3

53.6K 2.2K 76
                                    

Orang itu berbeda-beda. Dari perbedaan yang ada dapat menentukan ketangguhan pemiliknya.

—Zia Bellia Asyafa

***

Setelah beberapa hari Zia sibuk mengurus kepindahannya, akhirnya ia sudah resmi menjadi bagian dari SMA Angkasa. Hanya tinggal mencari kelas baru dan ia akan benar-benar sah sebagai murid SMA itu.

Pagi ini, jadwalnya bertemu dengan staff guru yang akan memberi tahu kelas mana yang akan ia tempati. Zia sangat senang, terbukti dari tadi senyumnya tak hilang-hilang.

"Jangan senyum-senyum!" tegur Vero yang berjalan di samping gadis itu menyusuri koridor.

"Emang kenapa? Senyum itu pahala!"

"Ada larangan buat lo 'jangan senyum sembarangan', takut sembarang orang yang liat kena diabet."

"Apaan sih, bang! Basi tahu nggak!" Pipi Zia bersemu. Digoda kakaknya sendiri saja sudah blueshing, apalagi sama pacarnya. Sayangnya, Zia tak punya pacar.

"Nggak papa, buat adek biar seneng!" Vero merangkul pundak Zia yang tingginya hanya sebahunya saja.

Zia mendadak malu karena baru sadar jika banyak orang yang menatap ke arahnya. Apalagi para siswi yang sekarang mulai berbisik pada temannya yang lain. Meskipun tak kencang, namun Zia masih bisa mendengarnya.

"Kenapa mereka liatin aku, bang?" tanya Zia lirih.

"Mereka iri," jawab singkat Vero.

"Iri kenapa? Mereka kan belum kenal Zia."

"Iri karena ada cewek yang dirangkul sama cowok yang gantengnya kayak abang!"

Jawaban Vero membuat Zia memutar bola mata. Kakaknya sangat percaya diri, walau Zia benarkan jika Vero itu memang tampan ditambah tubuhnya yang atletis. Zia berpikir, mungkin Vero itu salah satu Most Wanted di sekolah ini.

"Ini masih jauh?"

"Enggak. Ini udah sampe." Vero mengetuk pintu di depannya yang lansung mendapat balasan dari orang ada di dalam yang menyuruhnya masuk. "Sana masuk!"

"Abang nungguin Zey atau enggak?"

"Maunya?" tanya balik Vero.

"Enggak. Abang duluan aja ke kelas, nggak usah nungguin Zey. Nanti abang telat masuk lagi," ujar Zia.

Vero memagut-magut, "oke, kamu yang minta. Baek-baek di kelas baru!" Vero mengacak rambut rapi adiknya, lalu berlalu.

Zia mengangguk dan membenahi tatanan rambutnya. Kemudian masuk ke ruangan itu. Setelah beberapa menit, akhirnya gadis itu keluar dengan senyum yang lebih lebar dari tadi. Ia melangkah sepanjang koridor untuk menemukan kelas 11 IPA F, kelas barunya.

Jika biasanya murid baru selalu diantar atau bersama guru saat masuk kelas barunya, berbeda dengan Zia. Gadis itu mencoba menjadi pemberani dan mandiri. Ia akan berubah.

Sepanjang perjalanan, Zia mendapat banyak perhatian dari orang-orang. Mungkin karena wajahnya yang terlihat asing di mata mereka. Zia cuek, seiring berjalannya waktu pasti mereka akan biasa saja. Ia terus berjalan, melewati lapangan sepak bola yang lumayan luas dengan beberapa siswa sedang berkeringat di tengahnya.

Langkah kecil Zia terhenti ketika sebuah bola menggelinding ke arahnya dan tepat berhenti di depannya. Kemudian terdengar seseorang berteriak, "Woy! Bolanya bawa sini!"

Zia mengalihkan pandangannya ke cowok yang berteriak itu. Sejenak, Zia terpaku pada wajah tampannya, bahkan lebih tampan dari Vero. Nafas yang ngos-ngosan serta keringat yang bercucuran di dahi laki-laki itu membuat Zia gagal fokus.

