Chapter 7

422K 25.9K 1.8K
                                    

Update spesial detik" menuju tahun baru wkwk

"Saya mohon dok," pinta Alena memegang lengan seorang lelaki yang masih terlihat muda.

"Baiklah, tapi kamu janji harus check up rutin Alena."

"Iya dok saya janji."

"Tapi bukankah sebaiknya keluarga kamu tau jika selama ini-"

Percakapan Alena dan seorang lelaki berprofesi dokter muda terhenti ketika Dinda menerobos masuk bersama Nayla diikuti Dimas di belakangnya.

"Putri saya kenapa dokter?" Tanya Dinda.

"Bukan putri kamu Dinda," sahut Dimas dan langsung mendapat tatapan tajam dari sang istri.

"Bunda kenalin ini dokter Andi," ucap Alena mengabaikan kalimat papanya.

"Halo bu pak," sapa dokter Andi.

"Ah iya saya bunda Alena dan ini papanya," jawab Dinda.

"Kak Alena kenapa dokter?" Tanya Nayla.

Dokter Andi menatap Alena sejenak yang di balas tatapan memohon akan sesuatu.

"Alena hanya kelelahan, dan juga sepertinya dia tertekan hingga banyak pikiran, jadi saya sarankan dia untuk di rawat selama dua hari ke depan," jelas dokter Andi.

"Alhamdulillah syukurlah, saya kira anak saya kenapa-kenapa, karena tadi dia mimisan darahnya sangat banyak," ucap Dinda bernafas lega membuat Alena dan dokter Andi saling tatap sejenak.

"Emm kalau begitu saya permisi dulu, masih ada pasien yang harus saya tangani," pamit dokter Andi.

"Ah iya dok terima kasih," ucap Dinda.

"Ingat check up rutin anak nakal," bisik dokter Andi pada Alena yang di balas kekehan.

"Dokter kalau gini makin tampan deh," bisik Alena membuat dokter Andi salah tingkah dan berdehem meninggalkan ruangan Alena.

Dimas yang melihat interaksi mereka mengerutkan kening seolah mereka terlihat akrab.

"Sepertinya kalian akrab," sahut Dimas.

"Ah dia dokter yang Alena kenal pah," gugup Alena.

"Kenal dari mana?"

"Emm gak penting juga kan papa tau?" Ucap Alena menyindir Dimas.

"Penting untuk saya, siapa tau dokter itu kerja sama dengan kamu hanya untuk mengalihkan perhatian saya dengan cara kamu pura-pura sakit," ucap Dimas.

"Mas!"

"Pah!"

Dinda dan Nayla tak suka kalimat yang di katakan Dimas barusan, sementara Alena tersenyum miring.

"Harusnya papa gak usah bawa Alena ke sini, biarin aja Alena di kamar hingga Alena sendiri yang sadarkan diri," ucap Alena.

"Saya cuma tidak mau di salahkan oleh semua kakek dan nenek kamu, jangan berpikiran lebih hanya karena saya membawa kamu ke rumah sakit,"

Dinda yang mendengar itu ingin sekali menjitak kepala Dimas, apa susahnya sih mengatakan jika dia mengkhawatirkan Alena tadi, gengsinya nomor satu.

"Kalau begitu kenapa papa gak menelpon mereka? Biarkan saja mereka yang membawa Alena ke sini, jadi papa tak perlu repot-repot,"

"Kamu sudah berani melawan ucapan saya!"

Alena terdiam menunduk meremas tangannya dan meminta maaf dalam hati, sungguh dia kelepasan karena papanya selalu menyudutkannya.

"Tidak usah menunggu sampai dua hari kamu di rawat, hari ini saya akan mengurus administrasinya,"

"Mas, dokter itu bilang Alena harus di rawat selama dua hari!!" Bantah Dinda.

"Uang saya gak banyak, saya gak mau keluarin uang hanya untuk perawatan kamu, masih banyak keperluan rumah dan keperluan Nayla ke depan yang harus saya urus," ucap Dimas menatap Alena tanpa menghiraukan Dinda.

"Mas keterlaluan tau gak!! Kalau sampai terjadi sesuatu pada Alena bagaimana!!" Bentak Dinda.

Dimas berlalu meninggalkan ruangan Alena yang diikuti Dinda karena tak terima keputusan Dimas.

"Kak Alena tunggu yah biar aku yang bujuk papa," ucap Nayla lalu meninggalkan Alena sendirian.

"Uang saya gak banyak, saya gak mau keluarin uang hanya untuk perawatan kamu, masih banyak keperluan rumah dan keperluan Nayla ke depan yang harus saya urus,"

Kalimat Dimas bagaikan lagu yang di putar menari-nari di pikiran Alena, Dimas tak mau mengeluarkan uang hanya untuk Alena.

Alena menangis sesenggukan memegangi kepalanya yang kembali berdenyut sakit.

"Papa tenang aja, uang papa gak akan habis karena Alena hiks, suatu saat Alena gak akan pernah lagi bisa habisin uang papa."

Dan pada hari itu pun Alena terpaksa keluar dari rumah sakit meski tubuhnya merasa masih ingin di rawat.

♡♡♡

Devan dan Alena hanya diam saling tatap dan melemparkan senyum. Alena tak menceritakan kepada Devan apa yang terjadi kemarin.

Kini keduanya berada di taman sekolah bagian belakang, kebetulan kelas mereka free karena para guru sedang rapat dadakan.

"Berhenti natap aku," ucap Alena menunduk malu.

Devan tersenyum "Semakin melihat kamu, aku makin rindu."

Alena tertawa, Devan ingin mengusap pipi Alena tapi gerakan itu terhenti.

"Kenapa?"

"Aku takut nanti ada yang liat," bisik Devan.

Alena mencibir lalu mengulurkan tangannya menyentuh kedua sisi wajah Devan.

Setelah cukup lama keduanya kembali saling menatap, Devan memegang kedua pundak Alena.

"Ini mimpi?"

Devan menggeleng "Aku gak bakalan biarin kamu pergi ke mana pun, aku mau kamu disisi aku terus, aku janji gak bakalan buat kamu terluka."

"Cih gombalan lo receh!"

Alena dan Devan menoleh di sana ada Bima dan Caca yang berjalan ke arah mereka.

"Ganggu aja," kesal Devan.

"Nih gue tunjukin cara gombalan dahsyat," ucap Bima merangkul leher Devan lalu memegang tangan Caca sang kekasih.

"Cinta hanyalah tumbuh di taman hati. Hanya hati yang suci yang mampu memupuk cinta sejati sebagaimana cinta di hatiku padamu sayang," ucap Bima seolah dramatis.

"Kayaknya kalimat lo pernah ada di salah satu cerita yang pernah gue baca deh," sahut Alena terkekeh.

Bima mengernyit tak suka "Jangan sembarangan, ini tuh kalimat khusus buat yayang Caca."

"Masa?"

"Sayang, kalau mau ngegombal di depan mereka yang keren dikit dong," kesal Caca karena kalimat itu juga pernah dia baca di salah satu cerita.

"Ini keren Ca."

"Katanya gombalan dahsyat masa copy paste sih, contohin pacar aku dong kalimatnya ori gak kw," cibir Alena membuat Devan tersenyum mengangkat jempol.

"Emangnya cerita yang mana?" Tanya Devan.

Alena dan Caca saling tatap lalu tersenyum dan kompak berteriak.

"Dari cerita Love or Osis dong!"




Saniyyah Putri Salsabila Said

31 Desember 2019

Lilin [TELAH TERBIT & DISERIESKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang