Part 8 ( regret )

4.8K 139 2
                                    

∞Darnell∞

“ Sial! “

Kutendang meja yang berada di depanku. Dan dalam tiga detik meja itu sudah tak berbentuk. Aku Memandang ke arah meja yang telah hancur itu. Pandangan kosong. Tak fokus namun tepat pada sebuah objek.

Otakku kembali berputar pada kejadian beberapa jam yang lalu. Saat dimana kekasihku melepaskan canda tawanya bersama sahabatku, Silvyan Hamelin. Dimana mereka dengan gembira mengiring bola basket itu, terkadang merebutnya dari masing-masing pihak. Mencoba memasukkan bola tersebut ke dalam ring dan memperoleh angka. Sungguh ironis melihat kenyataan seperti itu.

Jauh tak pernah terpikirkan olehku jika peristiwa itu bisa terjadi. Terlebih lagi melibatkan sahabatku. Rasanya aneh. Tak jatuh namun terluka. Tak berdarah namun sakit. Disini. Di dadaku. Sesuatu mencoba menusuknya. Tak terlihat namun dapat kurasakan. Kuletakkan sebelah tanganku di dada. Berusaha menetralisir rasa sakit yang teramat menyakitkan.

Aku menghempaskan diri di kasur. Berharap dengan meregangkan sedikit sendi di tubuhku dapat menghilangkan segala rasa nyeri di dadaku. Mataku memandang kosong langit-langit kamar. Tak ada yang istimewa disana. Hanya platforn putih dengan sebuah lampu menghiasinya. Memoriku berputar pada kejadian malam itu. Kejadian dimana Lucy bermesraan dengan seorang pria yang belum pernah kulihat sama sekali. Lucy bahkan terlihat kenikmatan ketika pria itu menyentuh beberapa bagian tubuhnya. Emosiku kembali memuncak. Melihat pria itu menyentuhnya membuatku naik pitam. Aku yang notabennya kekasih Lucy, tak pernah menyentuhnya sampai seperti itu. Lalu siapa dia? Dengan seenak tingkahnya menyentuh Lucy.

Sejak kejadian itu, sikapku sedikit berubah padanya. Saat memasuki kelas aku berura-pura tak melihatnya karena rasa sakit yang kurasakan malam itu masih terasa sampai keesokan harinya. Sampai saat ini. Aku juga tau saat ia menangis di kelas. Itu pasti karena ulahku. Aku tau. Tak perlu dijelaskan kembali. Aku menyadari hal itu. Ingin sekali rasanya aku menghampiri gadisku. Mengusap air matanya dengan kedua ibu jariku dan menghiburnya.

“ Kau bodoh Darnell Karolek! “ gerutuku kasar menyesali perbuatanku. Seandainya, jika aku tidak memilih duduk bersama Xavier. Tidak mendiami gadisku secara berlebihan dan tidak menuruti emosiku belaka. Pasti saat ini aku tidak duduk dengan teman sekelasku yang terkesan bawel itu! Dan yang lebih istimewanya lagi, aku pasti masih duduk bersama Lucy. Menjadi teman sebangkunya yang setia mendengarkan keluh kesahnya. Bukan Silvyann yang menjadi teman sebangku gadisku!

Mengapa hidup ini terlalu banyak pilihan ya tuhan? Mengapa aku lebih memilih menuruti emosiku belaka?  Tak memikirkan lebih jernih apa akibat dari tindakan yang kulakukan.

Pikiranku buyar saat handphoneku berdering. Kurogoh saku celana sekolahku.

Juliette?

KLIK

“ ... “

“ Ada apa? “

“ ... “

“ Ya. Aku ingin tidur. Kau menggangguku “ kumatikan sambungan telepon dengannya. Ternyata sama saja. Suaranya dengan suara di telpon. Melengking dan tak karuan. Aku baru ingat saat pulang sekolah ia mengajakku untuk menemaninya berjalan mengelilingi kota Paris. Dan bodohnya aku menerima permintaannya tersebut. Bukan tanpa alasan. Aku hanya mencoba membuat Lucy cemburu. Namun senjata makan tuan. Bukan ia yang cemburu, tetapi aku yang cemburu melihat Silvyan mengajaknya juga mengelilingi kota Paris. Sepertinya Silvyan tengah mencari perkara denganku.

Jam menunjukkan pukul empat. Masih ada waktu tiga jam lagi untuk bergegas pergi bersama gadis sialan itu. Lebih baik aku tidur. Menenangkan pikiranku  yang tengah kacau akibat gadisku, Lucy.

Mr Vampir, Help Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang