Ketika Gus Jatuh Cinta #04

3.3K 125 1
                                    

Sore ini, di asrama putri, semua santri sudah berkumpul di teras. Pengajian kitab kuning, gus Hikam langsung yang mengajar. Teras yang memanjang itu, dengan pagar tembok setinggi setengah meter. Beberapa hiasan pot bunga yang terjajar rapi di sepanjang pagar. Tempat itu digunakan untuk mengikuti kegiatan 'ma'nani' (mengartikan) kitab gundul(tanpa harokat).

Sedikit riuh. Itulah kebiasan semua santri menunggu asatidznya datang. Beberapa masih asyik mengobrol dengan teman-temannya, bahkan masih ada beberapa yang datang terlambat.

Keriuhan mendadak senyap. Tatkala mereka melihat ustadz yang akan mengajar sore ini. Biasanya, gus Hikam yang mengajar. Kali ini, pemandangan berbeda. Gus Faid, dengan langkahnya menuju teras, membawa kitab tebal di tangan kanannya, mendadak membuat santriwati bergerilya menatap setiap langkahnya.Dengan senyum lesung pipitnya, ia duduk dan menyapa semua santri.

"Gus. Mana oleh-oleh dari belanda?" sapaan beberapa santriwati menyambutnya. Jika kebanyakan santri takut menyapa Hikam karena sikap dinginnya. Berbeda dengan Faid, lebih ramah. Membuat santri-santri masih berani menyapa, bertanya, dan kadang sedikit menggoda.

"Oleh-olehnya, sehat walafiat," jawab Faid, dengan membias senyum simpulnya, menanggapi pertanyaan beberapa santrinya.

Tanggapan Faid, tentu menjadi menjadi pembukaan, diikuti serentetan pertanyaan-pertanyaan berikutnya.

"Mau ngaji? Apa interview saya dulu?" tanya Faid menanggapi pertanyaan yang ditujukan kepadanya. "Kalau mau interview, saya tutup dulu kitabnya," sambungnya. Masih tak lupa setiap senyum yang mengembang di bibirnya.

"Duh ... Gus. Gantengnya 'idhar' (jelas) banget ...." Suara seorang santriwati yang duduk di belakang membuat suasana kembali riuh membahana.

Faid hanya bisa menggeleng menanggapi celotehan yang entah siapa yang melontarkannya, sudah biasa, suasana kegiatan akan lebih santai jika dia yang mengajarnya. Berbeda dengan Hikam, yang selalu serius dalam setiap pelajaran. Membuat santri-santri berpikir dua kali bila menyapa berlebihan.

"Sudah halaman berapa?" tanya Faid, memulai pelajaran. Netranya mengedar menatap semua santriwati yang sudah duduk di depannya. Bersiap mengikuti pelajarannya sore ini.

"Halaman 154, Gus."

-----

Selepas ba'da isya'. Semua santri siap mengikuti kegiatan madrasah diniyah. Dengan beberapa tingkatan kelas. Dari ula, wustha, dan juga syawir. Beberapa tenaga pengajar pun sudah berkumpul di kantor madrasah, beberapa menit lagi, kelas dimulai. Kelas dibagi, untuk santriwan dan santriwati, kelas terpisah. Pengajarpun disesuaikan, ustadzah mengajar santriwati, dan ustadz mengajar santriwan. Untuk pengajaran kitab-kitab besar adalah tugas gus-gus. Begitupun kepala asatidz, juga dijabat oleh Hikam. Mengingat, abah, panggilan santri untuk K.H. Ihsan sudah tidak lagi memimpin, mengingat usia beliau yang memang sudah udzur. Sehingga digantikan putra-putranya.

"Kami, permisi ngajar, Gus." pamit beberapa asatidz, untuk memulai kelas di setiap mata pelajaran.

"Oh. Iya," jawab Hikam yang masih membuka beberapa berkas di meja. Sesekali mungkin dia turun tangan mengajar bila ada asatidz yang izin tidak hadir kerena alasan tertentu.

Ruang kantor mulai sepi. Hikam masih sibuk dengan beberapa berkas dan juga laptop didepannya. Mengemban tugas dan tanggung jawab yang diserahkan abah kepadanya.

Di ndalem, Faid nampak berkutat dengan laptopnya. Jauh-jauh mengejar S2 nya. Demi mewujudkan cita-citanya. Menjadi seorang Dosen. Malam ini, ia mulai mencari-cari lowongan di beberapa website. Juga menghubungi beberapa teman-temannya.

"Lagi apa toh, Id?" tanya Hj. Sa'adah menghampiri putranya yang sibuk mengotak atik laptop sedari tadi.

"Cari-cari lowongan kerja, Mi," jawab Faid masih fokus dengan laman beberapa website di laptopnya.

"Masih?" tanya Hj. Sa'adah lagi. Beliau tahu, putranya itu bercita-cita menjadi pengajar.

"Iya, Mi," jawab Faid. Mengulas senyum ke arah uminya.

"Terus? Yang bantu 'mimpin' pesantren?" Hj. Sa'adah mempertanyakan peran Faid di pesantren ini. Mengingat K.H. Ihsan sudah tidak mungkin memimpin lagi.

"Kan ada Mas Hikam, nanti Faid bantu-bantu aja," jawab Faid. Menutup laptopnya, mendengar nada bicara uminya sudah mulai pelan.

"Mi. Faid tetap ikut tanggung jawab 'kok, membantu pesantren." Mencoba memberi penjelasan uminya, agar mengerti dengan kemauannya.

"Tapi, sudah dapat lowongannya?" Hj. Sa'adah mulai kembali bertanya.

"Belum. Insya allah, bulan depan dibuka pendaftarannya, doakan ya, Mi. Kata temen Faid, ada lowongan dosen tetap," jawab Faid. Menggeser duduknya, merangkul uminya. Ia tahu, uminya kurang setuju dengan keputusannya. Butuh penjelasan agar uminya mengerti.

-----

Pagi itu, Hikam mengajak Faid ke perpustakaan pesantren. Sebulan sekali, ada beberapa penerbit yang bekerja sama dengan pesantren, mengantar beberapa buku keperluan santri. Dari kitab-kitab pelajaran, Al-Qur'an, Iqro. Dan yang paling disukai semua santri adalah, majalah islam, juga novel religi.

Perpustakaan akan riuh, penuh dengan santri yang mengantri untuk membaca buku-buku baru. Perpustakaan itu memang dicampur jadi satu. Namun, tempat membaca yang terpisah.

"Faid lihat-lihat dulu ya," pamit Faid kepada Hikam yang masih sibuk menandatangani beberapa bukti penerimaan pengiriman buku.

"Hmm," jawab Hikam tak menoleh, netranya masih sibuk meneliti beberapa kertas kwitansi.

Melangkah melewati beberapa rak buku yang berbaris di sepanjang gedung perpustakaan, Faid sesekali meraih beberapa buku, sekedar melihat-lihat. Dan membaca sekilas. Langkahnya kembali mengayun, menyisir setiap gang kecil di sela-sela rak kayu yang tersusun deretan buku, juga kitab berbagai judul.

Netranya menangkap sebuah buku tebal, nampaknya, buku filosofi. Diraihnya buku itu, bersamaan dengan seseorang yang hendak menjamah buku itu dari balik rak.

"Maaf, Gus." Seorang santri langsung melepas tangannya yang juga meraih buku itu.

"Oh. Anti mau baca buku ini?" tanya Faid, menghampiri santri balik rak.

"Tidak, Gus. Nanti saja." santri itu menggeleng.

"Anti yang di kebun kemarin 'kan?" tanya Faid, mengingat santri itu yang kemarin memucat gara-gara ulat. Masih ingat pula, santri itu yang menumpahkan kopi di pintu dapur waktu itu.

"Na'am, Gus." Santri itu menjawab sambil menunduk.

"Silahkan. Anti saja yang baca, saya bisa membaca lain kali." Faid menyodorkan buku yang dipegangnya.

"Tidak usah, Gus," tolak santri itu.

"Ambilah! Rumy," paksa Faid. Membuat santri itu mendongak. "Ini." Faid memberikan buku itu, ia tahu. Santri itu menolak karen sungkan.

"Id. Ayo, Id!" suara panggilan Hikam, mengajaknya kembali ke ndalem.

"Terimakasih, Gus," ucap santri itu. Hanya dibalas ulasan senyum oleh Faid,dan melangkah meninggalkannya.

-------

.

Ketika Gus Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang