Setiap manusia pasti punya kesalahan. Jika tidak punya, berarti dia bukan manusia.
—Zia Bellia Asyafa—
***
Suasana kantin telah ramai oleh para siswa maupun siswi yang perutnya keroncongan. Panjang antrian makanan membuat banyak orang menunggu karena penjualnya hanya ada dua dan itu merangkap sebagai pengantar makanan. Jadi,bisa dibayangkan repotnya seperti apa.
"Nah, ini kantinnya! Biasanya gue kalo makan di sini, karena tempatnya paling deket sama kelas. Dan di sini lebih sepi dari pada kantin yang lain." jelas Afha saat memasuki kantin. Sepi? Hell, mungkin Afha tak tahu definisi sepi itu seperti apa. Jelas-jelas kantin ini sangat ramai.
Zia yang mengikutinya hanya mengangguk. Afha bilang tempat ini sepi, tapi nyatanya tak ada bangku yang tersisa karena banyaknya pengunjung. Rata-rata orang di tempat ini adalah laki-laki dengan tampilan menyeramkan, tapi tak sedikit pula perempuan yang turut meramaikan suasana.
"SAYANG!" seru seseorang yang berada lumayan jauh dari mereka.
Afha yang sedang celingak-celinguk mencari kursi, langsung menengok ke sumber suara. Begitu pula dengan penghuni kantin yang lain, mereka menghentikan kegiatannya ketika mendengar suara lantang yang memanggil 'sayang' itu. Sementara Zia, membelalakan mata saat melihat seorang cowok yang familiar sedang meneriakinya.
Di sana, kursi paling belakang, Vero berdiri sambil melambaikan tangannya. Bibirnya yang tadi berteriak kini tersenyum menunjukan deretan gigi. Seakan tak peduli tatapan banyak orang, ia kembali berteriak untuk menyuruh Zia menghampirinya.
Zia tersenyum kaku, kemudian menarik tangan Afha agar mengikutinya. Afha tadinya tak bergerak karena terkejut, kemudian Zia menyentaknya kuat hingga tubuhnya mengikut. Mereka menghampiri meja Vero yang diisi sekumpulan cowok-cowok besar dan terlihat menyeramkan. Zia pikir mereka satu tingkat lebih atas dari padanya.
"Ada apa??" tanya Zia langsung ketika sampai di samping Vero, Afha berdiri di samping Zia dengan takut.
Empat cowok yang berada di meja itu menatap cewek yang dipanggil Vero dengan sebutan 'sayang' dengan terkejut. Membuat Zia sedikit gugup ditatap seperti itu.
"Nggak papa." jawab Vero cengengesan, lalu menyuruh Zia dan temannya untuk duduk di kursi yang kosong. Meskipun tak nyaman, Zia tetap melaksanakan perintah kakaknya.
"Siapa, Ver? Pacar baru lo?" tanya Daniel menatap Vero dengan tak percaya.
"Mana mungkin Vero punya pacar, dia kan homo!" celetuk Lano disela kunyahan baksonya.
"Kalo ngomong dijaga ya! Dia itu adek gue." jelas Vero yang membuat Lano tersedak bakso. Cepat-cepat Kano yang ada di sampingnya memberi segelas air minum yang langsung diteguk habis Lano. Zia menatap itu dengan tak berkedip, ia terpana karena kedua cowok itu mempunyai wajah yang mirip.
"Sejak kapan lo punya adek? Bukannya orang tua lo ...." Lano tak melanjutkan kalimatnya.
"Ck, kudet lo! Tadi malem kan Vero udah bilang kalo adek kandungnya yang selama ini tinggal sama nyokapnya udah pulang. Eh, iya! Semalem kan lo ngilang!" ujar Daniel.
"Oh, gitu." Lano mengangguk, kemudian beralih menatap Zia. "Jadi, lo adik kandungnya dugong?"
Zia menyeritkan dahi tak mengerti.
"Siapa yang lo maksud dugong hah?" Vero merasa sebutan itu untuknya dan ia tak terima. "Lo kali!"
Lano menatap Vero dengan malas. "Gue ulang. Jadi lo adik kandungnya Vero?"
Zia akan menjawab, tapi disela seorang cowok.
"Kan tadi udah dibilang!" seru Kano sedikit gemas dengan ketololan kembarannya. Padahal, tadi Daniel sudah menyebutkan kata 'adik kandung' dalam penjelasannya.
"Ck. Gue kan tanya dia! Ngapain kalian sewot sih!" kesal Lano. "Dah lah, males di sini!" Lano bangkit dari duduknya dan mengantongi ponsel yang tadi tergeletak di meja.
"Kemana, Lan?" tanya Kano.
"Ke rooftop," singkat Lano kemudian pergi begitu saja.
"Kebiasaan banget sih tu anak main pergi-pergi aja!" degus Vero.
"Tuh anak gampang banget kepancing emosi, beda sama kembarannya," ujar Daniel.
Kano hanya berdehem mengiyakan. Memang Lano itu emosian dan sifatnya masih kekanak-kanakan. Kalau dibuat kesal sedikit saja langsung ngambek dan pergi. Tapi untungnya tak bertahan lama, paling tiga jam. Setelah itu, mood-nya kembali seperti biasa.
"Btw, kenalin dong adik lo ke kita!" pinta Kano.
"Oh iya. Namanya Zia." Vero menatap Zia. "Dek, kenalan dong sama temen abang!"
"Kenalin, gue Seavey Daniel. Panggil aja Daniel!" ucap Daniel pertama.
Dengan ragu, Zia menyambut uluran tangan Daniel. "Zia, kak."
"Gue Kano dan yang tadi pergi kembaran gue, Lano," jelas Kano sambil bersalaman dengan Zia. "Kenalin juga dong temen lo itu."
"Iya. Ini Afha, temen sebangku aku." kenal Zia. Kemudian Daniel, Vero, dan Kano bergantian salaman dengan Afha.
"Hai, Afha!"
Afha hanya menanggapinya dengan senyum gugup. Berdekatan dengan kakak kelas yang sering menjadi perhatian publik itu membuatnya takut.
Hanya tinggal satu cowok lagi yang belum Zia ketahui namanya. Cowok itu dari tadi menenggelamkan kepalanya ke meja, sehingga wajahnya tak terlihat. Bahkan cowok itu tak ikut pembicaraan kawan-kawannya.
"Ga, bangun dong! Tidur aja dari tadi!" Daniel mengelus kepala belakang cowok itu, membuatnya melenguh kemudian mendongakkan kepala menatap sahabatnya dengan bingung.
Zia membelalakan mata dan mulutnya. Dengan refleks mengambil gelas berisi minuman milik Vero dan menyembunyikan wajah di balik benda kecil itu.
"Minuman gue. Kenapa, Zey?" tanya Vero bingung dengan gelagat Zia.
"G-gak papa! Zia haus, Zia minta." ujar Zia gugup. Vero tak mempersalahkan itu lagi.
"Ga, kenalan dong sama adiknya Vero. Cantik loh!" ucap Daniel.
Alga hanya diam, tapi matanya menatap dua cewek yang duduk bersebelahan. Menebak mana yang dimaksud adik sahabatnya. Yang menatapnya kagum atau yang menutupi wajahnya dengan gelas minum.
"Zey, kenalin tu sahabat abang yang paling pendiam!" Vero menginterupsi.
Zia mengulurkan tangannya tanpa mau menatap. "Zia," singkatnya.
Sejenak Alga tak meraih uluran tangan seorang gadis yang menutupi wajahnya dengan gelas. Jadi yang itu adik Vero. "Zia?" ulang Alga seakan pernah mendengar nama itu, tapi ia lupa di mana.
Zia tambah menutupi wajahnya. Takut jika cowok yang tadi pagi ia lempari sepatu mengenali wajahnya. Jika sampai tahu, pasti Zia akan dimarahi habis-habisan karena wajah tampan cowok itu kotor karena sepatunya. Mengingat kejadian tadi pagi yang sangat memalukan.
"Alga," ucap Alga sambil meraih tangan Zia. Tautan itu tak terjalin lama karena Zia terlebih dahulu menarik tangannya.
Tangan Alga yang masih mengambang di udara, cepat-cepat diraih Afha. "Aku Afha, kak, temannya Zia." Alga hanya menanggapinya dengan datar.
"Ekhm. Zia ke kelas dulu ya bang!" pamit Zia cepat menarik tangan Afha agar mengikut dengannya. Sekilas Alga dapat lihat wajah gadis itu saat gelasnya sudah diturunkan. Alga ingat sekarang, dia cewek yang tadi pagi di lapangan.
"Eh, kok buru-buru, Zi?" tanya Daniel.
"Nggak mau makan dulu, dek?!" seru Vero, namun Zia tak mendengarkannya.
"Aneh adek lo!" celetuk Kano.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZIALGA ✔
Teen Fiction[Pindah ke Dreame dengan judul yang sama] ___ Kehidupan Zia berubah setelah dia tinggal bersama kakak laki-lakinya .... ___ "Sama aku? Emang nggak ada temen Kakak yang lain?" "Gue maunya sama lo." * "Lo khawatir. Itu tandanya lo sayang sama gue. Ben...