"Tendang bolanya ke sini!" teriak cowok itu lagi yang terkesan tak sabaran.

Zia mengalihkan pandangan ke bola di depannya, bergantian ke cowok yang berteriak. Begitu terus seakan sedang menempatkan sasaran. Dan Zia berhitung dalam hati, 1 2 3, bola ia tendang dengan sangat lancar. Zia tersenyum bangga. Tapi, beberapa detik kemudian senyumnya luntur, diganti wajah melongo terkejut. Bukan bolanya yang tepat sasaran, melainkan sepatunya. Sepatu sneakers-nya melayang dan mendarat tepat di wajah tampan cowok itu!

Semua yang ada di lapangan melongo dan terbelalak, termasuk orang yang terkena lemparan sepatu. Zia menggigit jarinya gugup bercampur takut. Keringat dingin keluar di pori-pori kulitnya. Tanpa aba-aba, Zia berlari ke tengah lapangan, mengambil sebelah sepatunya yang jatuh di hadapan cowok tampan itu.

"So- sorry, sepatu Zia nakal!"

Setelah mengatakan itu, Zia berlari sekuat tenaga meninggalkan lapangan yang dalam keadaan hening. Sungguh ia malu. Bagaimana bisa hari pertamanya di sekolah baru harus buruk seperti ini?!

Setelah dirasa lumayan jauh, Zia berhenti dengan nafas putus-putus karena berlari. Menatap sepatu yang ia tenteng, kemudian memakainya. Tangannya yang terkepal ia pukulkan ke dahinya sendiri.

Bodoh!

Pasti penghuni lapangan tadi sedang menertawakannya!

"Hei, lo kenapa?" tanya seseorang yang melihat gadis sedang memukuli kepalanya sendiri.

Zia menghentikan tangannya dan menatap gadis di hadapannya dengan gugup. "G-gak! Gue nggak papa!"

Gadis itu mengangguk tak yakin. "Lo murid baru ya?"

"Iya."

"Kenalin, gue Safha Nathasa, panggil aja Afha. Nama lo siapa?" Gadis itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Dengan ragu, Zia menerima ulurannya. "Zia."

"Oh, hai Zia. Seneng ketemu sama lo!" Afha tersenyum, membuat Zia enggan untuk tidak tersenyum. Baik, pikir Zia. "Lo dapet kelas mana?"

Sejenak Zia berpikir, karena sempat lupa. "11 IPA F."

"Seriously? Itu kelas gue!" pekik Afha senang. "Ya udah, ayok gue anter!" Ia menggandeng tangan Zia menyusuri kelas per kelas hingga sampai di kelas yang dimaksud.

"Lo duduk sama gue ya! Kebetulan gue duduk sendiri." Afha mengajak Zia ke bangkunya yang berada paling belakang dan pejok. Menyuruh Zia duduk di kursi dekat tembok. Mengacuhkan pandangan bertanya dari penghuni kelas yang menatapnya bingung.

"Siapa, Fha?" tanya seseorang cewek yang duduk di depannya.

"Kenalin, dia Zia. Murid baru." Afha memperkenalkan.

"Oh. Gue Cika, ketua kelas ini, jadi lo harus patuh sama gue! Kalo lo bantah, awas aja, lo bakal tinggal nama," ucap cewek itu dengan nada dibuat-buat.

"Zia," balas Zia sedikit takut karena wajah Cika mirip hantu yang sering ia tonton.

"Cika, lo jangan nakut-nakutin dia! Lo nggak usah ketakutan gitu, Zi. Dia baik kok." ujar Afha.

"Hahaha, muka lo kocak!" tawa Cika pecah. "Tenang aja, gue nggak doyan manusia kok!"

Zia mengangguk samar. "Iya."

"Udah-udah, sana. Bentar lagi bel!" Afha mengusir Cika yang dibalas decakan kesal.

"Makasih ya." Hanya itu yang dapat Zia katakan.

"It's ok! Akhirnya, gue dapet temen sebangku!"

ZIALGA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang