Pagi ini jantung Nafisa berdetak lebih kencang dari biasanya, ia gugup karena pagi ini akan menjadi pagi yang panjang menurutnya. Dengan perasaan yang campur aduk, Nafisa menunggu Hanan di tempat yang sudah ia janjikan malam itu sambil sesekali melihat kearah layar ponselnya.
Tak begitu lama, Hanan datang dengan mengendarai sepeda motornya. Setelah memarkirkan sepeda motornya, Hanan berjaan mendekati Nafisa.
"Assalamu'alaikum," sapa Hanan sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Wa'alaikumsallaam," jawab Nafisa sambil menunduk.
Setelah bertegur sapa, mereka mulai memasuki ruangan yang sudah sesak dengan banyak orang. Pandangan mereka menyapu seluruh ruangan, berharap menemukan tempat duduk kosong.
"Fisa sini!" Tangan Hanan melambai tatkala mendapatkan tempat duduk.
Nafisa berjalan mendekati Hanan dan duduk di kursi sebelah Hanan sambil menunggu nomor antrian.
"Mas Hanan," Nafisa mencoba untuk memulai obrolan.
"Iya."
"Kenapa Mas Hanan datang ke acara wisuda Fisa?"
"Karena mau."
"Mau?" Nafisa menekankan nada pada pertanyaannya sambil menoleh kearah Hanan heran.
Hanan mengangguk.
"Yaa... Alloh laki-laki macam apa Mas Hanan ini?"
Nafisa bertanya-tanya dalam hati, tak habis pikir dengan alasan yang dibuat Hanan."Bunga warna ungu dari saya masih kamu simpan kan?"
"Bunga ungu?"
"Iya, saya menitipkannya pada Ustad Yunus saat itu."
"Kenapa harus dititipkan sama Om Yunus? Kenapa bukan Mas Hanan sendiri yang ngasih bunga itu buat Fisa?"
"Karena maunya begitu."
Lagi-lagi Nafisa dibuat heran dengan jawaban Hanan. Dia tak habis pikir kalau Hanan adalah laki-laki menyebalkan.
"Kenapa Mas Hanan ngajak Fisa ta'aruf?"
"Karena mau."
"Udah gitu aja?"
"Terus?"
"Enggak Mas." Nafisa menundukan kepalanya, tenggelam dengan segala prasangka yang dibuatnya tentang sosok laki-laki bernama Hanan.
"Sebelumnya saya pernah...."
"Nomor antrian 049!" Suara merdu mesin antrian telah memanggil Nafsa sebelum sempat Nafisa mendengarkan penuturan Hanan.
"Ayo Mas," Nafisa mengajak Hanan memasuki ruangan yang tak begitu besar. Berderet beberapa kursi antrian di depan ruangan tersebut, di dalamnya terdapat meja besar yang sedang dihuni oleh seorang perempuan cantik berjas putih.
"Nafisa."
Nafisa tersenyum membalas sapaan perempuan berjas putih tersebut.
"Siapa nih?" Goda perempuan itu.
"Calon yah?" Godanya lagi.
Nafisa dan Hanan sama-sama tertunduk, menyembunyikan semburan merah yang ada di kedua pipinya.
"Ayo duduk Fisa, Mas."
"Terima kasih dokter."
"Bagaimana sekarang Fisa? Air kelapanya masih suka Fisa minum?"
"Alhamdulillaah dokter. Oh iya dok akhir-akhir ini badan rasanya sering banget pegal dan ngantuk padahal di sekolah sedang tidak ada kegiatan apa pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Tak Tereja
Romance"Bagiku setiap pilihan adalah sebuah petualangan." (Nafisatul Jannah) . . "Kamu terlalu sempurna untuk aku duakan." (Muhammad Hanan) . . "Benar, akulah si pengecut itu." (Tsaqif Al-Farisi) . . "Seharusnya aku tak pernah ada dalam situasi ini." (Tami...