1

73.1K 2.7K 76
                                    

Bahagia tak perlu cara rumit dan berbelit. Hanya cukup cara sederhana yang tak akan membuat sakit.

Vero Andratasama Jayasukma—

***

"Ini taruh mana?" tanya Vero sambil menenteng beberapa dress yang ia ambil dari dalam koper.

Sejenak Zia mengalihkan kegiatan merapikan koleksi bukunya untuk melihat apa yang kakaknya bawa. "Itu turuh lemari, digantung ya!"

Tanpa menjawab, Vero langsung melaksanakan perintah Zia. Sudah sejak setengah jam yang lalu ia membantu adiknya untuk merapikan barang-barang yang Zia bawa. Meletakkannya di kamar gadis itu sesuai tempatnya. Matahari mulai tenggelam, lampu-lampu mulai dinyalakan, tapi mereka berdua masih sibuk dengan kerjaannya.

"Kalo ini?" tanya Vero lagi dengan menenteng barang yang ia ambil.

Zia menoleh, kemudian matanya terbelalak dan wajahnya memerah. "JANGAN SENTUH ITU!"

Vero tersenyum evil, lalu menaikan barang itu sampai sejajar dengan kepalanya dan ia goyang-goyangkan. Aksinya itu membuat Zia malu, kemudian melemparkan buku yang ia bawa hingga mengenai kepala Vero.

"Abang ih!" Zia merebut benda yang Vero bawa dan menyembunyikannya di balik punggung. Wajahnya merah padam.

Vero mengaduh, namun tertawa geli. Niatnya menggoda sang adik berhasil. "Kenapa? Gue kan abang lo, nggak usah malu kali! Nggak inget dulu sering mandi bareng?"

Wajah Zia kembali memerah. "Itu kan dulu waktu kecil! Sekarang Zia kan udah besar!"

"Apanya yang besar?" tanya Vero sambil menaikkan alisnya.

Zia geram, lansung meninju perut Vero sampai empunya meringis. Lama tak berjumpa, ternyata sifat kakaknya masih saja sama. "Dah lah. Abang beresin buku itu aja! Biar yang ini Zia yang urus!"

Vero terkekeh sambil mengelus perutnya yang sakit. "Abang cuma bercanda, Zey, jangan bawa serius." Zey adalah panggilan sayang Vero ke Zia.

"Ya, aku tahu!" Zia cuek, sembari membereskan pakaian yang tersisa.

Vero menghela nafas, paling sebentar lagi Zia sudah tak marah. Kemudian ia melakukan yang diperintah adiknya, membereskan setumpuk buku. Mulai dari buku tulis, diary, novel, dan pelajaran ia letakkan sesuai kelompoknya.

"Udah selesai belum?" tanya Vero setelah buku terakhir ia letakkan di rak.

"Udah." Zia menutup kopernya yang sudah kosong. Barang-barangnya sudah tertata rapi.

"Turun, makan malam!" perintah Vero. Zia mengikuti langkah kakaknya menuju ruang makan. Tak butuh waktu lama karena jarak kamar Zia dengan ruang makan tak begitu jauh.

"Mana makanannya, bang?" tanya Zia yang melihat meja makan kosong. Tidak benar-benar kosong sebenarnya, ada sekeranjang buah dan seteko air saja.

"Buat dulu." jawab Vero. Laki-laki itu berjalan ke sisi, kemudian membuka kulkas dan mencari bahan yang bisa ia masak.

Zia tersenyum geli. "Abang mau masak?"

"Iya. Kenapa?"

"Nggak papa. Aneh aja, abang mau repot-repot masak. Emang di rumah ini nggak ada pembantu?"

Vero mengeluarkan telur dan beberapa sayuran. "Ada, namanya Bi Ning. Tapi kerjanya siang sampe sore aja. Soalnya lagi ngurus bayi. Jadi kalo pagi abang harus masak dulu kalo mau makan, malamnya juga gitu. Tapi biasanya abang beli sih. Karena ada kamu, malam ini abang masakin nasi goreng spesial buat kamu."

Mata Zia berbinar. "Serius abang mau bikin nasgor buat aku?"

"Emang abang becanda?"

Zia terkikik, "enggak sih. Makasih ya bang! Maaf kalo bikin repot."

"Nggak repot, sayang. Anggap aja ucapan makasih karena kamu mau nemenin abang tinggal di sini," ucap Vero sambil menyiapkan bumbu untuk nasi gorengnya.

"Kya! Zia sayang abang!"

Vero terkekeh. See, membuat adiknya senang hanya sesederhana itu. Cowok itu kembali fokus pada kegiatannya meracik bumbu. Kini, bumbunya sudah selesai. Ia bergantian memanaskan minyak dalam wajan. Pergerakan itu tak lepas dari mata Zia yang duduk manis di kursi makan sambil bertopang dagu. Gadis itu tersenyum lembut, senyum yang sudah lama hilang dari wajah cantiknya.

Baru saja akan menghidupkan kompor, Vero berhenti ketika mendengar ponselnya yang berdering. Ia merogoh saku celana dan melihat nama yang tertera di layar.

"Iya kenapa?"

"Oh iya! Gue lupa astaga!"

"Ye, sorry kali! Di rumah lagi ada adek gue."

"Iya, sore tadi datangnya. Makannya gue lupa!"

"Gue nggak tega ninggalin dia sendirian di rumah. Gue nggak ikut ya."

"Wajib? Aish, nggak bisa gitu malam ini gue absen?!"

"Ya udah, ntar gue kabarin lagi!"

Vero memutuskan telepon.

"Kenapa, bang?" tanya Zia yang dari tadi mendengar pembicaraan Vero di telepon. Bukan bermaksud menguping, tapi suara kakaknya itu kencang jadi ia tak sengaja mendengarnya.

Vero mengusap wajahnya gusar. "Gue ada kumpul sama temen."

Zia memagut, "Kumpul aja nggak papa!"

"Terus lo gimana? Berani di sini sendirian?"

Sejenak Zia berpikir kemudian menjawab, "Berani."

Vero menaikan alisnya. "Nggak usah bo'ong!"

"Zia gak bohong! Serius aku berani sendirian."

Sejenak Vero menatap Zia diam. "Gimana kalo lo ikut aja?"

Zia membelalalakkan matanya. "Ikut kemana?"

"Ke markas."

Gadis itu menggeleng. "Nggak ah! Zia nggak mau. Pasti isinya cowok semua. Enakan juga di rumah. Udah lah, abang pergi aja. Aku nggak papa sendirian di sini. Abang lupa kalo aku pernah diajar silat sama ayah?"

Vero menghembuskan nafasnya. Sebenarnya ia tak tega membiarkan adik perempuannya di rumah sendirian. Ia khawatir jika terjadi apa-apa. Tapi mau gimana lagi?

"Ya, nanti abang pergi setelah nasgornya jadi." Vero melanjutkan kegiatan masaknya yang sempat terhenti.

_

ZIALGA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang