Benarkah?(1)

86 42 0
                                    

Adzan subuh sudah berkumandang sejak 15 menit yang lalu. Syakila sebenarnya sudah bangun sebelum adzan subuh untuk ke WC mengambil air wudhu. Ia sengaja melakukan itu karena ingin menghindar bertatap muka dengan Gilang. Sebenarnya percuma toh nanti ia juga akan keluar untuk sarapan. Tak mungkinkan ia berdiam diri di kamar seharian hanya untuk menghindari si Gilang bocah nyebelin itu.

Kalian mungkin berpikir kenapa harus menghindar? Jawabannya karena aku takut! Aku takut untuk tau kebenaran yang terjadi. Meskipun aku sudah di beritahu kebenaranya oleh Alm Bunda, tapi aku juga harus tau bagaimana kebenaran dari sudut pandang orang lain.

Karena aku ngerti, semua orang berhak untuk berbicara sesuai sudut pandangnya masing-masing. Aku tak boleh egois dengan menghalangi orang yang ingin mengungkapkan apa yang ingin orang itu sampaikan. Dan untuk kasusku ini, aku tidak menghalanginya. Tapi aku butuh waktu.

"Kak, udah bangun?" aku diam tak berniat untuk menjawabnya.

"Kak, keluar yuk beli sarapan."

"ayolah kak, kalau lapar gak usah ditahan." Lanjutnya sambil mengetuk pintu kamarku.

Melihat kegigihannya membujukku untuk keluar kamar, aku beri apresiasi dengan keluar kamar. Aku penasaran, jika sudah keluar memang dia mau apa?

"Ada apa?" astaga kenapa pertanyaan bodoh itu yang keluar dari mulutku. Sudah jelas-jelas dia mengajakku sarapan.

Dan lihat wajahnya! Dia malah menunjukkan seringainya padaku. Bodoh! Aku merasa terhina oleh musuh yang sedang mengaku-ngaku jadi adikku.

"Ayo kedapan. Nunggu tukang bubur lewat." Tanpa persetujuanku dia menarik lenganku dan meminta aku untuk duduk diteras.

Aku menurut saja ketika dia memintaku menunggu tukang bubur lewat, dan setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara kami. Aku sibuk melihat-lihat tanaman yang kurawat sejak aku tinggal dirumah ini. Sedangkan Gilang? Dia melamun. Aku tak tau apa yang dia pikirkan, karena aku tidak bisa membaca pikiran orang lain.

"Dirumah, enggak seperti yang lo bayangin kak. Mungkin lo pikir hidup gue bahagia, penuh keharmonisan, gak pernah bertengkar, pokoknya hidup damai lah kayak cerita-cerita di novel gitu lah. Tapi, asal lo tau. Menurut gue rumah itu bagai neraka bumi. Harmonis, damai? Haha khayalan kak. Yang ada mamih sama papih selalu berantem. Dan Meilisya anak kandung mamih yang dulunya selalu jadi prioritas sekarang selalu di acuhkan gara-gara dia bisu."

Dia menjeda ucapannya,

"Siapa yang kamu maksud mamih papih?" tanyaku hanya sekedar memastikan kalau dugaanku tak salah.

"Papih Gunawan Setiawan, Sinta Setiawan."

Teng,,teng,,tengg

"Berenti Mang!"ujar Gilang saat melihat tukang bubur lewat di depan rumah. Kamipun menghampiri si Mang nya.

"Berapa mangkuk a?" Tanya si Mang tukang bubur dengan logat sunda yang kental.

"2 mangkuk aja mang." Setelah itu kamipun memakan sarapan dengan khidmat sambil di temani si Mang tukang bubur yang sedang menunggu mangkuk dan melayani tetangga-tetangga uang kebetulan sama membeli bubur.

"Syakila dia siapa?" Tanya Bu Tuti yang rumahnya tepat disamping rumahku. Dan Bu Tuti ini bisa dibilang orang yang suka gosip. Jadi kalau bicara sama Bu Tuti ini harus extra hati-hati.

"Saya adik nya Kak Kila Bu," jawab Gilang sambil tersenyum ramah, mungkin? Atau pura-pura ramah. Karena yang aku tau dia itu anti sama yang namanya tersenyum. Kecuali sama aku! Dia bahkan ketawa tadi malam, ya walaupun kecil sih enggak ketawa ngakak.

Gak tau juga mungkin dia jarang senyum karena pengen so cool aja, trik memikat cewek.

"ini Mang mangkuknya, jadi berapa semuanya Mang?" Tanya Gilang yang keliatan buru-buru. Mungkin tidak nyaman dengan para tetanggaku yang kepo.

Why Me ? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang