Selepas maghrib, Hikam memilih duduk di ruang tamu, bersama abah dan uminya, menunggu Faid yang belum juga pulang. Sambil menyiapkan beberapa materi untuk mengajar madrasah nanti ba'da isya'. Seorang asatidz yang harusnya mengajar malam ini tak bisa hadir mengajar karena sakit, ia pun harus menggantikan.
Terdengar telepon rumah yang terletak di pojok ruang tamu itu berdering, membuat umi Sa'adah beranjak dan mengangkat gagang telepon.
"Oh ... iya, sebentar." Umi menurunkan gagang telepon, meletakkan di meja dan beranjak keluar. "Hana!" panggil umi, yang berdiri di teras melihat Hana melintas baru saja dari masjid.
"Dalem, Umi," sahut Hana menghampiri.
"Panggilkan Rumy! ada telepon dari ibunya."
"Oh. Na'am, Umi, Hana akan sampaikan."
Tak berapa lama, Rumy tiba di ndalem, menguluk salam, dan segera menerima telepon dari ibunya di banyuwangi.
[Piye kabare, Nduk?]
"Sehat, Alhamdulillah, Bu'e" jawabnya dengan senyum sumringahnya, sesekali memutar kabel telpon dengan jarinya. Bahagia sekali rasanya saat ibunya berkabar walau hanya via telepon, mengingat tidak bisa sering pulang karena terlalu jauh. Hanya setahun dua kali, itupun jika ibunya menjemputnya.
Entah setiap senyuman itu, membuat Hikam yang tengah menyiapkan materi, sesekali menoleh kearah pojok ruang tamu, tempat santriwati itu tengah mengobrol dengan ibunya. Tidak terlalu jelas, karena sesekali santri itu melemahkan suaranya, mengingat ada abah, umi dan juga Hikam di sana.
"Assalamualaikum," sapa Faid baru saja tiba, menenteng sebuah keresek ditangan kirinya, menyalami abah, umi dan juga kakaknya yang membalas salamnya.
"Dari mana saja, Lhe? Hampir isya baru pulang?" tanya abah melihat putra bungsunya yang berpamit pergi tadi sore, dan baru kembali.
"Dari reuni sama teman-teman, Bah. Sekalian tadi mampir ke toko bunga, beli'in umi bunga," jawab Faid, memberikan kresek yang langsung disambut senyum sumringah, tahu jika uminya sangat suka mengoleksi berbagai jenis bunga. Umi pun langsung membuka kresek itu, tiga pot yang berisi beberapa macam bunga, ada anggrek, begonia, dan angelonia.
"Wah ... bagus banget, Lhe," puji umi dengan senyum mengembang melihat bunga-bunga yang dikeluarkan dari dalam kresek, bunga-bunga yang masih belum tumbuh mekar sempurna.
"Mborong, Id?" tanya Hikam melihat bunga yang dikeluarkan umi dari kresek itu. Faid hanya tersenyum menanggapinya, sudah lama ia tak membelikan bunga untuk uminya.
"Alhamdulillah kalo Umi suka," ungkap Faid. Sama seperti Hikam, senyuman sumringahnya, melihat umi menerima pemberiannya. Tapi senyuman itu juga beralih saat melihat pojok ruang tamu. Yang berdiri seorang santriwati dengan senyum mengembang tengah menerima telepon. Dilangkahkan kakiknya menuju Hikam, dan duduk di sebelahnya.
"Iya. Bu'e, Rumy akan jaga kesehatan. Waalaikum salam." Santriwati itu menutup percakapannya, meletakkan kembali gagang telepon itu, membuatnya baru sadar ada dua pasang netra memperhatikannya. Hanya membalas senyum kepada dua gus yang masih memperhatikannya, tentu langsung membuat dua gus itu langsung salah tingkah dan memalingkan pandangan.
"Sudah, Rum?" tanya umi melihat Rumy beranjak dari meja telepon.
"Sudah, Mi."
"Oh ya Rum, Umi dikasih bunga sama Faid, bagus tidak?" tanya umi menunjukan tiga pot bunga itu, sesekali dibelai daun-daun bunga yang diletakkannya di atas meja.
"Bagus banget, Umi. Rum juga punya bunga seperti itu di rumah. Tapi Rum nggak bisa merawat, jadi ibu Rum yang merawatnya," jawab Rumy memperhatikan bunga itu. Ada satu bunga yang paling disukainya. Bunga angelonia, bunga pot yang juga ia tanam dirumahnya. Bunga yang mirip dengan bunga lavender, dan juga mudah cara merawatnya. Ia menyentuh daun kecil-kecil itu, membuat umi menolehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Gus Jatuh Cinta
General FictionHikam dan Faid. Dua Gus kakak beradik yang mencintai satu gadis yang sama. Rumy. Siapakah yang akan mendapatkan santri cantik dan mungil itu?