia cegah keluar dari bibirnya. Ini gila! Safira tidak mengerti mengapa sensasi ciuman itu bisa membuatnya lupa diri.

"Se..."

Desahan Safira kali ini berhasil membuat Sean tersentak. Seolah kesadarannya terenggut kembali, lelaki itu membuka matanya dan secara refleks beranjak dari atas tubuh Safira lalu menegakan tubuhnya untuk kembali terduduk.

Tentu Safira terkesiap atas perubahan sikap Sean yang secara tiba-tiba itu. Ia mengerjap bingung dan ikut terduduk di sebelahnya. Safira masih berusaha untuk menyadarkan diri sekaligus meredam dentam jantung yang menggila saat Sean mulai menangkup wajahnya dengan kedua tangan yang bertopang di atas paha.

Lelaki itu merasakan pening yang sangat luar biasa di kepala. Alkohol benar-benar sudah berhasil merenggut kesadarannya, bahkan hampir membuatnya merenggut kegadisan Safira. Sean berdecak seraya memijat keningnya demi menghilangkan rasa sakit itu.

"Pu-sing ... banget?" Safira bertanya, sedikit terbata, masih bingung dengan situasi mereka saat ini. "Ke-kepala lo pusing?"

Untuk apa sih ia bertanya ini? Safira meringis pelan.

Tidak langsung menjawab, lelaki itu perlahan menoleh ke arah Safira lalu mengulurkan tangannya untuk mengaitkan kembali dua kancing teratas piyama perempuan itu yang tadi sempat ia buka.

Safira sedikit berjengit, namum masih membiarkan Sean melakukan itu. Ia sedikit gugup, atau sebenarnya sangat gugup karena nyatanya mereka tidak pernah seintim itu sebelumnya.

"Ma-mau gue buatin susu?" Entah mengapa jiwa istri teladan yang sangat Safira benci kini bangkit lagi. Ia tidak sebaik itu pada Sean, lalu kenapa harus repot-repot menawarkan susu?

Astaga, Safira benar-benar perlu menyiram otaknya dengan air dingin saat ini juga.

Sean menarik tangannya kembali setelah dua kancing piyama itu sudah terkait. "Boleh," ujarnya sebelum kemudian menelungkupkan kembali wajahnya di atas kedua tangan.

PACTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang