Pertemuan Pertama

18 1 0
                                    

Sebuah mobil hitam berhasil mendarat sempurna di halaman rumah bercat ungu. Beberapa orang keluar ruangan menyambut kedatangan si empunya mobil hitam. Dengan guyuran hujan malam itu, sepasang mata keluar dari balik pintu kemudi mobil dengan menggunakan kemeja berwarna putih lengkap dengan peci yang bertengger di kepalanya. Seorang perempuan berusia 48 tahunan keluar dari pintu samping kemudi, diikuti oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan paruh baya yang keluar dari balik pintu belakang kemudi.

Orang-orang yang berada di luar rumah bercat ungu pun kini tengah duduk melingkar di sebuah ruangan. Sesekali mereka tertawa untuk mengakrabkan suasana malam yang sedang diguyur hujan.

"Nafisa mana?" Tanya lelaki bernama Nurzaman pada seorang perempuan berkerudung hitam.

"Sebentar Ummi panggilkan yah," katanya sambil beranjak pergi.

"Kamu sudah memberitahunya terlebih dahulu kan Man?" Tanya lelaki bernama Yunus sambil berbisik.

"Sudah Om."

"Baguslah kalau begitu."

"Jadi, bagaimana tindak lanjut dari yang kemarin itu Tad?" Lelaki paruh baya yang keluar dari balik pintu kemudi membuka obrolan serius.

"Hari ini kita rampungkan Pak, kebetulan dia ada di sini."

Mendengar jawaban dari seseorang yang dipanggil Ustad oleh lelaki paruh baya itu membuat guncangan hebat pada jantung seseorang. Tangannya mengepal karena gugup, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, tapi tidak dengan raut wajahnya yang datar. Tak sedikit pun terlihat bahwa ia sedang menahan kegugupan dalam hatinya.

"Nah ini dia," Nurzaman memperkenalkan perempuan berjilbab mustard.

"Oh... Jadi ini yang namanya Fisa."

Sambil tersenyum, Nafisa menyalami perempuan berusia 48 tahun itu. Tak lupa ia pun menyalami lelaki dan perempuan paruh baya yang sedang ikut berkumpul di ruangan tersebut.

"Sesuai dengan janji Om padamu Fisa, kalau malam ini selain Om bajagia karena Ibnu anak Om telah dikhitan juga karena kita kedatangan tamu dari Jakarta," tutur Yunus.

"Saya Sholeh dan ini istri saya Inayah, yang di sebelahnya adalah Ratna anaksaya dan yang di sebelah Ratna adalah Hanan cucu saya."

Nafisa tersenyum mendengar penuturan lelaki paruh baya tersebut.

"Kami itu adalah salah satu jamaahnya Om mu ini loh Fisa, meskipun kadang pergi kajiannya bolong-bolonh. Iya kan Pak?" Inayah mencoba mencairkan suasana.
"Yang jarang absen ikut kajian yaa... Cuma Hanan. Iya kan mas Hanan?"

Hanan yang tengah digoda oleh Yunus pun terdiam tanpa ekspresi sedikit pun.

"Maksud kedatangan kami dari Jakarta ini selain untuk bersilaturahmi dengan Ustad Yunus, kami juga bermaksud ingin mengenalkan cucu kami Hanan."

"Sebenarnya kami juga sudah mendenar kabar dari Om Yunus sebelumnya, bahkan katanya mas Hanan ini datang pada saat Nafisa diwisuda, iya tah Mas?" Tanya Nurzaman.

Hanan hanya memberi anggukan kecil yang berhasil membuat pipi Nafisa memerah.

"Tapi mohon maaf sebelumnya Pak Sholeh, apakah Mas Hanan dan keluarha sudah tahu bagaimana keadaan Nafisa?"

"Nak Nurzaman tenang saja kami sudah tahu karena Ustad Yunus sudah memberi tahu kami sebelumnya."

"Alhamdulillaah syukurlah kalau begitu. Jadi, apakah Mas Hanan masih memiliki niat untuk meneruskan proses ta'aruf ini?"

"Bismillaahirrohmanirrohiim... Insyaa Alloh niat saya masih sama."

Jawaban spontan Hanan berhasil menembus jantung Nafisa.

"Nak Fisa, apakah ada yang ingin nak Fisa sampaikan?" Tanya Ratna.

Nafisa meremas ujung jilbab lebarnya berharap kegugupannya hilang.

"Senin besok adalah jadwal Fisa ke rumah sakit kan Ummi?"
Nafisa sengaja bertanya kepada Umminya dihadapan semua orang.

"Iya Fisa."

"Maukah Mas Hanan ikut dengan Fisa ke rumah sakit?"

Bagai petir di siang bolong, pertanyaan Nafisa sukses membuat semua orang yang ada di ruangan itu terheran-heran.

"Nafisa!"

"Abang tenang saja jarak dari rumah kita dengan rumah sakit kan dekat. Kalau Abang tidak percaya kita bisa pergi bersama."

"Dia belum menjadi muhrimmu Nafisa!"

"Nafisa akan pergi sendiri Bang, Nafisa akan menunggu Mas Hanan di rumah sakit saja. Rumah sakit itu ramai loh Bang bukan hanya ada Nafisa dan Mas Hanan saja."

"Setuju!"
Belum sempat Nurzaman menjawab, Hanan sudah menyetujuinya.

"Kalau begitu, besok Fisa tungu di bagian rawat jalan depan pintu resepsionis jam 7 pagi. Karen Fisa harus mengambil nomer antrian terlebih dahulu."

"Baiklah," jawab Hanan.

"Bagaimana ini?"

.
.
.
.
.
Bersambung...
Terimakasih sudah mampir jangan sungkan untuk meninggalkan vote, kritik dan saran yah. ☺️

Perempuan Tak TerejaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang