Hikam, pria yang masih tak beranjak dari sofa, netranya masih meneliti setiap lembar kertas putih yang dipegangnya. Sesekali, ujung pulpennya, mencoret soal yang ia koreksi.
Mengedipkan netranya berkali-kali, mengusir kantuk yang menyerang. Benar saja, sudah hampir jam sepuluh malam.Sisa lembar terakhir. Diteliti kembali, tatapan dua bola netranya naik turun. Sesekali penanya, menyentang nomor jawaban soal yang salah.
Dia beranjak. Merebahkan diri di kasurnya. Menoleh Faid yang sudah terlelap. Entah mimpi ke alam mana 'bocah' itu. Hikam hanya tersenyum melihat adiknya. Beranjak dari rebahannya, menarik selimut yang tertindih kaki adiknya. Memilin selimut, sampai menutup seluruh tubuh adiknya.
"Nggak berubah kamu, Id," ungkapnya. Mengulas senyumnya, membelai lembut rambut adiknya. Hikam pun mematikan lampu tidur di atas nakas di sebelahnya.
****
Pagi itu. Faid baru saja keluar dari bilik kamarnya, sudah rapi dengan kemko lengan panjang. Memasang kopiah putihnya, mengayunkan langkah, menuju dapur. Masih ingatkah uminya? Kopi pahit yang selalu di suguhkan umi padanya setiap pagi.
Prang ....
"Astagfirullah."
Lafadz istigfar itu, hampir terucap bersamaan, oleh Faid, dan seorang santriwati yang hampir berkontak fisik lewat tabrakan, tepat di pintu menuju dapur.
Membuat nampan berisi dua cangkir kopi, yang dibawanya tak seimbang. Akhirnya tumpah dan jatuh ke lantai.
Cangkir berbahan beling itu, meluncur bebas ke lantai, yang sebelumnya, cairan kopi panas, baru saja diseduh itu menyiprat ke lengan kemko Faid.Meringis menahan panas, cairan kopi yang menembus kemkonya, terasa sedikit panas di kulit lengannya.
"Maaf, Gus." Santriwati berhijab square satin bermotif kelopak bunga itu menunduk.
"Iya. Tidak apa-apa," sahut Faid, masih mencubit lengan bajunya, meniup dan mengibas bekas tumpahan kopi itu.
Netranya memutar, menoleh santriwati yang masih menunduk itu."Saya tidak sengaja, Gus, maaf," imbuh santriwati itu. Membungkuk, hendak membersihkan pecahan cangkir itu.
"Jangan!" cegah Faid. Menahan agar santriwati itu tak sampai menyentuh pecahan beling itu.
"Biar saya ambil sapu, sebentar." Faid berlalu menuju dapur, tak lama ia kembali membawa sapu ijuk dan serokan sampah.
"Jangan dibersihin pake tangan, bahaya," ucap Faid, tak menoleh, menyapu serpihan cangkir, mengarahkan ke serokan sampah yang dipegang ditangan sebelahnya.
"Biar saya saja, Gus," pinta santriwati itu, mengulurkan tangannya.
"Tidak usah. Anti kembali saja ke dapur, buatkan kopi lagi."
"Baik, Gus."
Santriwati itu bergegas menuju dapur.
"Astagfirullah," pekiknya, dengan langkah tergopoh menuju dapur. Santriwati itu, langsung meletakkan nampan di meja. Membuat beberapa santri yang ikut memasak di dapur menatapnya.
"Kenapa, Nduk?" tanya Hj. Sa'adah, yang saat itu berada di dapur, membantu beberapa santriwati yang bertugas memasak untuk sarapan santri seluruh pesantren.
"Tidak apa apa, Umi. Hanya menumpahkan kopi," jawab santriwati itu, mengulas senyum ke arah Hj. Sa'adah.
"Ya sudah. Buat lagi kopinya, tapi jangan lupa, yang satu manis, yang satu pahit," pinta Hj. Sa'adah, membalas senyum.
"Enggih, Mi," jawab santriwati itu mengangguk.
****
Faid baru saja selesai mengganti bajunya. Melangkahkan kaki, menuju ruang tengah. Dilihatnya Hikam, tengah duduk sendiri, memegang kitab berhalaman tipis. Tak menyadari kehadirannya.
Sikap jahilnya muncul, langsung duduk dia me-mepet kakaknya. Merangkul, dan mendaratkan ciuman di pipi kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Gus Jatuh Cinta
General FictionHikam dan Faid. Dua Gus kakak beradik yang mencintai satu gadis yang sama. Rumy. Siapakah yang akan mendapatkan santri cantik dan mungil itu?