Kebenaran Yang Menyakitkan

2 0 0
                                    


"Halo, selamat siang. Bagaimana kabarmu?" Sapa Diska, sesaat setelah Candien datang. Tak lantas Candien menyambut tangannya, ia hanya berdiri menatap tajam Greg, matanya penuh dengan pertanyaan yang mungkin ia telah siapkan tadi malam. Ia tak menggubris Diska, sedikitpun. Baru kali ini Diska melihat madunya, wanita cantik dengan kulit kuning langsat, tinggi semampai bermata coklat dan berhijab elegan. Penampilannya sudah cukup menggambarkan Candien yang begitu rapi, stylish dan sangat berhati-hati dalam segala hal. Kontras dengan dirinya, yang berpenampilan seadanya, kulit sawo matang, bermata coklat cerah, tinggipun hampir sama dan tak mengenakan hijab. "Take a seat, please!" Lanjut Diska. Candien hanya diam, duduk didepan mantan suami bersama istrinya yang kontras sekali penampilan dengan dirinya. Candien beranggapan, apa yang membuat Greg memilih wanita sederhana ini? Dia biasa-biasa saja, dandanpun tidak. Manis memang, namun tak seperti wanita elegan dari keluarga terpandang.

"Candien, kemarin kau bertemu Maggy, anak perempuanku. Terima kasih sudah menemaninya saat dia kehilangan kami. Diska, beranggapan kamu perlu tau tentang kenapa aku menceraikanmu langsung dariku. Bukan karena menerka atau bahkan yang lebih parah dari orang lain yang mungkin Bisa mereka tambah." Greg memulai.

"Oh, jadi istrimu tau, kalau kamu menikahiku? Kalian bersekongkol untuk mempermainkanku? Apa salahku pada kalian sampai kalian seperti ini padaku? Apa aku kenal kamu Diska? Tidak!! Lantas apa, Greg?" Candien tak bisa menguasai dirinya, ia lepas kendali namun tak menangis. Matanya masih menatap nanar mantan suami dan istrinya itu.

"Bisakah, kau tak menyela saat aku menceritakan semuanya?"

"Teruskan saja!" Gertak Candien yang sudah meluap emosinya. Greg menceritakan semuanya, awal dari permintaan neneknya dan kenekatannya untuk meminang Diska. Serta keputusan menikahi Candien yang juga Diska memberikan izinnya. Semua tanpa terkecuali. Air panas tak terasa keluar dari pelupuk mata Candien, entah sampai kapan akan mengering pikirnya. "Kenapa kamu baru menceraikan aku setelah sepuluh tahun kita bersama?" Tanyanya lirih.

"Empat tahun setelah kita menikah, nenek meninggal, disaat itu aku ingin menceraikanmu Candien. Namun, kondisi mentalmu yang aku tak bisa berbuat itu. Disaat itu gangguan jiwamu sungguh membuatku khawatir hingga aku memutuskan untuk menundanya. Kamu berjuang selama empat tahun lamanya untuk bisa menetralkan jiwamu kembali. Aku ingin pula ditahun kedelapan aku menceraikanmu, lagi-lagi ayahmu meninggal. Berselang setahun ibumu pun. Dan waktu itulah aku merasa kamu sudah baik-baik saja."

"Both of you are devils." Candien berlari setelah mengatakan hal itu. Iya tak tahu kemana kakinya membawanya, yang ia tahu ia ingin pergi menyembunyikan airmatanya didepan iblis berbentuk manusia seperti mereka.

Gubraaakkkkkk...
Nampan yang dibawa seorang pelayan Cafe jalanan jatuh bersama seluruh isinya. Menumpahkan makanan dan es cream dengan bunyi keras sekali.

"Maafkan aku, aku tak sengaja menabrakmu." Candien bergegas membantu pemuda pelayan Cafe tersebut.

"Emang sih, jalan pakai kaki, tapi kalau jalan lihat juga pakai mata dong Mbak." Sahut si pemuda tersebut.

"Iya tapi kan saya sudah minta maaf."

"Memang dengan maaf, bisa bayarin gaji saya yang kepotong karena pecahin piring ini. Mikir mbak."

"Saya mikir mas, makanya saya minta maaf."

"Ya, kalau mikir pasti liatin jalan lah, malah nangis sambil nutup mata. Emang situ bisa indra ke enam, jalan gak pake mata.?"

Candien sudah membuka mulutnya, namun memilih barbalik dan melanjutkan jalannya. Bad day, pikirnya. Ketemu orang yang menjengkelkan, belum lagi dia mendengar kebenaran yang menyakitkan. Memang benar, apa kata pujangga, kebenaran selalu menyakitkan. Namun, apakah dengan demikian ia akan memilih kebohongan yang indah?

Candien merasakan keduanya. Kebenaran yang menyakitkan dan kebohongan yang indah. Ia tak mampu berkata-kata. Air matanya mencurahkan seluruh perasaannya. Apa yang sedang Tuhan mainkan? Hingga untuk bernafas saja sungguh sesak bukan main.

Esoknya, setelah mengambil dan menyerahkan beberapa dokumen penting milik klien, Candien ditemani Odiezt sahabatnya bertolak pulang ke Indonesia.

"Are you okay?" Tanya Odiezt, ketika mereka berhasil duduk di pesawat sebelum lepas landas.

"I am okay." Jawab Candien berbohong.

"Sejak dulu, kamu tak pandai berbohong. Tapi kalau kamu tak mau bercerita tak apa. Aku tak memaksa." Candien hanya melihat jendela pesawat disebelah kirinya. Tak berkata sepatahpun. "By the way, Candien. I'll married two month later. Don't you wanna gimme a huge hug for me?" Lanjut Odiezt.

"What?? You're going to marry two months later? Joking?" Candien kaget, seketika ia lupa kisah sedihnya.

"I am not joking, Candien. I am serious. Aku datang ke Indonesia untuk kasih kabar ke kamu dan Greg. Supaya bisa datang ke nikahanku. You're my best friend you know that."

"Kenapa gak bilang, Odiezt? Aku bahagiaa buat kamu. Sungguh. Aku pasti dateng kok. Dimana resepsinya?"

"Di Jepang. Kamu harus datang. Aku gak tega liat kamu nangis terus. Akhirnya aku tunda kasih tau kamu."

"I'm so sorry, Odiezt. Jepang? Kenapa jauh banget?"

"Istriku warga negara Jepang."

"Don't worry, I'll be there for you." Candien lupa, bahwa ada kehidupan lain yang juga harus dia perhatikan. Kehidupan sahabatnya. Ia terlalu egois, memikirkan dirinya sendiri tanpa mau tau sekelilingnya.

Dibawah Temaram Matahari Di Ufuk BaratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang