Faid baru saja tiba, memarkirkan mobil, ia pun segera turun, membukakan pintu mobil untuk abahnya, membantu abahnya melangkah menuju ndalem, baru saja dia mengantar ke dokter untuk cek kesehatan.
"Hati-hati, Bah," ucapnya, sambil memegangi bahu abahnya, menjaga keseimbangan langkah abahnya yang ditopang bantuan tongkat kayu.
"Iya, Abah tidak akan apa-apa, Id. Tinggal berapa jengkal kan sudah sampai teras," jawab K.H. Ihsan pada putranya.
Perlahan, kaki ringkih abah menapaki teras ndalem, Faid masih menjaga, sambil kembali memegang bahu abahnya. Di tolehnya Hikam tengah duduk di kursi teras. Sudah menaut hampir jadi satu alis kakaknya. Sudah tahu, ada yang membuat kakaknya jengkel hari ini.
"Habis makan siapa sampean, Mas?" tanya Faid sambil masih menuntun abahnya.
"Sudah, Lhe. Abah bisa sendiri kedalam," ucap abah sesampai di pintu ndalem.
"Abah yakin?" tanya Faid.
"Iya." Abah pun melangkah dengan hati-hati menuju kedalam.
"Mangsanya siapa hari ini?" tanya Faid kembali, sembari duduk di sebelah Hikam.
"Kamu pikir, aku buto opo?!" gerutu Hikam, melirik dengan nuansa kekejamannya dimata Faid.
Faid hanya terkekeh. Ia tahu, mood kakaknya sedang diganggu.
"Kamu 'kok sudah pulang?"
"Ya iyalah. Emang Mas Hikam, tukang ngamuk bisanya. Bikin janji, Mas, sama dokternya. Biar nggak ngantri," jawab Faid enteng.
"Lain kali, kalo mau keluar, bilang. Biar nggak dibikinin kopi!" geram Hikam, membuat Faid malah menaut alis.
"Kenapa jadi Faid yang dimarahin?"
"Gara-gara kopimu, gaduh didalam."
"Gaduh?"
"Mbak-mbak ndalem taruhan gara-gara kopimu," jelas Hikam.
Faid hanya mengangguk. "Trus? Yang menang siapa?" sedikit menggoda kakaknya.
Hikam kembali menatap bulat Faid. "Ada yang pingsan gara-gara kopi pahitmu, masih nanya siapa yang menang."
Faid hanya terkekeh dengan sikap kakaknya. "Mas Hikam tahu dari mana mereka taruhan kopi pahit?" tanyanya.
"Mas nggak sengaja lewat. Tapi kalo sampai santri itu kenapa-napa, pesantren juga yang disalahkan," jawab Hikam, masih dengan wibawa anti senyumnya.
"Bisa jadi 'kan mereka hanya bercanda, biarkan saja. Ya sudah! Faid kedalam dulu," pamit Faid beranjak meninggalkan kakaknya. "Oh ya. Jangan marah-marah, jodohmu makin jauh, Mas," imbuh Faid, dibalas tatapan melotot dari kakaknya.
Faid masuk kedalam, hendak melangkah menuju kamarnya. Terlihat Rumy tengah seorang diri memegang piring ditangannya. Wajah menunduknya, namun masih bisa terlihat pucat pasinya.
"Kenapa kamu?" tanya Faid, meraih gagang pintu kamarnya, tak jauh dari santriwati yang tengah duduk sendirian.
"Maag," jawab Rumy masih tetap menunduk.
"Maag-nya kambuh, Id. Gara-gara minum kopi," tambah umi, yang baru saja keluar dari kamar, mengantar abah. Menoleh Rumy yang masih memegang makanannya dengan ekpressi masih menahan sakitnya.
"Masih perih?" tanya Faid kepada Rumy dan juga uminya, Rumy hanya mengangguk, masih terasa perih di perutnya. Walau tak sesakit sewaktu tadi.
Faid mengurungkan niatnya masuk ke kamarnya, berbalik melangkah ke dapur. Membuat umi dan Rumy saling pandang. 'Bertanya, tapi langsung melenggang pergi'. Umi kembali duduk di samping Rumy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Gus Jatuh Cinta
General FictionHikam dan Faid. Dua Gus kakak beradik yang mencintai satu gadis yang sama. Rumy. Siapakah yang akan mendapatkan santri cantik dan mungil itu?