Ketika Gus Jatuh Cinta #02

3.5K 103 0
                                        

Sudah pukul 16:08 WIB. Semua penghuni pesantren sudah berkumpul di halaman ndalem. Lokasi ndalem yang terletak tepat di tengah. Pemisah asrama putra, dan asrama putri. Halamannya memanjang, tembus pagar pintu gerbang masuk pesantren.

Lantunan solawat, diiringi tabuhan rebana mulai bergema. Menyusul masuknya mobil sedan dari arah gerbang, semua pasang mata tertuju ke arah mobil warna hitam itu.

Ckllkk ...

Suara handle mobil dibuka. Seorang pemuda, berpakaian kemko lengan pendek warna navy, keluar dari dalam mobil.

Pemuda berkulit kuning langsat, dibalut kopiah putih di kepalanya. Postur tubuhnya tinggi, tidak terlalu tegap. Terlihat cukup stylish dengan hiasan arloji di tangan kirinya.

Membias senyumnya, mengedar menatap sekeliling, menikmati setiap lantunan solawat yang sudah lama jarang ia dengar di tempatnya menimba ilmu. Matanya memaku. Tatkala melihat bangunan ndalem, masih sama. Seperti tiga tahun silam. Bangunan rumah bernuansa kuno, beberapa hiasan bunga bunga kesukaan uminya, menghiasi teras.

Lantunan solawat itu selesai. Ia mulai mengayunkan langkahnya, masih dengan tas punggung mengalung di kedua bahunya. Dengan senyum sumringah. Menatap sebaris manusia yang tengah berdiri membalas tatapannya. Ia mempercepat langkahnya, tak sabar. Segera menanggalkan tas di punggungnya. Diraihnya tangan yang sudah tak kencang lagi, diciumnya. Cukup lama.

"Assalamualaikum, Abah ...," lirihnya. Yang dibalas belaian hangat di bahunya.

"Waalaikum salam, Lhe," sambut K.H. Ihsan. Membuat Faid, masih enggan melepas ciuman rindu di punggung tangan renta itu.

K.H. Ihsan. Laki laki yang sudah menggunakan tongkat kayu untuk menopang jalannya menepuk kembali bahu putranya.

"Abah sehat?" tanyanya. Melepas kecupannya, menatap lekat abahnya. Dibalas anggukkan oleh abahnya.

"Lhe," lirih seorang perempuan berusia setengah abad, berdiri di samping K.H. Ihsan. Beliau Hj. Sa'adah.

"Umi?" sapanya. Kembali beralih mengecup tangan uminya. Tangan yang ia rindukan belaiannya.

Terdengar sedikit isakan, membuatnya segera melepas tangan uminya, memeluk perempuan yang sudah melahirkannya. Dengan erat.

Rindu? Membuatnya tak peduli bermanja di pelukan uminya. Disaksikan semua santri di pesantren ini.

"Faid rindu Umi," ungkapnya. Masih memeluk uminya, "Faid juga rindu masakan Umi."

"Rindu masakan opo?" tanya Hj. Sa'adah tersenyum. Mengelus punggung putra bungsunya.

"Faid rindu sepiring nasi, sama sayur asem, buatan Umi," jawab Faid, sedikit menyeka bulir beningnya, yang serasa akan tumpah dipelukan uminya.

Tentu, jawaban putranya. Membuat Hj. Sa'adah melepas pelukan putranya, terkekeh. Jauh jauh dari belanda. Yang dirindukan hanya nasi dan sayur asem.

"Nggak kangen sama Mas mu?" suara parau itu, membuat Faid menoleh ke samping uminya. Sosok laki laki, berkulit sawo matang, perawakan tinggi, tegap dan kekar itu, terbalut baju koko dan sarung tenun, dengan peci hitam. Menatap ke arahnya.

"Mas Hikam," seru Faid, merentangkan kedua tangannya.

Seakan tahu apa yang akan dilakukan adiknya. Hikam, langsung menghadang dengan telapak tangannya, membekap mulut Faid yang hendak mencium pipinya. Pasti, itu adalah kebiasaan adiknya, walau sudah 'gerang' (dewasa), tapi cukup manja kepadanya.

"Wes, nggak usah nyosor! Malu, dilihatin semua santri," tegurnya. Masih membekap mulut Faid, netranya menoleh sekeliling, melihat beberapa santri yang malah terkekeh melihat aksi perlakuannya, terhadap adiknya.

"Hmmm." Faid menepis tangan Hikam, langsung menghadiahkan pelukan untuk sang kakaknya.

"Nggak kangen kamu, Mas?" tanya Faid terkekeh memeluk kakaknya.

"Hmm, kangen," jawab Hikam singkat, sedikit datar, sambil menepuk nepuk punggung adiknya. Pribadinya yang terkesan dingin, jarang bicara bila tak ada perlunya, berbanding terbalik dengan kepribadian adiknya yang lebih bisa mencairkan segala suasana. Adiknya yang kadang suka usil mengganggunya.

"Nglamak-nglamak! Tak jotos kamu!" tegurnya, setengah berbisik. Hanya dibalas desahan tawa oleh adiknya.

Faid melepas pelukannya. Senyum sumringahnya seakan tak bisa ia sembunyikan.

"Mas pikir. Lama di negara orang, selera lidahmu ngikut kebarat baratan. Eh! Masih doyan nasi," ledek Hikam, masih dengan gayanya tanpa senyuman.

"He ... he ...," tawa Faid. Menunjukkan lesung pipitnya.

"Masa, jauh-jauh. Yang di kangenin nasi sama sayur asem." Hj. Sa'adah masih terkekeh mengelus bahu putra keduanya itu.

"Di sana susah, Mi. Nyari masakan itu," jawab Faid, meraih tangan uminya yang mengelus bahunya. Menggenggamnya.

"Iya. Nanti Umi masakin," balas Hj. Sa'adah membalas senyum ke arah putra-putranya.

*****

Ba'da maghrib. Acara syukuran, setelah pembacaan doa, semua santri yang hadir dimanjakan dengan 'prasmanan'.
Berbagai masakan ada di sana. Memilih sendiri menunya. Tentu, terpisah antara santriwan dan santriwati, dibatasi dengan kelambu panjang yang membentang membelah halaman ndalem.

"Masih celingukan kamu, Id?" tanya Hikam, memperhatikan adiknya masih memegang piring berbahan porselin itu, baru ada nasi di piring itu.

"Nyari sayur asem, Mas," jawabnya.

"Itu!" tunjuk Hikam, membuka tutup mangkuk yang terletak paling pinggir di meja itu.

"Oh. Makasih, Mas," ucap Faid, langsung menyendok sayur kesukaannya.

"Mas, mau?" tawarnya, menyodorkan centong sayur ke arah Hikam.

"Emoh!" tolak Hikam, meninggalkan adiknya.

"Hmm."

Faid melangkah, memilih bergabung dengan beberapa santriwan yang tengah menikmati hidangan yang disuguhkan.

"Gus!" Seseorang santri yang kaget dengan kehadirannya langsung berdiri menyapanya.

"Iya. Sudah, duduk aja. Saya temenin makan," balasnya. Tak sungkan duduk mengemper di hamparan tikar bersama para santri lain.

*****

Malam ini. Faid memilih untuk tidur bersama kakaknya. Walau awalnya, Hikam menolak. Melihat adiknya terus merayunya. Ia pun mengizinkan.

"Hanya semalam."

"Iya, Mas." Faid langsung begegas masuk ke kamar Hikam, yang bersebelah dengan kamarnya. Disusul Hikam yang memilih duduk di sofa yang terletak di sebelah ranjang tidurnya. Tangannya meraih tumpukan kertas putih di meja di depannya.
Tugasnya. Mengoreksi lembar jawaban santri didiknya, yang semalam mengikuti pelajaran madrasah diniyah. Yang merupakan, ia salah satu Asatidz nya.

"Gimana? Nggak kangen pengen ngajar madrasah?" tanya Hikam, matanya masih fokus ke setiap lembaran kertas yang ia pegang.

"Ya ... Faid mau rehat dulu, Mas," jawab Faid, sambil tiduran di kasur kakaknya.

"Helleh! Gayamu," protes Hikam. Hanya menoleh sekilas.

"Besok, kamu ngajar kitab kuning, jam empat sore. Di asrama putri," titah Hikam. Menyorotkan pandangannya ke arah Faid. Membuat Faid beranjak dari rebahannya.

"Kitab 'Almizanul kubro', ganti'in, Mas," tambah Hikam.

"Argh ...."

"Terserah, Mas lah."

Faid mengambil ponselnya, mengabari beberapa temannya, bahwa ia sudah sampai.

"Faid tidur dulu, Mas." Melempar HPnya asal. Langsung memposisikan tidurnya. Hari ini, dia benar benar lelah. Perjalanan yang cukup memakan waktu, membuatnya dengan cepat terlelap tidur.

Ketika Gus Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang