"Seseorang?" Ulang Dika.
"Benar. Tapi karena sudah sangat lama, akhirnya kami memutuskan untuk menyerah dan menetap di hutan ini." Ujar Dion. Azka hanya mengangguk.
"Oh iya. Apa kalian tahu? Saat aku melihat kalian, kalian tampak begitu familiar." Ucap Dion.
"Tubuh kecil, tidak bisa terbang, ataupun membaca pikiran, ataupun berjalan cepat, tidak memiliki kemampuan apapun." Lanjutnya.
"Aku pernah bertemu jenis kalian beberapa tahun yang lalu." Dion mengakhiri kalimatnya.
"Gawat, dia tahu kalau kita adalah manusia." Anaisha kemudian tersenyum dan berkata, "Kau tahu? Di dunia ini ada yang baik dan yang jahat."
Teman-temannya bingung saat Anaisha mengucapkan hal itu.
"Tentu saja, tapi suatu tindakan dapat meninggalkan kesan yang terus berbekas, bukan?" Tanya Dion.
Azka, Okta, Cecil, Dika dan Arthur semakin bingung dengan ucapan Dion. Tapi, mereka tahu ini bukanlah hal yang bagus.
"Maafkan kami, Tuan Dion, tetapi sepertinya kami harus melanjutkan perjalanan kami. Terima kasih atas makanannya." Ucap Anaisha bangkit dari duduknya. Azka, Okta, Cecil, Dika, dan Arthur juga ikut berdiri. Mereka kemudian membungkuk dan berjalan menuju pintu. Saat mereka membuka pintu terlihat beberapa laki-laki berbaris menghalangi.
"Gadis manis, bagaimana mungkin kami melepaskan orang yang telah kami cari bertahun-tahun lamanya dan orang yang telah menyakiti kami bertahun-tahun yang lalu?" Ucap Dion.
"Saya percaya kita mencari orang yang sama, orang yang kau cari tidak ada di antara kami." Ucap Anaisha.
"Hahaha.. benarkah?" Ucap Tuan Dion sambil mendekat ke arah mereka. Lalu, ia berhenti tepat di depan Anaisha.
"Tapi, sepertinya aku telah menemukannya?" Ucap Tuan Dion dengan senyuman miringnya seraya memegang pundak Anaisha. Azka spontan menarik Anaisha ke belakang.
"Tangkap mereka." Perintah Dion.
Barisan orang yang menghalangi pintu mulai bergerak dan menahan tangan mereka.
"Gue nyesel gak ikut ekskul karate" Batin Cecil yang tidak bisa melepaskan tangannya.
Okta melihat ke arah langit. Rasanya, tubuhnya seperti terbakar sinar matahari. Tapi, kenapa ia bahkan tidak bisa melihat langit? Hanya daun pohon yang sangat rimbun sejauh matanya memandang.
"Apa ini yang dimaksud ilusi? Tapi rasa panasnya sangat nyata. Ilusinya sangat kuat" Batin Okta.
Orang-orang itu membawa mereka ke sebuah lapangan yang dipenuhi orang-orang bertubuh besar.
"Apakah semua rekanku sudah hadir? Tentunya kalian tidak ingin melewatkan persitiwa bersejarah ini, bukan? " Ucap Dion.
Sorak sorai memenuhi lapangan tersebut.
"Hmmm, mari kita lihat." ucap Dion dengan nada seperti sedang berpikir.
"Kau gadis manis, kau akan kutahan." Ucap Dion yang menarik Anaisha ke sampingnya.
"Ucapkan selamat tinggal kepada teman-temanmu." Ucap Dion seraya tersenyum miring.
"Bariskan mereka ke ujung jurang." Ucap Dion.
"Jurang? Itu hanya lubang yang tidak terlalu dalam, itu pasti ilusi mereka." Batin Anaisha.
"Itu bukan jurang! Cuma lubang yang tidak terlalu dalam, itu hanya ilusi!" Teriak Anaisha.
"Usaha yang bagus, tapi sayangnya percuma. Walaupun ilusi, mereka akan merasa sakitnya jatuh ke jurang yang dalam, layaknya mereka merasa lezatnya hidangan kami tadi." Ucap Dion.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walzin World
AdventurePerjalanan mereka dimulai ketika matahari terbenam. Saat semua orang memilih untuk lelap dalam mimpi, mereka harus berjuang untuk bisa keluar dan tetap hidup dari dunia yang asing bagi mereka, Walzin World. Akankah mereka berhasil? Adventure × roman...