Yang Mulai Terlihat

2 0 0
                                    

Candien duduk termenung di pantai karang bolong di daerah Canggu, lebih dikenal dengan Eco Beach, Canggu. Dia tak bisa menangis, sudah kering air matanya. Pikirannya tak karuan. Pikiran negatif semua bermunculan. Pertanyaan yang selama ini ia halau agar tak datang dikepalanya kini semakin banyak seperti riak di lautan. Kenapa Greg setega itu menyuntikkan cairan KB setiap bulan, agar ia tak hamil. Ia yakin Greg lah pelakunya. Seorang dokter kandungan, sungguh kejahatan yang sempurna. Adakah wanita lain? Sudah punya anakkah mereka? Atau Greg adalah seorang Gay? Pertanyaan ini mengisi kepalanya setiap hari. Candien tak bisa tidur. Berat badannya turun drastis, ia tak mau keluar rumah bahkan hanya untuk sekedar jalan atau belanja dipasar. Dia hancur.

"Gek, tidak makan lagi?" Tanya Bu Devi, sesaat ketika mengambil senampan makanan yang tadi pagi ia antarkan ke kamar Candien. Candien tak menjawab, memalingkan badannya memunggungi Bu Devi. "Sudah lima bulan Gek sperti ini, Ibu tidak tega melihat Gek murung sedih. Berhiaslah, keluarlah. Buat diri Gek bahagia." Candien tetap berdiam tak merespon. Bu Devi, sudah berusaha memberi kabar pada kakak-kakak Candien. Mereka datang, menjenguk dan mencoba menghibur. Mereka bahkan tak tahu kenapa Greg dan Candien bercerai, tak ada angin dan hujan bahkan badai yang mereka dengar di rumah tangga adiknya. Bahkan mereka rela untuk menetap sebentar di Bali untuk sekedar menghibur adik mereka. Candien lagi-lagi bergeming.

"Good Morning. Bu Devi Bli Putra. Kok sepi amat ini?" Teriak seorang pemuda, memasuki ruangan dapur keluarga Candien.

" Ya ampun, Mas Odiezt. Kemana saja? Bli kangen nih, dah lama tak datang kesini."

"Kan bli tahu, saya ikut mama ke Canada."

"Gimana kabar Mas Odiezt?" Tanya Bu Devi sambil memeluk Odiezt.

"Saya baik-baik saja Bu. Candien masih di Canberra ya? Saya pikir saya tadi mau kesana, tapi saya urungkan. Takut mengganggu Greg dan Candien. Saya kesini dulu, baru menghubungi Candien dan terbang ke Canberra. Untung rumah ini tidak berpindah tangan, coba kalau sudah. Bisa pusing saya nyari Bli."

"Mas Odiezt, Gek disini." Kata Bli lirih.

"Hah? Bener Bli, disini? Dirumah ini? Waaah langsung ke kamarnya ya, Bli." Belum selangkah Odiezt pergi, dia balik ketempat semula. "Eh, iya ya ada Greg. Bilangin ke Candien Bu Devi kalau saya nungguin di sini."
Kata Odiezt bersemangat. Sudah lebih dari empat belas tahun dia tak bertemu sahabatnya ini. Sejak kecil mereka bersama, ayah Candien seorang insinyur yg tinggal di Jakarta, bertetangga dengan rumah Odiezt. Mereka menjalin persahabatan sejak kecil, hingga ketika ayah dan ibu Odiezt berpisah dan Odiezt ikut mamanya ke Canada. Bu Devi bergeming, lalu mendekati Odiezt perlahan. Bercerita keadaan Candien yang sekarang." Bu Devi, gak bohong kan?" Tanyanya kaget.

"Enggak, mas. Gek, sudah bercerai lima bulan lalu. Dia murung, gak mau makan dan mengurung diri di kamarnya."

"Bu Devi jangan khawatir, saya udah disini. Serahin sama saya ya."  Odiezt oun melesat ke kamar sahabatnya tersebut. Mengetuk pintu, namun tak ada jawaban.  Ia masuk, mendapati sahabatnya lesu tak bertenaga."Tuan Putri ayo bangun." Katanya sambil membuka selimut yang sudah sejak lima bulan lalu menjadi barang terdekat Candien. Candien terkesiap, spontan berbalik badan siap marah. Ia ternganga, mendapati seorang laki-laki tingginya tak seberapa, kulit coklat khas Asia, rambutnya yang sedikit bergelombang dan suara seraknya.

"Sejak kapan kamu balik didis?" Secepat kilat ia menyambar badan yang tak asing lagi bagi Candien dan menangis. Bahunya memang tak bidang, namun bahu ternyaman saat Candien tak bisa berkata-kata.

"Gak penting, yang penting aku udah disini."

*******

Rasanya malas untuk kembali ke negara ini apalagi di kota Canberra. Tempat menjengahkan, hatinya berkecamuk hebat. Masih ada rasa sakit yang teramat dalam tentang kota ini. Candien tak ada pilihan lain untuk menolak pergi. Ada beberapa file pasien yang ia tangani belum ia kembalikan pada klinik tempat ia dulu bekerja. Ia tak sendiri, Odiezt bersamanya. Ia sangat ingin segera pulang.

"Aunty, can you help me? I've lost my parents." Seorang gadis kecil mendatanginya,  mengharapkan bantuannya.

"You've lost your parents? Where?"

"Around here, aunty."

"Okay, take my hand. We'll walk around to find your parents. By the way, how old are you.?

" 12, aunty. We will go to Airport. I'm afraid aunty, how if my parents don't realize and go back to Indonesia, without me."

"Indonesia? Are you guys going to Indonesia? For traveling?"

"No, aunty. My dad is a half. Indonesia-Aussie. My mom Aussie. We will visit Indonesia for a while."

"Have you a sister or brother?"

"A sister, ten years."

"Great, don't-"

"Daddy, mommy," Belum selesai dengan pertanyaannya, anak perempuan itu berseru, melepas gandengan Candien dan berlari menuju orang tuanya. Candien bernafas lega.
"Come, aunty. This is my parents. Come aunty, come." Candien bergegas, dari kejauhan dia seperti tak asing dengan sesosok laki-laki ayah si gadis.
Dan benar, dia Greg.

Dibawah Temaram Matahari Di Ufuk BaratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang