Ketika Gus Jatuh Cinta #05

3.2K 130 0
                                    

Seperti biasanya, memasak di dapur ndalem, sudah ada tiga santriwati yang diistimewakan oleh pihak ndalem. Mereka adalah Rumy, Fitri, dan Hana. Mereka dipilih menjadi pengurus ndalem, dengan seleksi tentunya. Mereka dipilih karena pandai memasak, ulet, dan rajin. Didapuk dengan nama 'Mbak Ndalem' tugas mereka membantu Hj. Sa'adah memasak di dapur, menyediakan sarapan, makan siang, juga makan malam semua santri. Membantu bebersih, dan juga membantu umi saat panen sayuran.

Lebih istimewa. Mereka, Mbak Ndalem, dibebaskan dari biaya iuran pesantren. Semua kebutuhan mereka ditanggung pesantren. Tetap mengikuti kegiatan inti pesantren.

Pagi itu, umi masih belum 'rawuh'(datang) di dapur. Masih mengurus bunga-bunga beliau yang butuh siraman air di pagi hari. Umi sudah berpesan untuk dibuatkan kopi dua cangkir, masih seperti biasa, manis dan pahit.

Hana, masih sibuk mencacah sayuran, begitupun Fitri, sibuk menggoreng, sedang Rumy, mengulek bumbu untuk menumis sayuran yang masih dieksekusi Hana.

"Loh. Kopi sudah dibikin belum?" tanya Fitri masih membolak balik tempe di atas wajan.

"Belum, Fit," jawab Rumy yang juga sibuk dengan tangannya menggenggam ulekan.

"Buatin dulu, Rum!" timpal Hana menoleh sekilas. Dua santri ini, lebih senior dibanding Rumy.

"Iya." Rumy segera mengambil panci untuk memasak air. Jemarinya meraih dua cangkir yang berada di rak. Seperti biasa, pesan umi kemarin pagi. Satu cangkir kopi manis, satu setengah sendok gula, sesendok bubuk kopi. Sebaliknya, satu setengah bubuk kopi, dan ukuran gula, hanya setengah sendok.

Selesai meracik kopi, Rumy mengantar kopi ke ruang tengah. Sudah ada Hikam dan di sana.

"Kopinya, Gus," sapa Rumy, meletakkan dua cangkir kopi di meja.

"Hmm," jawab Hikam singkat. Ia menoleh kopi yang baru saja diletakkan santriwati itu.

"Kok dua kopinya?" tanya Hikam, membuat langkah Rumy terhenti.

"Kan memang dua, Gus," jawab Rumy, berbalik mengayun langkah ke Hikam.

"Iya. Tapi Faid nggak ada, dia lagi keluar. Nanti siang pulangnya, bawa masuk lagi kopinya," terang Hikam, menggeser kopinya. "Yang manis yang mana kopinya?"

Rumy nampak kebingungan, cangkir itu sama, ia lupa kopi mana yang manis.

"Assef, Gus. Ana lupa," jawabnya, dengan senyum kecut, masih mengedar meneliti kopi itu.

"Biar saya coba dulu." Hikam mengambil sesecangkir kopi itu, sedikit menyesapnya. " ini yang manis. Yang itu bawa masuk lagi," sambungnya, menoleh Rumy yang masih berdiri di depannya.

"Baik, Gus." Diambilnya kopi di meja itu, untuk dibawanya kembali ke dalam.

"Rumy!" panggil Hikam menoleh Rumy yang sudah melangkahkan kakinya.

"Iya, Gus."

"Terima kasih kopinya," ucap Hikam, tersenyum simpul.

Rumy mengangguk, membalas senyum Hikam. Ia pun segera kembali ke dapur. Di letakkannya nampan masih berisi secangkir kopi itu. Tangannya kembali meraih pekerjaan sebelumnya. Melanjutkan ngulek.

"Loh. Kok balik kopinya?" tanya Fitri selesai menggoreng tempe. Melihat kopi itu masih di atas nampan.

"Gus Faid nggak ada," jawab Rumy, segera menyudahi ulekannya. Memasukkan ke dalam wajan. Dan mulai menumisnya.

"Hmm," desah Fitri, dengan senyum sunggingnya. Ada hal aneh yang terpikir dibenaknya. Di pesantren, teman adalah saudara, bercandanya pun juga seperti saudara sendiri. Entah, melihat kopi itu, muncul ide nylenehnya.

Ketika Gus Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang