Lips

740 82 14
                                    

Hari ini tanggal tiga puluh satu Desember, lima belas menit sebelum tanggal satu Januari dua ribu dua puluh.

Jinhyuk tengah berada di veranda apartment Seungwoo ketika salju kembali turun. Ia mengadahkan kepalanya. Tersenyum lebar ketika satu bulir salju jatuh tepat di wajahnya. Terasa dingin. Kemudian pemuda itu menangkupkan kedua tangannya, berusaha menangkap bulir-bulir salju yang turun perlahan dari langit yang sudah gelap.

"Hyuk, kok gak pake jaket?"

Jinhyuk menoleh dan menurunkan kedua tangannya. Ia hanya menyengir lebar. Pasalnya, Jinhyuk hanya memakai kemeja putih tipis yang bahkan dua kancingnya sengaja dilepas hingga memperlihatkan bagian tulang selangka dan celana panjang bahan berwarna cream lembut.

Seorang pria menghampirinya lalu menyampirkan jaket padding tebal ke bahu Jinhyuk. Han Seungwoo, pria yang sudah menjadi kekasih Jinhyuk sejak tiga bulan lalu.

"Suhunya minus dua tau!" omel Seungwoo sembari merapatkan jaket tersebut. "Aku gak mau denger kamu ngeluh sakit. Kamu tuh kalo sakit, berisik. Manja banget."

Jinhyuk mencebik bibirnya jengkel. "Kapan aku pernah manja kalo sakit?"

Pria itu menaikkan satu alisnya, menatap Jinhyuk dengan tatapan menantang. "Mau aku sebutin satu-satu apa?"

"Nggak usah!" decih Jinhyuk sebal.

Jinhyuk lalu menarik lengan Seungwoo hingga mereka berdiri bersisian di veranda dengan bersandar pada railing baja. "Sini. Kita nunggu kembang api di sini ajah."

"Emang bakal keliatan? Kan kembang apinya dari alun-alun kota."

"Keliatan!" Jinhyuk lalu menunjuk ke arah alun-alun kota. "Kan nanti kembang apinya bakal sampe ketinggian dua puluh meter. Masa gak keliatan sih?"

Seungwoo tertawa kecil lalu meraih tangan Jinhyuk dan menautkan jemari mereka. "Iya. Besok jadi ke rumah Ayah?"

"Jadilah. Tapi kamu tetep gak bisa, ya?"

"Maaf, ya."

"Gak papa sih. Paling ditanyain sama Bunda."

"Aku jemput deh. Paling aku selesaiin cepet-cepet. Tanggal satu, mana ada sih yang mau kerja padahal harusnya libur."

"Kamu kerja, ya."

Pria itu hanya menyengir. Membuat kedua matanya terlihat seperti bulan sabit. "Aku usahain cuma tiga jam deh. Kan cuma ngecek lapangan ajah."

"Tapi abis itu, minggu depan kamu pergi ke Bern. Aku ditinggal dua minggu."

Seungwoo tersenyum. Ia memperhatikan kedua tangan mereka yang saling bertaut. Terlihat begitu kontras. Skin-tone mereka. Ukuran tangan mereka, walaupun keduanya sama-sama bertangan besar dan memiliki jemari panjang, tapi Seungwoo bisa melihat ada begitu banyak perbedaan.

Sensasi hangat dari genggaman tangan itu perlahan menjalar ke seluruh tubuh Seungwoo.

"Mau ikut gak? Ke Bern."

"Pengen, tapi gak tau."

"Kenapa gak tau? Padahal kamu juga masih liburan sebelum masuk magang di awal Februari nanti. Kalo mau, nanti aku usahain nyari tiket di hari yang sama kayak penerbangan aku. Pasti beda seat sih. Gimana? Sekalianlah kamu ngeliat gimana cara kerja di kantor aku."

Iya, tempat magang Jinhyuk adalah kantor yang sama, tempat Seungwoo bekerja sebagai arsitek junior. Dan jika dalam enam bulan masa magang, kinerja Jinhyuk baik, dia akan mendapatkan tawaran untuk pekerjaan tetap di team creative design.

Jinhyuk menghela nafas berat. Seungwoo sebenarnya sudah menawarkan padanya sejak dua bulan lalu ketika Seungwoo mendapatkan project yang mengharuskannya bolak-balik Seoul – Bern selama tiga bulan ke depan. Tapi karena urusan pekerjaan itulah yang membuat Jinhyuk jadi ragu mengiyakan tawaran Seungwoo tersebut.

Jinhyuk lalu pindah berdiri ke hadapan Seungwoo. Ia menatap pria itu dengan lekat. "Kamu kan ke sana buat kerja. Kalo aku ikut, nanti aku malah ganggu. Lagian kalo kamu meeting pun, aku pasti jalan-jalan sendirian. Sama ajah, Seungwoo."

Seungwoo tersenyum tipis. Dengan satu tangannya yang lain, Seungwoo mengusap pipi Jinhyuk yang mulai kemerahan karena udara dingin. Salju masih turun.

"Aku ke sana juga pasti sama team dan gak semuanya ikut meeting. Hangyul ikut juga karena diajak Seungyoun. Kamu bisa jalan-jalan sama Hangyul selagi aku sama Seungyoun meeting. Lagian kamu tuh gak ganggu, ya."

Jinhyuk mendesah. "Gak tau ah. Nanti aku pikirin lagi," tukasnya seraya memeluk Seungwoo. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher kekasihnya.

Seungwoo tertawa kecil. Tautan tangan mereka sudah terlepas. Kini kedua tangan Seungwoo memeluk tubuh kurus Jinhyuk dengan erat.

"Jangan kelamaan, ya. Nanti susah nyari tiketnya. Bisa-bisa kamu terbang sendirian. Mau?"

"Berisik, ah! Udah mulai countdown-nya tuh."

Sayup-sayup, Seungwoo mendengar suara countdown dari arah alun-alun. Memang jarak dari alun-alun kota ke gedung apartmentnya hampir delapan ratus meter. Tapi dengan jumlah orang yang berkumpul di alun-alun, suara countdown itu bisa terdengar.

Seungwoo tersenyum.

"Lima," ucapnya berbisik di telinga Jinhyuk.

"Empat."

Jinhyuk melepaskan pelukan dan menatap Seungwoo dengan lekat.

"Tiga."

Seungwoo mengangkup wajah Jinhyuk dengan kedua telapak tangannya.

"Dua."

Tanpa peduli dengan countdown lagi, Jinhyuk mencium bibir Seungwoo. Sebuah kecupan manis dan begitu innocent.

Satu.

Terdengar suara ledakan kembang api yang ditembakkan ke udara. Langit malam kota kini dipenuhi oleh percikan api yang berwarna-warni. Gemuruhnya bersahut-sahutan memekakan telinga.

Seungwoo menarik bibirnya dan tersenyum menatap wajah Jinhyuk yang mendapat bias cahaya dari puluhan kembang api. "Bibir kamu dingin," ucapnya sembari mengusap sedikit saliva di bibir Jinhyuk.

Jinhyuk mendengus. Ia menarik kembali kepala Seungwoo hingga bibir mereka kembali bertemu. Sedikit bereksperiment, Jinhyuk membuka kedua belah bibirnya, melumat lembut bibir bawah Seungwoo. Dibalas dengan lumatan yang sama.

Kedua tangan Seungwoo sudah beralih, dari wajah Jinhyuk bergerak ke bagian belakang kepala pemuda tersebut. Diantara jemarinya, Seungwoo merasakan surai lembut Jinhyuk. Seungwoo mengubah posisi kepalanya sedikit miring. Mencium Jinhyuk lebih dalam, menjulurkan lidahnya untuk menjilat bibir kekasihnya lalu memasukkannya ke dalam mulut.

Jinhyuk sontak menarik kepalanya, membuat ciuman mereka terlepas. Kaget.

Pasalnya, sejak mereka mulai menjalin hubungan, keduanya belum pernah melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar kecupan anak kecil. Ini adalah ciuman pertama mereka –yang benar-benar seperti sebuah ciuman sepasang kekasih.

Telinga dan sebagian wajah Jinhyuk memerah. Itu pemandangan yang baru bagi Seungwoo.

Seungwoo menarik tubuh Jinhyuk lebih dekat, membuatnya sedikit terhuyung hingga punggungnya bertemu dengan railing veranda yang terasa dingin. Seungwoo tidak peduli.

"Wajah kamu merah," gumam Seungwoo.

Jinhyuk mendecak sebal tapi malah menyembunyikan wajahnya di leher Seungwoo. "Berisik ah."

"Bukan aku yang berisik, tau. Tapi jantung kamu. Kedengeran banget suara dag-dig-dug-nya. Deg-degan ya ciuman sama aku?"

Jinhyuk memukul punggung Seungwoo lalu mengeratkan pelukannya lagi. Seungwoo tertawa ringan. Hanya sebentar, karena Seungwoo membalas pelukan Jinhyuk. Ia mengecup bahu Jinhyuk.

"Happy new year, ya, sayang."

Kembang apinya sudah habis. Suasananya berubah sunyi lagi.

Dan Seungwoo kembali mendapat pukulan di punggungnya.

"Ih! Han Seungwoo apaan sih?!! Geli tau!"

In Another UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang