Setelah pulang dari pasar, Gilang langsung pergi ke Bandung lagi untuk membawa barang-barang. Sedangkan Syakila dan Lisya membereskan kontrakan.
"Kamu sekamar sama kakak ya." Ujarku yang di setujui Lisya.
"Bang Gilang di ruang tamu?" Tanya Lisya yang ku angguki.
Setelah semuanya beres, Kila memasak nasi dan mie sawi. Untungnya Lisya dan Gilang tidak pemilih terhadap makanan.
"Bang Gilang kapan kesini lagi?" Tanya Lisya.
"Malam atau sore mungkin."
"Nanti setelah libur semester kamu pindah sekolahnya ya disini." Lanjut Kila
"Kita bakal berapa lama tinggal di Garut?" Tanya Lisya.
"Sampai papa kamu lupa, atau mungkin selamanya." Jawab Kila,
"Makan dulu, kalau udah bobo siang aja." Perintah Kila yang di turuti Lisya.
✨✨
Kerja, kerja, kerja. Sekarang yang ada dipikiranku gimana caranya ngelamar kerja tanpa ijazah.
"Mana belum keluar lagi ijazah nya," gumamku sambil mengacak rambut.
"Di Garut, ada pabrik, tapi harus pake ijazah aah." Geramku frustasi.
Tok.. tokk.. tokkk..
"Assalamu'alaikum."
"Siapa?" Gumamku
"Waalaikumsalam," ucapku membuka pintu. Ternyata Bu Sari, pemilik kontrakan ini.
"Mangga lebet Bu¹," kataku mempersilahkan masuk.
"Ini ada makanan, anggap aja sambutan dari Ibu, hehe." Ucap beliau menjelaskan kedatangan nya.
"Eh atuh gak papa, repot - repot gini." Kataku gak enak juga, baru pertama kali ngontrak di kasih makanan.
"Gak papa neng, takutnya belum pada makan."
"Allhamdulillah udah, tapi ini terima kasih ya Bu." Kataku sambil tersenyum.
"Kalau boleh tau Bu ini dimana ya? Maksudnya Garut kan luas. Ini di Garut mananya?" Tanyaku meringis sedikit.
"Ini di Tarogong kidul neng, jalan pembangunan." Jawab Bu Sari.
"Ada gak ya kerja yang tanpa ijazah? Soalnya ijazah saya masih belum keluar."
"Kerja? Ada pengalaman kerja gak sebelumnya?" Tanya Bu Sari.
"Ada Bu, pernah kerja part time jadi penyanyi cafe." Jawabku berharap Bu Sari mau bantu mencari pekerjaan.
"Nanti atuh ya, kalau ada info Ibu kasih tau."
"Kalau jualan di sini yang banyak orang nya dimana ya Bu?"
"Biasanya sih nyewa tempat di pemda, tapi waktu itu teh udah penuh. Coba di maktal disana ada taman baru kalau malam lumayan rame. Atau di pengkolan, cuma lumayan jauh takutnya gak terbiasa." Jelas Bu Sari.
"Tapi Ibu saranin sih di taman maktal aja soalnya masih baru, belum rame pedagang." Lanjutnya.
Di Maktal? Atau Pemda? Tapi jualan apa, Ya Allah. Gumamku frustasi dalam hati.
"Nanti coba di survei sama Gilang. Terima kasih ya Bu." Ucapku yang di angguki beliau.
"Ibu pulang dulu ya neng, kalau perlu bantuan kerumah aja."
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam," ucapku lirih.
Kalau dagang pasti harus sewa tempat, jualan online pendapatan nya gak tentu. Nyanyi di cafe? Dimana cafe yang ada live musik nya di Garut.
Uang sisa berapa ya? April! Aku belum ngasih tau ke April, Ya Allah. Telfon aja kali ya? Jam berapa sekarang? Oh jam setengah 3 harus nya sih diangkat.
"Halo? Assalamu'alaikum?"
"Waalaikumsalam, Kila lo kemana? Tadi gue sama Razan ke rumah tapi gak ada siapa-siapa sih?" Sembur April di telfon.
"Aku pindah, maaf gak ngasih tau kamu sama Razan. Aku juga gak tau bakal pindah, ini semua dadakan," Jelasku merasa bersalah.
"Hah? Pindah? Kamu pindah kemana? Kenapa tiba-tiba?"
"Aku ke Garut, masih Deket sama Bandung. Aku gak tau kenapa tiba-tiba pindah, cuma Gilang ngotot banget. Untungnya di Garut aku dapet tempat tinggal, udah buat ktp juga." Kataku menjawab pertanyaan Kila.
"Garut? Kamu kabur ke Garut? Kila yang bener aja dong. Deket banget ya ampun, kamu kalau mau kabur yang jauh sekalian," omel April.
"Aku juga mikir nya kaya gitu, tapi kata Gilang, kita harus kabur ke tempat dimana kalau orang nyari mustahil. Yaitu yang Deket. Orang kalau mau nyari sesuatu emang biasanya nyari yang jauh dulu."
"Trik yang sangat imperesiv Kil, gue gak tau mau ngomong apa lagi. Garut nya dimana? Biar gue Dateng ke sana," Kata Razan. Seperti nya mereka sedang bersama.
"Nanti aku sharelock di WA. Aku butuh banget saran kalian, tapi jangan sampe orang tua Gilang tau aku ada di Garut, ya? Cuma kalian yang aku kasih tau."
"Kita gak gila, ngebiarin Lo ketangkep sama tuh si tua bangka," maki April.
"Terus sekarang gimana? Apa yang mau kamu lakuin di Garut?" Tanya Razan.
"Aku juga bingung Zan, hidup terus berlanjut. Aku harus kerja, tapi ijazah ku belum dikasih," seru ku kesal.
"Tadi lo bilang butuh saran, saran apaan emang?" Tanya April.
"Aku mau jualan buat uang makan, gak mungkin aku ngandelin tabungan yang gak seberapa ini,"
"Tapi aku bingung mau jualan apa? Aku gak pd kalau jualan, ini pertama kalinya aku jualan." Lanjutku.
"Lo jago masak, jadi kalau Lo mau jualan cita rasanya gak di ragukan lagi. Itu pun kalau Lo mau jual makanan."
"Coba lu search makanan yang lagi ngetrend sekarang apaan. Kalau udah nemu coba aja jualan itu, dengan harga yang gak mahal, sedang gitu maksudnya. Kalau mahal kan biasanya pada males beli," saran Razan.
"Lo gak usah ragu kalau mau usaha kil, usaha tuh butuh keberanian, resiko, sama percaya diri. Gak usah malu, gue tau lo gak percaya diri karena Lo malu. Gak papa Lo sekarang jualan, bisa aja kan dua tahun, atau tiga tahun dari sekarang Lo bisa buka usaha sendiri. Bisa nyiptain lapangan kerja buat orang banyak," Lanjut Razan.
Aku terdiam, Razan benar aku gak pd karena aku malu.
"Di Garut gak ada yang kenal sama kamu kil, semangat." Gumamku pelan sambil menyemangati diri sendiri.
"Hah? Lo ngomong apa kil?" Kata April.
"Enggak, makasih ya saran nya. Besok aku nyoba nyari tempat buat jualan nya. Doain ya semoga dapet, dan harga nya gak tinggi."
"Fighting Kila! Nanti kita nyusul ke Garut ya," ucap April.
"Iya aku tunggu, aku tutup telfonnya ya. Assalamu'alaikum," ucapku sambil memutuskan telfon.
Gak usah bayangin apa kata mereka, bayangin aja aku sukses dua tahun dari sekarang, gumamku menyeringai.
✨
Selamat tahun baru, sengaja ngucapin lebih awal hehe.
✨
Wish aku di tahun ini semoga namatin cerita ini, karena kalian tau sendiri 4 chapter atau 5 chapter di atas ini cuap-cuap aku tahun lalu 😣
✨
Kalau wish kalian di tahun ini apa? Komen dong 🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Me ?
FanfictionHidup Syakila baik-baik saja dengan sang Bunda. Tapi, ketika ajal menjemputnya Syakila terpaksa pindah dari kampungnya untuk memulai hidup yang lebih baru di kota kembang, Bandung. Setahun di Bandung, hidupnya biasa saja. Ditahun berikutnya ketik...